Anak Yang Kukasihi

Anak Yang Kukasihi
Obamaputralaris

Thursday, December 25, 2008

14022 bin 24/7

14022 bin 24/7

Anda lapar di tengah malam dan tidak ingin “menyiksa” isteri untuk bangun hanya untuk merebus mie instan? Kontak saja 14022 dari hanphone anda. Tak lebih dari ½ jam, pesanan anda akan hadir dan perut yang kroncongan akan jinak.

Masalah perut memang bukan urusan mudah, sampai-sampai Orang Bijak berkata, “ Stomack can not wait”. Orang Batak mengenalkan isitilah ini dengan :

“Palu-palu ni ogung,
palu-palu ni sombaon,
molo male butuha,
manangko pe ulaon,”

yang artinya kira-kira, jika perut lapar, mencuri pun dikerjakan dan menjadi sah.

Kentucky Fried Chiken melounch nomor 14022 ini ke masyarakat. Memang bukan hal baru karena sebelumnya sudah ada 14045 dari Mc Donald. Tidak tanggung-tanggung, mereka bisa melayani masyarakat selama 24 jam dan non stop selama 7 hari, tanpa mengenal libur, karena sistem sudah mereka bangun dengan, “Kami ada, di mana anda ada.” Ini semua untuk memberi kenyamanan dan kemudahan bagi, sebutlah customernya.

Penerbit media cetak, katakanlah yang ada di Jakarta, jangan-jangan sudah lebih dahulu pula. Karena setahu penulis, agen berserakan di mana-mana, yang secara otomatis menjadi penyedia produk penerbit, sehingga penerbit tidak perlu harus membuat Unit Layanan sendiri. Karena toh, yang jadi persoalan, bukanlah soal kepemilikan, tetapi apakah produk terjual, omzet meningkat, dan profit tercipta. Itu yang perlu.

Sayang memang, keberadaan yang demikian, belum pernah di manage secara intelek oleh penerbit. Bahkan tidak satu penerbit pun yang pernah mau me-managenya. Karena semua merasa adalah pemilik agen dan pemilik loper. Itulah Indonesia…. Buktinya, belum pernah ada standarnisasi pelayanan seperti apa agen dan loper melayani langganan,” Engkau begitu, aku begini sama saja”.
***
Pada hari Minggu, 14/12, FS tiga tidak menerima kiriman suratkabar dari penerbitnya. Mobil yang biasanya mengantar mampir juga ke Jl.Bahagia Raya. Supirnya bilang, “Pak, jatahnya tidak ada. Dicoret,” sambil si supir menunjukkan surat jalannya. Benar . Di dalam daftar itu, memang dicoret tanpa alasan yang jelas.

Senin, staf FS tiga menelpon dan menanyakannya. Terus terang, hubungan dengan penerbit media yang bersangkutan sangat baik. Dan tidak ada masalah pembayaran, karena FS tiga masih yang terbaik di sana. Maklum jatah langganan pun hanya 15. Tahu apa jawabannya?

Setelah di pingpong sana-sini, seorang cowok yang sepertinya bagian sirkulasi menjawab dengan nada menyanggah. “ Ah, jangan-jangan sudah dikirim, hanya mengaku-ngaku aja…” katanya dengan nada curiga.

Jawabannya memang manyakitkan hati. Tapi, tidak ada alasan untuk sakit hati, karena ini menyangkut kwalitas, dan menjadi gambaran umum sirkulasi di Indonesia. Bukan apa-apa, yang lebih parah dari situ masih ada. Misalnya, disuruh mengambil ke sirkulasi, kalau diklaim kurang atau tidak terima.

Lalu. Lalu saya teringat dengan sebuah istilah dalam hukum : “Kepastian Hukum.” Istilah ini, memberikan semacam perlindungan kepada masyarakat dengan memberi defenisi yang pasti terhadap hukum, supaya pencari keadilan, dapat mendapat keadilan.

Tapi, di Indonesia, jangan coba-coba bertanya kepastian kehadiran media cetak di keagenan. Agen boleh – boleh aja membuat peraturan kehadiran loper untuk datang pukul 4.00 pagi hari, tanpa ada kepastian pukul berapa mereka bisa berangkat mengantarkan ke langganan. Mengapa begitu? Karena tidak pernah ada catatan waktu yang jelas pukul berapa suratkabar sampai di agen. Dan ini dia, belum pernah tertulis dalam pasal perjanjian antara agen dengan penerbit yang mengatur soal itu. Orang Batak bilang:

“Ijuk di para-para, hotang di parlabian.
Nabisuk nampuna hata, na oto tu pargadisan.”


Artinya?

Tanya saja Drs. Leo Batubara atau Apul D Maharaja. Dia pasti akan sukacita menjelaskannya…

***

Blessing

Blessing

Di antara duka, pastilah bertebaran suka cita. Lihatlah, tangis pemilik rumah yang kebakaran akan memberikan luapan kegembiraan bagi pemulung. Tetapi janganlah buru-buru memberi pernyataan kalau tukang peti mati berharap dan mendoakan supaya banyak yang meninggal dunia untuk mendapatkan rezeki yang melimpah.

Rudolf Pardede, langsung ambil kendali dan menjadi orang nomor 1 di Sumatera Utara, ketika pesawat Mandala yang ditumpangi T.Rizal Nurdin meledak di udara dan menewaskan seluruh awak dan penumpangnya. Boleh-boleh saja raut wajah menunjukkan sedih dan air mata mengalir…, tapi siapa yang tahu hati manusia?

