Anak Yang Kukasihi

Anak Yang Kukasihi
Obamaputralaris

Monday, June 05, 2006

Para Loper Menuntut Pengakuan

BISAKAH surat kabar hidup tanpa loper? Sepopuler apa pun media massa cetak, sebagus apa pun berita yang mengisi halaman-halaman koran, majalah, atau tabloid, tak berarti banyak bila tak sampai ke tangan masyarakat pembacanya. Jadi sulit rasanya, menging- kari peran loper.

APAKAH ada media cetak yang tak butuh loper? Bisa jadi memang ada. Para pejabat pemerintahan biasanya hafal benar dengan nama-nama media cetak yang tak butuh loper.
"Iya, koran yang wartawannya sekaligus loper. Ke mana-mana bawa koran, kasih liat berita sudah dimuat, lalu minta 'honor' dari pejabat," ucap salah seorang staf di lingkungan Humas Pemerintah Kotamadya Jakarta Pusat, sambil bercanda.

Biasanya media seperti itu adalah media cetak, yang tak jelas eksistensinya. Tempo-tempo terbit, tempo-tempo mati. Malah, ada media cetak yang hanya terbit atas pesanan orang tertentu. Isinya tentu sesuai dengan misi yang akan disampaikan orang itu, yang tentu saja mendanai semua penerbitan.

Biasanya, oplah cetaknya tak banyak, paling banter 1.000 eksemplar. Lopernya, wartawannya sendiri, atau investor dadakan itu. Lepas dari media yang keberadaannya tak jelas itu, peran loper sebagai ujung tombak memang tak perlu disangsikan. "Tanpa loper, siapa yang akan mengantar koran dari perusahaan media ke masyarakat?" kata Laris Naibaho, Ketua Penyelenggara Hari Loper Indonesia, The Loper's Day.

Pelaksanaan acara Hari Loper pada Jumat, 11 Maret 2005, dijadikan hari pertama dimulainya penetapan Hari Loper di Indonesia, oleh Yayasan Loper Indonesia (YLI). "Ini baru dicetuskan asli dari Indonesia. Di seluruh dunia pun, ada loper. Oleh karena itu, kita berharap nantinya hari loper juga akan ditetapkan di seluruh dunia," ucap Laris.

Meski belum mendapat pengakuan resmi dari pemerintah, namun menurut Laris, sudah ada tanggapan positif dan dukungan. "Kita sudah bertemu dengan Menteri Komunikasi dan Informasi. Justru mereka bertanya, mengapa tidak pernah ada yang menyampaikan sebelumnya. Mereka sangat mendukung adanya Hari Loper," ujarnya.

Perayaan Loper's Day Jumat siang itu, cukup meriah. Sejumlah aktor dan artis ternama, turut hadir. Penyanyi senior Ebiet G Ade, yang lagu-lagu lawasnya makin populer pascabencana tsunami dan gempa di Aceh dan Sumut, tampil memukau. Demikian juga duo bersaudara, Joy dan Jelita Tobing.

Acara yang dipandu oleh Intan Nugroho dan Geng Hijau itu, mampu menghidupkan suasana. Karena itu, ketidakhadiran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso seperti rencana semula, tidak membuat para loper kecewa. Mewakili gubernur, hadir Walikota Jakarta Pusat, Muhayat.

Di Istora Senayan pun bergema "Hidup Loper...", yang diteriakkan oleh ribuan loper. Mereka adalah bagian dari sekitar 50.000 loper di seluruh Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Huruf "L" yang dibentuk dari ibu jari dan telunjuk, berulang kali mereka lakukan sembari meneriakkan yel-yel "Hidup Loper...".

Itulah bentuk "proklamasi" loper, bahwa mereka sangat berarti bagi beredarnya berita di negeri ini. "Hari Loper ini, adalah hari cinta kasih bagi para loper. Mereka yang selama ini tak lepas dari struktur media, yang tenaganya jelas dibutuhkan sebagai ujung tombak, tapi tak pernah mendapat perhatian yang serius," tukas Laris.