Tak bisa disangkal, ada perubahan yang luar biasa dalam peta distribusi pers di penghunjung 2008 ini. Tak pernah ada yang menduga, tapi mata terbelalak dan mulut bergumam : “Apa, betul?”

Sebelumnya, semua mengalir seperti desas-desus. Maklum, di negeri ini desas-desus menjadi komoditi utama. Tumbuh cepat dan lebih sering mengalahkan fakta. Tetapi kini, setelah nama-nama mulai terpampang, orang-orang baru berdecak kagum dan lalu mulai tumbuhlah desas-desus yang baru dengan pertanyaan-pertanyaan, “ Ada apa? Apa yang terjadi?”

Sebetulnya apa pun yang terjadi adalah hal yang biasa. Tidak ada yang luar biasa dan tidak perlu dibesar-besarkan. Toh, sudah disepakati, bahwa semua insan pers yang ada di Indonesia, Redaksi-Sirkulator-Agen-loper adalah insan yang bertugas untuk meningkatkan minat baca bangsa. Opla media cetak, masih sangat kecil dibanding jumlah penduduk. Artinya, mari saling mengasah untuk memperbaiki mutu dan pelayanan agar tiras menjadi naik. Maksudnya tidak perlu saling menjegal atau saling mengalahkan, tapi mari berlomba untuk menjadi yang terbaik.

Hidup Sirkulator
Hidup Loper.

HIKMAH


Hikmah
(Orang Dalam)


Tahun 2009 produksi sepatu Irak akan membajiri pasar dunia. Ini tidak terkait dengan kwalitas yang lebih baik daripada sepatu made in Italia, atau harga yang lebih murah dibanding produksi China atau Indonesia. Tetapi lebih pada kebanggaan setiap orang, khususnya yang merasa dirinya tertindas atau yang selama ini terkungkung dalam ketakutan, karena kebebasannya telah “dikerangkeng” oleh AS, melalui George Bush. Estimasi ahli ekonomi sepatu tersebut akan sangat laku keras di dunia ketiga atau Negara-negara yang terbelenggu oleh hegemoni AS, termasuk Indonesia.

Memang, saat ini, pengadilan di Irak masih sedang memastikan, perusahaan sepatu mana yang memroduksi sepatu yang dipakai oleh Muntazer al Zaidi melempar George Bush. Karena terkait dengan hak patent, dan agar lebih mudah menghitung royalty bagi Zaidi?

Siapa Zaidi? Kok berani, dan siapa otak di belakang itu semua. Adakah konspirasi Internasional di belakang semua itu? Ataukah Zaidi hanya sekedar membuat sensasi dan mencari popularitas?
Pertanyaan-pertanyaan yang terlalu umum, tetapi sebenarnya persoalannya sangat sederhana, karena orang awam juga tau…


Zaidi hanyalah seorang reporter. Hanya bermodalkan card dia mudah masuk ke mana pun. Nah, inilah yang dipakai oleh prajurit-prajurit AS untuk menyampaikan message kepada Bush, bahwa mereka sudah lelah berperang dan rakyat Irak sudah jenuh dengan slogan-slogan AS yang menyatakan, bahwa mereka harus ada di Irak untuk kemakmuran rakyat Irak, yang pada kenyataannya tidak ada perubahan bahkan menyengsarakan lebih banyak rakyat.


Prajurit AS sudah sangat lelah. Mereka telah berjibaku dari perang yang satu ke perang yang lain; dari Lebanon pindah ke Afganistan, dan kemudian Irak. Doktrin Bush terhadap prajurit jelas. AS harus kuat. Dan harus bisa menjadi polisi dunia. Kenyataannya, ini hanya sekedar taktik dan strategi agar perusahaan minyak Bush aman dan bisa melipat-lipatkan keuntungan. Tentu saja para Jendral di sekeliling Bush menikmati priveledge. Karena sudah menjadi kepastian di zaman sekarang, tidak ada lagi sebuah perang yang jendralnya di depan. Karena itu, yang tewas dan menderita adalah prajurit. Para jendral hidup bermewah-mewah, dan Bush bisa ekspansi terus. Konsep Bush yang tidak bisa ditawar-tawar, setiap tahun harus tambah satu kilang minyak.


Sikap Obama?


Obama mendapat durian runtuh dari kejadian ini. Dia tersenyum. Dia tidak suka perang dan kekerasan. Ini sesuai dengan latar belakangnya yang sangat cerdas. Dia yakin, bahwa perang akan memakan energy dan biaya tinggi. Ancaman-ancaman bukanlah hal yang terlalu efektif. Ancaman, sangat melemahkan jiwa dan pasti menciptakan “api dalam sekam” atau sebutlah bom waktu yang sesewaktu bisa meledak. Setiap kali ada kesempatan, dia selalu menganjurkan untuk membuat masyarakat freedom from fear—bebas dari ketakutan.

Dalam pikiran Obama, untuk bisa mengontrol dunia, tidak lagi dengan peluru tajam , bom, dan atau segala sesuatu yang menakutkan. Dia yakin, dengan perbuatan baik cukuplah. Artinya dengan memberi bantuan ke dunia ketiga, semisal, pendidikan, pangan, pinjaman lunak dan kesehatan, serta alat-alat kerja yang dibutuhkan dunia ketiga, pasti akan membuat masyarakat dunia berpaling kepada kepada mereka.

Jadi untuk apa perang, jika dengan membantu dan atau perbuatan baik dapat mengontrol dunia?.
***
Selamat Natal bagi rekan yang merayakannya. Kita sambut 2009 dengan penuh optimism : metode SP. SP bukan Suara Pembaruan. Tapi : Smile and Peace. ( mohon maafku, jika ada ucapan dan perbuatanku yang tidak berkenan di hati semua rekan-rekan. )

KOPI PAHIT

Kopi Pahit
Oleh : Laris Naibaho


Tukul sempat meringis, ketika acara yang dibawakannya Empat Mata dilarang tayang. Tapi, barangkali, sesuai slogannya Never Give's Up, dengan menambah satu kata Bukan Empat Mata, kini koceknya malah berlipat ganda.

Bukan Empat Mata, memang bukan karya semata Tukul. Kreator di belakangnya, tidak pernah berhenti mencari thema-thema yang aktual dan menarik untuk disajikan kepada penonton. Hasilnya, kendati acara ini sudah lebih satu tahun; Empat Mata + Bukan Empat Mata, penonton tetap setia dan jumlahnya bertambah tiap malam. Tentu saja dengan bertambahnya pemirsa, pemasang iklan pun berlomba-lomba untuk menjadi sponsor.
***
Kabar terbaru, di AS ada beberapa penerbit suratkabar yang bankrut, karena terlilit utang, atau adanya kejenuhan dari CEO nya untuk mengelola usaha penerbitan; meletihkan, tidak prospek dan atau memang sengaja membankrutkan diri, dan mengalihkan modal yang ada untuk membangun perusahaan di luar penerbitan, karena untungnya lebih besar, lebih cepat dan tidak perlu harus lelah menghadapi media internet yang sudah membumi dan nampaknya sulit dihambat.

Apakah penerbitan di Indonesia, lebih khusus lagi penerbitan yang berdomisili di Jabodetabek akan ada yang mengikuti? Ini pertanyaan-pertanyaan yang ada di benak agen. Soalnya, dengan kondisi sekarang saja, agen sudah "kedap-kedip". Pembaca dan pelanggan berkurang, kecuali karena bersaing dengan media elektronik + Internet, juga pengaruh krisis global, yang menyuburkan angka pengangguran di kelas menengahbawah.
***
MenaiKkan harga suratkabar saat ini, tentu bukanlah bijaksana. Menutup apalagi, karena siapa lagi yang akan mendorong meningkatkan minat baca bangsa kalau bukan penerbit media cetak? Benar, menjadi pilihan pahit antara idealisme dengan bisnis yang bertujuan profit. Tapi masa iya awak penerbitan, sebutlah para CEOnya yang banyak juga alumni AS kalah sama Tukul?

Redesign halaman dan Format

Bila di situ ada pikiran, pasti ada jalan. Ada masalah ada solusi. Di awal kemerdekaan sedan-sedan di Indonesia besar-besar. Tapi, lihatlah di jalan, "small is beautiful" dan yang kecil itu lebih diminati, asalkan masih memenuhi kebutuhan pemaikanya.

Barangkali saja, mengambil contoh dari itu, penerbit mulai berpikir mengurangi jumlah halaman. Toh, banyak juga isinya hanya "berita basi", artikel "gendeng" dan ini dia...banyak juga iklan "busuk" yang kemarin, hari ini dan ntah sampai kapan ada trusssssssssssss. Padahal, saya dan Wim Tangklisan sudah sepakat mendefenisikan bahwa "Iklan adalah Berita".

Yang juga mungkin bisa di reduce adalah lebar halamannya. Tidak perlu lebar-lebar. Tangan saya selalu pegal melebarkan koran yang lebar. Ada suratkabar yang enak dibaca, tapi karena terlalu kecil, isinya sedikit dan iklannya tidak ada, menjadi sangat sulit untuk ditawarkan ke pembaca.

Jadi, untuk suratkabar-suratkabar yang berhalaman tebal, tapi isinya tidak lagi, maaf, tidak lagi perlu-perlu amat, pangkas saja. Trus, format, misalnyalah 11 cm lebarnya, kurangi 2 cm. Redesign format iklan displaynya, dan naikkan harganya. Pasti akan banyak uang yang bisa didapat; dari iklan dan dari cost untuk kertas.

Nah, penghasilan dari Iklan tentu saja digunakan untuk mengembangkan usaha penerbit itu sendiri. Sedangkan dari pengurangan kertas dialokasikan untuk loper, untuk buat tas, bantuan sepeda, dan biaya premi asuransi rawat inap, dan sekali setahun ber Happy New Year di Jakarta Convention Centre. Iya, nggak?
***
(Ngggggggggggggggggggak)
Kalau begitu, anda kalah sama Tukul.


--------------------------------------------------------------------------------
Mulai chatting dengan teman di Yahoo! Pingbox baru sekarang!!
Membuat tempat chat pribadi di blog Anda sekarang sangatlah mudah

Saturday, September 13, 2008

Persembahan

Persembahan untuk ayahandaku…

Ayah,

(Engkau bertahan
Dan sepanjang waktu tak lelah berdoa
kepada Tuhan agar ananda
teguhkan sikap untuk kerjakan yang terbaik
untuk loper tercinta…

Loper’s Day I di 2005 engkau tersenyum,
Loper’s Day II di 2006 engkau tertawa,
Loper’s Day III di 2007 dirimu hadir penuh energi,

Dan engkau minta dalam doamu,
“Tuhan berikan daku waktu untuk hadiri Loper’s Day 2008…!”

keriput tua pipimu,
uban menggenangi seluruh rambutmu,
sinar matamu kini mulai redup
dan keletihan membalut sekujur tubuhmu,
‘tuk dampingi ananda

tak hiraukan malam sudah larut
menunggu s’lalu ditempat tidur
Menanti derit pintu pastikan ananda tiba
dengan selamat…)