Selain masalah kecilnya penghasilan, menurut Laris, selama ini peran loper, juga agen koran, terbenam tanpa mendapat penghargaan yang layak. Misalnya, ketika para loper koran dirazia, ditangkapi oleh para petugas Ketentraman dan Ketertiban (Tramtib), hanya sedikit yang mau memperhatikan nasib mereka.

Padahal, kalau mau dipahami, media cetak bergantung juga nasibnya pada loper. Tanpa keberadaannya, koran, majalah, atau tabloid, tak bisa sampai ke masyarakat pembacanya.
Tidak laku, artinya tidak ada pemasukan bagi media bersangkutan. Peran loper bukan cuma berarti bagi media bersangkutan, tapi juga masyarakat.

"Tanpa loper, masyarakat sulit dapatkan media, tidak bisa mendapatkan berita terbaru, terkucil," katanya. Total oplah surat kabar di Indonesia Cuma 2,2 juta. Bayangkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang 200 juta lebih. Ini bisa berarti belum maksimalnya pendistribusian media, akibat kurangnya pembinaan para agen dan loper.

Hari Loper, kata Laris, telah jadi wacana sejak lama. Namun baru diseriusi sejak Oktober 2004 lalu. Dimulai dengan pembentukan Yayasan Loper Indonesia (YLI), untuk mewadahi para agen dan loper koran. YLI merupakan lembaga yang mendapat otoritas dari penerbit dan agen dalam penyelenggaraan program kesejahteraan, pembinaan, dan pemberdayaan loper.

Keberadaan YLI sangat penting, apalagi menyadari pentingnya perlindungan bagi para loper, yang kerap dijadikan musuh oleh pemerintah, dengan penangkapan para loper dalam tiap operasi penertiban pedagang kaki lima (PKL) dan asongan.

YLI akan memberikan jaminan berupa asuransi kesehatan dan pendidikan. Jadi, walaupun berstatus loper, mereka tetap memiliki keahlian sesuai dengan minat mereka. Kita memberi pembinaan diluar pekerjaan mereka sebagai loper, salah satunya keahlian komputer

Pendidikan Gratis
Menurut Laris, Pemerin-tah Provinsi DKI Jakarta juga telah memberi respon positif. "Sedang dibicarakan kerja sama dengan YLI untuk pemberian pendidikan gratis bagi para loper usia sekolah," katanya. Lebih jauh, kata dia, dengan hari Loper diharapkan ada pengakuan, baik dari perusahaan media, maupun pemerintah, juga masyarakat.

Pengakuan dari media massa, bisa dalam bentuk pemberian hari libur pada hari-hari libur nasional. "Kita tahu, saat ini masih ada media yang tetap terbit pada hari libur," ucapnya. Hal tersebut membuat loper dipaksa untuk tetap masuk pada hari libur, atau ancaman pemecatan.
"Kita tidak bisa jual koran lebih dari satu macam. Kalau berani jual, tidak akan dikasih jualan lagi. Kalau bolos, misalnya libur tapi korannya terbit, lalu kita tidak masuk, bisa tidak dikasih jualan lagi. Atau jumlah koran yang bisa dibawa dikurangin besoknya," kata Ujang (24), salah satu loper, Kamis (10/3).

Hal seperti itu, kata Laris, harus mulai dihentikan. "Kami berharap, loper juga diberikan hari libur. Misalnya, harus terbit pada hari libur nasional seperti Natal atau Lebaran, diberi pilihan saja. Tetap masuk, tapi kalaupun tidak masuk, juga tidak akan mendapat sanksi. Kalau pimpinan media massa, liburnya bisa berapa puluh hari dalam setahun, sementara waktu kerja loper adalah 365 hari," katanya.

Pelaksanaan acara Hari Loper, kata Laris, berjalan lancar dengan banyak dukungan. Dia menyebut lega dengan kesuksesan itu. Sebab itu merupakan bentuk kemenangan para loper. Pengakuan dan penghargaan terhadap peran para loper itu, bisa jadi telah mulai terbentuk. Mudah-mudahan gerakan itu bisa meningkatkan kesejahteraan mereka, sebab selama ini upah yang kecil nyaris tak bisa mencukupi kebutuhan nyata para loper itu sebenarnya.

Sumber : Suara Pembaruan

1 comment:

Mukhtarom Ali said...

Salam dari Loper malang....