Among,

Ini kupersembahkan Loper’s Day 2008 sebagai kado ulang tahunmu yang ke 79:

28 Juni 2008

Dan buku ini, kutulis di antara deru hatiku
yang paling dashyat, semoga misi yang diemban
Loper’s Day tercapai kelak…
***

Tuesday, July 22, 2008

From Loper's Day with love


Sunday, July 20, 2008

Panitia Loper's Day bersama Jusup Kalla




Panitia Loper's Day 2008 diterima Wakil Presiden

Kamis, 19 Juni 2008 Panitia Loper's Day 2008 pukul 15.00 diterima oleh Wakil Presiden Republik Indonesia Jusup Kalla di Istana Wakil Presiden, Jakarta Pusat.

Saturday, July 12, 2008

Pengabdian Terakhir

“The Last Devotion”

Kuputuskan hari Sabtu besok mau istirahat total, sehari saja. Rencananya, saya mau tidur-tiduran di sebelah isteri tercinta sambil mendengar musik dan lagu-lagu kesayangan yang nyaris terlupakan selama empat tahun ini. Selain itu, kalau masih ada waktu yang tersisa, terpikir juga untuk menonton film India.

Musik tradisional Batak, dangdut, dan pop 80-an, masih mendominasi seleraku. Warna musik sekarang tak begitu kena ke seleraku. Seperti apa pun kupaksa diriku agar bisa menerima, tetap saja tak bisa. Kalau pun ada satu dua lagu yang nyantel, paling-paling hanya pada refreinnya, seperti:

Tuhan, kirimkanlah aku
Kekasih yang baik hati,
Yang mencintai aku,
Apa adanya…

Terus terang saya penggemar berat lagu dan film India. Itu sudah terbentuk jauh sebelum diriku menyeberang ke Pulau Jawa ini. Dulu, antara 1971-1974, setiap kali tiba di Pematang Siantar dari Pangururan, Samosir, selalu saya sempatkan menonton film India. Itu sebabnya mengapa sampai sekarang masih bisa kubayangkan wajah Hema Malini, Amita Bachan, Rishy Kapoor, Azhari dan yang lainnya.

Saya tidak tahu persis apakah karena terlalu sering nonton film India sehingga hati ini agak sentimental dan memiliki perasaan yang sedikit halus. Entahlah. Yang pasti, film India saya yakini berperan banyak dalam pembentukan watak saya.

Cobalah tonton film India dan cermati dari awal sampai akhir, ceritanya agak berliku. Tapi sesungguhnya sarat dengan filosofi kehidupan.
***
Benarlah. Sabtu pagi, sehabis melahap empat suratkabar ibukota (Kompas, Warta Kota, Republika, Investor Daily), kakiku melangkah ke meja komputer. Bukan untuk menulis atau mengutak-atik berapa omzet keagenan setelah hampir semua media cetak menaikkan harga langganan. Tidak. Hanya untuk menggolkan hasrat yang sudah kurencanakan sejak kemarin.
Klik. Aku buka media player. Kunyalakan sound system. Volume dan bass-nya saya kencangkan dari biasanya.

Sesaat kemudian musik gondang Batak berdentang.
Dunggdung…dung…dung…dung…dung, tolkultok, tokkultok, tolkultok, toittt…toittet….
Tokkultok, tokkultok…

Saya pun manortor (menari) sendiri. Wowo… Asyik nian. Sesuatu yang hilang selama empat tahun ini karena terlalu sibuk bekerja, seperti kembali ke dalam diriku.
Habis menggelar gondang, saya lanjutkan memutar dangdut.

Tak semua laki-laki bersalah padamu
Contohnya aku, masih mau mencintai mu
Hari ini
Aku berjanji, ijinkanlah aku
Untuk mencintaimu

Suaraku memang fals kalau menyanyi. Tapi saya tidak peduli apakah indah didengar orang lain atau tidak. Lagi pula, saya selalu menyanyi untuk konsumsi diri sendiri. Jadi, menyanyi keras-keras saja saya, apalagi kata dokter, bernyanyi dengan keras-keras bisa dijadikan obat stres.
Tapi…, apakah saya sedang mengalami stres saat ini?

Di tengah keasyikan mendengar dan menyanyi lagu dangdut, saya hampir tidak mendengar suara yang lain. Apalagi karena hari Sabtu, pikirku, tidak akan ada yang mengganggu dan kuganggu. Hampir semua rekan bisnisku libur. Tak tahunya, sudah berkali-kali pintu ruanganku diketok OB dan seorang tamu. Saya baru dengar ketokan pintu bersamaan dengan berhentinya dentuman musik.
***
“Lho, ada di sini?” sambutku pada pria yang sehari-hari berstatus bosku itu, karena ia salah seorang petinggi di sebuah penerbitan media cetak .

“Iya, Bang. Sudah saya rencanakan sejak Senin kemarin. Sayangnya setiap kali mau ke sini selalu saja ada halangan. Wehh…, capek juga. Seperti biasa, Sabtu begini saya selalu pulang ke Bandung untuk menjenguk isteri, sekalian kangen-kangenan. Tapi kupikir nanti sore saja.”

“Kenapa?”

“Bertemu dengan Abang bagi saya sangat penting.”

“Hehehe…, kayak orang penting saja saya ini. Jangan gitu dong ah, saya jadi kikuk nih…,” jawabku dengan senyum.

“Betul, Bang. Saya ke sini bukan untuk berbasa-basi, namun dari lubuk hati yang paling dalam. Kalau boleh berterusterang, saya mau menyampaikan uneg-uneg dan rasa penyesalan kepada abang.”

Matanya agak sayu kulihat.
“Ah, kamu ada-ada saja,” kataku dengan perasaan heran dan mulai bingung. “Hubungan kita kan baik-baik saja selama ini. Saya masih tetap agenmu dan kamu bosku. Kita tidak pernah berantem, kok.”

“Betul Bang, tapi…”

“Setahu saya, keagenan saya masih berjalan baik dan juga berusaha melakukan kewajiban dengan baik,” kataku tetap masih bingung karena menurutku tidak ada yang salah dalam hubungan kami.

“Ini tidak ada hubungan dengan keagenan Friendship Services, Bang. Tidak ada. Kehadiran saya semata-mata urusan pribadi dan tolong dengar keluh-kesah saya, Bang…”

Saya terdiam sejenak. Pikiranku berlabuh ke kantornya. Dalam hati bertanya, ada apa gerangan dengan dirinya.

“Oke, saya mau dengar keluh-kesahmu. Tapi kamu baik-baik saja, kan?” tanyaku untuk meyakinkannya, sebab ragu jangan-jangan kawan yang satu ini sedang stres juga. Saya bisa berpikir begitu karena di tengah situasi seperti sekarang, banyak juga awak penerbitan pers yang stres, terutama setelah harga kertas koran naik sampai 51 persen.

“Jadi begini, Bang,” ujarnya kemudian,”Email-email Abang itu selalu saya baca. Saya senang sekali karena YLI akan mengadakan pesta loper lagi. Menurut saya, ini spektakuler. Loper’s Day 2008 ini akan mengundang 50.000 loper. Suata hajatan yang sangat besar. Karena itulah saya datang ke sini, Bang. Apa yang bisa saya lakukan, Bang?”

“Lho, ini bukan hanya hajatan YLI, tapi seluruh penerbit media cetak di Indonesia.”
“Taruhlah begitu. Formalnya kan hajatannya YLI, Bang.”

“Oke, itu tidak terlalu penting untuk diperdebatkan. Kita sepakati saja bahwa ini hajatan bersama.”

“Abang jawablah pertanyaanku,” ujarnya denga nada meminta.
“Pertanyaan yang mana?”

“Itu tadi, Bang. Mmm…, apa yang harus saya kerjakan dalam rangka Loper’s Day 2008 ini?”

“Bah…! Masa aku yang menugaskan bosku? Hehehe…. Bagaimana kau ini?”

“Saya serius. Abang serius sedikitlah,” pintanya lagi.

“Saya juga serius. Kalau begitu, apa yang bisa kau kerjakan?” tanyaku balik.

“Saya siap untuk apa pun yang abang tugaskan di Loper’s Day 2008 ini,” ujarnya dengan mimik serius.

“Ah, yang benar… ?! Saya jadi gede rasa, nih.”

“Apa pun, Bang. Soalnya…,” ia terdiam sejenak dan kelihatan matanya berkaca-kaca.

Saya tak mau mengganggunya. Bagi saya, situasi seperti ini harus dibiarkan. Jangan diganggu, karena ia sedang “menikmati” alunan perasaannya.

Beberapa saat kemudian ia lanjutkan, “Selama ini saya sudah berpikir salah. Salah besar. Terlalu mengabdi kepada perusahaan sampai lupa agen dan loper.”

“Lho, kok bisa berpikir seperti itu?”

“Ya…, sekarangbaru saya sadari.”

“Kok?”

“Dalam RUPS minggu lalu diputuskan para bos untuk melakukan diversifikasi usaha dan akan membeli sebagian saham sebuah tv swasta. Menurut mereka, prospek media cetak ke depan kurang cerah, Bang, sehingga untuk mengamamankan modal, perlu menginvestasikannya ke bidang usaha lain, terutama media elektronik, tv.”

“Bagus dong. Berarti para komisaris dan direksimu orang-orang yang brilian cara berpikirnya,” tanggapku sekenanya.

“Betul. Tapi dari situlah masalahnya bagi saya. Dulu saya selalu dengan gagah-berani menolak setiap usulan yang berkaitan dengan agen dan loper. Saya pikir, keuangan penerbit harus kokoh dulu. Menurutku, tidak mungkin seseorang bisa menolong orang lain kalau dirinya sendiri lemah.”

“Begitu, ya. Tapi tidak salah sebetulnya pikiranmu itu.”

“Benar Bang, tetapi selama bertahun-tahun bekerja, saya terus melakukan pengawasan ketat agar profit perusahaan terus meningkat. Saya tidak memiikirkan agen dan loper. Nanti sajalah, pikirku. Bukankah kami harus kuat dulu? Jadi, selama saya ikut memimpin perusahan, kendati tetap berpangkat deputi, pertemuan-pertemuan dengan agen, loper, atau apapun pengeluaran yang berkaitan dengan agen dan loper, selalu saya pending. Hasilnya memang luar biasa.”

“Terus…? Apa yang menjadi masalahmu?”

Ia mendenguskan napasnya. Dalam. “Hasil RUPS itu, Bang,” ucapnya kemudian dengan nada lesu. “Seluruh profit, setelah dividen dibagikan kepada pemegang saham, akan digunakan untuk membeli saham perusahaan tv itu…”

“Salahnya di mana?”

“Salahnya iya tidak ada, sih, Bang. Salahnya memang ada pada diri saya. Saya salah besar dengan keputusan selama ini karena tidak ada lagi yang bisa dibagikan kepada agen dan loper. Sepeda, tas, santunan-santunan lain yang tadinya saya pikir akan dibagi tahun itu lenyap sudah. Bahkan ketika hal tersebut saya protes ke direksi, malah saya diminta pendi.”

“Pendi? Apaan tuh?”

“Maksudnya, pensiun dini, Bang.”

“Masak?”

Ia mengangguk dengan wajah lesu, “Karena itulah maka saya datang ke sini, Bang. Mungkin saya akan ambil pendi itu setelah tahu berapa jumlah yang ditawarkan. Tapi kayaknya berapa pun jumlahnya, saya pilih pendi sajalah, Bang.”

“Kenapa? Kan enak kerja di perusahaan besar?”

“Benar.., tapi menurut saya tak guna lagi terus bertahan di kantor sekarang. Perasaanku sudah tidak sreg lagi. Dan ini adalah kesempatanku untuk berbakti kepada loper. Mumpung masih pekerja di perusahaan pers .”

“Sudah kau pikirkan matang-matang?”

Ia mengangguk, “Saya sadar selama ini belum pernah mengabdi kepada agen dan loper. Kupikir, inilah pengabdian pertamaku dan sekalikus yang terakhir untuk para loper tercinta di LOPER’S DAY 2008 ini.”

“Hah?!”

“Hmmm…begini, Bang. Kalau pun saya tidak bisa memperjuangkan ke perusahaan supaya mendapat materi, sebagai kurir atau membagi makanan atau jadi tukang pijit Abang pun saya siap. Supaya keletihan yang mendera abang selama mengurus Loper’s Day 2008 ini bisa terpulihkan sedikit."

“Hah?!”

“Kutahu yang kumau, Bang..., ” ucapnya dengan senyum.

“Ojo ngono tho.”

“Saya serius, Bang!”

***
Kusambut tangan yang disodorkannya. Kutatap matanya. Kuterawang mata hatinya yang memancarkan ketulusan dan kejujuran. Saya tidak bisa lagi berkata-kata. Seketika seperti kudengar nyanyian nyaring didendangkan suara hatinya yang paling dalam…

Hanya iniTtuhan, persembahanku
terimalah Tuhan jiwa dan ragaku,
tiada kumiliki harta kekayaan…
***

Monday, May 19, 2008

KILLING ME SOFTLY


KILLING ME SOFTLY

Di tengah macet lalu-lalu lintas antara Pancoran-Pasar Minggu, tiba-tiba melintas wajah seorang teman yang kini menjabat petinggi di salah satu perusahaan pers. Anehnya, bayangan wajahnya seakan tak mau berlalu. Bibirnya menyunggingkan senyum dan sesekali memainkan alis matanya ke arah saya. Terlihat agak menggoda, yang bila saya artikulasikan dalam dunia nyata, seakan ingin berkata, “Bung, apalah yang bisa kau lakukan tanpa bantuan saya?”

Saya coba membuang bayangannya agar tak tergoda. Ternyata tak bisa. Semakin saya coba, semakin jelas bayangannya. Ha?! Padahal saat itu waktu mendekati pukul 22.00 WIB dan belum ada tanda-tanda kemacetan lalu lintas akan berakhir.

Tidak bisa saya pungkiri bahwa kawan yang satu ini begitu mengesankan di hati saya, jauh sebelum ia duduki jabatannya sekarang. Ada nilai tertentu tertera di dalam dirinya, yakni: komitmennya terhadap rakyat kecil, sebutlah loper. Saya bagai terhipnotis dan rela mengerjakan apa saja yang menjadi misi dan visinya kepada para loper.

Di tengah kelebat-kelebat bayangan dan perbuatannya, melintas satu pembicaraan kami berdua saat bangsa ini sedang mabuk kepayang pada demokrasi. Tumbangnya Soeharto dianggap sebagai berkah yang luarbiasa. Rakyat bisa menyuarakan apa saja, dan seolah bisa berbuat apa saja. Dan yang paling mabuk kepayang adalah Pers, karena untuk menerbitkan majalah, tabloid, atau suratkabar, tidak lagi memerlukan SIUPP. Tidak perlu lagi menelepon Departemen Penerangan untuk menambah halaman suratkabar, asalkan ada kemauan. Hari ini berpikir menerbitkan suratkabar, besok sudah bisa direalisir. Begitu mudah. Pemimpin umum bisa merangkap pemimpin redaksi, sekaligus pemimpin perusahaan—bila perlu merangkap pula jadi office boy (OB). Tak masalah.

“Bung,” katanya saat itu, “kalau saya ditanya, era mana yang akan saya pilih, apakah Orde Baru atau Reformasi, akan saya jawab, Orde Baru. Tentu saja karena alasan-alasan kerakyatan dan bukan dari sudut pandang bisnis.”

“Alasan, anda?”

“Di zaman Orde Baru, ada kepastian. Kita tidak dihadapkan dengan letupan-letupan kebijakan yang berubah-ubah. Harga kebutuhan pokok relatif konstan. Harga dan suplai BBM tidak masalah, bahkan negara kita masuk dalam daftar pengekspor minyak. Tidak ada kesulitan mendapatkan kertas. Bung masih ingat bahwa negeri ini pernah swasembada beras?”

“Tapi apa artinya semua itu kalau kita dikerangkeng dan kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat tidak ada? Ini ibarat burung dalam sangkar emas,” bantahku.

“Anda betul. Tapi, untuk apalah bebas bicara, bebas memaki, bebas dan bebas…, tetapi perut lapar. Minyak tanah langka, biaya pendidikan semakin tinggi, angka kemiskinan meningkat. Dan… ini dia! Mencari kertas semakin sulit. Keadaan sekarang tidak lagi nyaman. Tidak ada kepastian hari esok seperti apa. Semua orang, lembaga, merasa paling benar. Situasi menciptakan, yang kuatlah yang semakin kokoh dan yang lemah semakin sekarat karena pada akhirnya modal menjadi panglima.”

“Maksud anda?”

“Lihat saja nanti, spekulan-spekulan akan bertebaran di mana-mana. Kekuasaan modal itu akan merajalela. Akan lahir zombie-zombie. Siang malam mereka intai siapa yang mau dimakan, tak peduli apakah hal itu akan menyengsarakan orang banyak. Yang penting grupnya bisa menguasai semua pasar. Grup perusahaan harus menjadi nomor 1, seperti apa pun caranya,” tambahnya dengan mimik meyakinkan.
***
Tak tahu kenapa, tiba-tiba bayangan temanku itu sontak mendadak lenyap. Ia bagai ditelan bumi. Saya terus mencoba menghadirkannya, nyatanya tak berhasil. Astaga!

Yang terjadi malah bayangan hampir semua loperku satu per satu singgah di benak. Tampak jelas roman wajah mereka, juga mata yang cekung pertanda kurang gizi itu. Saya sadar, wajah yang kuyu dan mata yang cekung itu akibat upah mereka yang tak mampu meningkat menu makanan mereka sehari-hari.

Otakku makin panas. Satu persatu masalah mereka berebut masuk ke dalam pikiranku akibat perbuatan atau yang terjadi semasa Orde Baru dan Orde Reformasi.
Kepalaku bagai digodam, bibirku ingin berteriak: “Tuhan jemputlah aku! Ternyata aku tak mampu melakukan atau berjuang untuk mereka. Para loper yang seharusnya kuperjuangkan itu!”

Ternyata tak secuil pun kata atau teriakan keluar dari mulutku.

Sungguh! Sungguh mati, tak ada yang keluar dari mulutku, kecuali air yang menggenang di
pelupuk mataku. Kubayangkan loperku yang tak memiliki kepastian dalam hal apa pun.
Tak ada jaminan rawat inap dari penerbit manapun kalau mereka sakit. Tak ada yang memberi advokasi kalau mereka dikejar-kejar dan ditangkap petugas tramtib. Juga tak ada kepastian mengenai seberapa kuat mereka hari esok untuk membawa suratkabar atau tabloid yang baru terbit.

Sebab, tak ada kepastian berapakah jumlah halaman suratkabar, majalah, atau tabloid yang akan terbit itu, yang akan mereka antar atau jajakan itu.
Tak satu penerbit media cetak pun—khususnya penerbit suratkabar—yang bisa memastikan berapa jumlah halaman koran yang akan mereka cetak hari esok, lusa, dan selanjutnya. Hari ini atau besok, mungkin 40 halaman. Tetapi bisa pula 100 halaman, walau harganya sama. Itu berarti, bila hari ini sepedanya mampu mengangkut 30 eksemplar suratkabar, besok, dengan eksemplar yang sama namun jumlah halamannya bertambah, sepedanya belum tentu kuat membawa.

Dan, kendati jumlah eksemplarnya sama, halamannya bisa dua atau tiga kali lipat, sementara harganya sama.
Tidak seperti susu, odol, atau barang konsumsi harian lainnya. Timbangan beratnya hari ini pasti sama dengan hari esok, karena spesifikasinya sudah jelas.
Dan bukan hanya soal timbangan yang tak pasti itu. Sebuah suratkabar bisa berlampiran majalah atau tabloid. Secara imperatif hal tersebut harus diantar karena dianggap bagian dari media tersebut dan tak boleh diprotes. Bila diprotes pun bukan tak mungkin akan menimbulkan masalah; yang fatalnya bisa membuat loper yang sudah melarat menjadi sekarat.
Semua berawal dari persoalan profit yang senantiasa dikejar para pengusaha media cetak. Apa pun masalahnya, profitlah yang utama.

Andai saja saya punya kesempatan untuk bertemu (lagi) dengan teman yang baik hati itu, orang penting di perusahaan media cetak itu, akan saya ubah lirik lagu Roberta Flack yang sebelumnya:
Killing me softly with his song
Menjadi
Killing me softly with their amount of newspaper pages

Monday, May 12, 2008

Pengusaha Pers dan Cinta Kasih

Pengusaha Pers dan Cinta Kasih

Lupakan Wiranto yang masih ingin jadi Presiden kendati sudah kalah di pilpres yang lalu. Atau juga Megawati yang masih menganggap bahwa dia yang pantas menjadi Presiden untuk membangun bangsa ini.

Lupakan Muhaimin yang kekeh untuk mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono pada pemilihan Presiden 2009. Lupakan saja semua calon-calon yang ingin menduduki kursi empuk di negeri ini. Karena siapapun yang akan jadi pejabat toh tidak akan mengubah nasib loper yang susah menjadi sejahtera.

Sudah terbukti, dari Soeharto, Habibie, Gusdur, Megawati sampai ke Susilo Bambang Susilo Yudhono, hidup loper semakin terpuruk dan terancam, dan bukan tidak mungkin sebentar lagi istilah loper akan lenyap dari bumi persada, karena menggeluti pekerjaan ini adalah sia-sia.

Yang paling mungkin mengubah nasib loper, adalah , Surya Paloh, Agung Adi Prasetyo, Dahlan Iskan, Wim Tangkilisan, Sutrisno Bachir, Subronto Laras, Margiono, Dedy Pristiwanto, seluruh Pemimpin Perusahaan Pers Indonesia, seluruh Pemimpin Redaksi, para Wartawan. Kalau mereka berikrar untuk mensejahterakan loper, pasti bisa. Tetapi kalau mereka pun diam membisu, apalagi tidak mau tau, bukankah pantas kalau ini adalah keajaiban ke delapan di dunia?

Setiap kali berdebat tentang kemajuan sebuah penerbitan pers, yang hebat-hebat itu bisa langsung kita urai. Tapi faktor loper nyaris tidak pernah terjamah. Dilupakan, mungkin adalah istilah yang paling tepat. Buktinya, nyaris tidak ada pembinaan loper. Nyaris tidak ada penghargaan terhadap loper. Nyaris membicarakan loper seperti tabu. Tetapi tidak tabu memberdayakan loper tersebut agar media cetak sampai ke pembaca.

Saat ini begitu sulitnya mengajak penganggur untuk menjadi loper. Jadi pak Ogah atau menjual teh botol merupakan pilihan. Seorang pak Ogah, dalam waktu hitungan menit, bisa memperoleh beberapa ribu rupiah hanya dengan modal tangan. Tapi untuk mendapat 5.000 rupiah bagi seorang loper bisa jadi harus menjual 25 eksemplar sebuah suratkabar kota. Hitungannya adalah setiap eksplar mendapat kelebihan 200 rupiah.

Kecuali penghasilan yang kecil sebagai loper, eksistensinya pun, hehe he, masih dalam tanda kutip. Buruh bukan. Karyawan bukan. Apalagi kata para cerdik pandai, tidak mungkin loper bisa disebut sebagai profesi. Karena dilakukan bukan karena keahlian. Jadi di mana dan kepada siapakah dia mengeluh yang berkaitan dengan masalahnya?

Ada memang YLI. Tapi bagi penerbit tertentu lembaga ini menjadi barang “haram”. Terbukti, seorang direktur penerbit sebuah perusahaan pers, tidak membolehkan karyawannya terlibat dalam Loper’s Day 2005, Loper’s Day 2006, Loper’s Day 2007. Padahal Loper’s Day digagas dan dilakukan merupakan pemrosesan atau pembentukan istilah loper supaya masuk keambang sadar masyarakat pembaca media cetak. Dan kecuali itu, Loper’s Day adalah hari di mana para penerbit bisa bersatu untuk mewujudkan cinta kasihnya kepada manusia-manusia yang sepanjang tahun telah mengabdi untuk meneruskan produknya ke pembaca.

Loper’s Day 2008, Rabu, 30 Juli 2008 yang rencananya menghadirkan 50.000 orang loper di Pantai Carnaval akankah menjadi ajang berkumpulnya juga para pengusaha pers Indonesia dan para Wartawan, sehingga eksistensi loper tetap terpelihara? Semoga, dan itulah yang memang diharapkan. Dan itu bukan tidak mungkin. Karena itulah Loper’s Day 2008 waktunya ditetapkan jauh-jauh hari, sehingga para petinggi pers ini bisa menjadwalkan dirinya untuk hadir, sekaligus mencari alasan-alasan agar tidak hadir, yang seperti kata orang Batak :

(Horbo ni Silalahi
Marjampal tu Balian
Molo so adong roha
Godang do sidalian.)

Hidup Pengusaha Pers Indonesia
Hidup Wartawan.

Loper Yang Percaya Diri

Loper Yang Percaya Diri

“ Mengapa rupanya kalau saya sombong, kamu rugi? Lagi pula, itu hanya persepsimu. Tapi saya harus tegaskan, kamu jangan macam-macam, dan tidak perlu memberi pernyataan yang mencoba mendiskreditkan Loper’s Day. Sekali lagi jangan coba-coba.”

Bagi anda saya mungkin terkesan sombong. Tidak apa. Tapi kalau mau jujur, loper adalah orang terhebat di Indonesia. Bayangkan, sebagai loper, saya memiliki orang-orang hebat di belakang. Ada Yakob Oetama, Surya Paloh, Erich Tohir, Wim Tangklisan, Bambang Sukartiono, Saur Hutabarat, Primus Dorimulu, Rikard Bagun, dan saya sebut saja semua pengusaha pers, semua pemimpin redaksi, semua wartawan ada di belakang loper. Apa tidak hebat? Pekerja bidang apa yang ada sehebat itu? Sangat tidak mungkin Loper’s Day gagal. Tidak mungkin, kendati, saya tetap melipat tangan berdoa dan menyerahkan segalanya kepada Tuhan, Allah yang Maha baik.

Jadi saya amat bangga sebagai loper. Bangga amat. Karena itu, saya tidak akan meninggalkan pekerjaan ini, meski harus bangun di saat orang-orang masih terlelap. Dinginnya angin pagi bukan halangan, dan meski lalu lintas di sore hari tidak bersahabat akan kutekuni pekerjaan ini, selama kaki masih kuat untuk mengayuh sepeda.

Pekerjaan ini memang tidak bisa diharapkan untuk membeli rumah. Itu jauh. Untuk biaya sekolah anak pun masih harus ngutang sana-sini. Bahkan untuk mengasapi dapur, saya masih harus nyambi ini itu di siang hari. Tidak apa. Saya bangga sebagai loper, karena yakin, saya telah menjadi jembatan kebaikan untuk mengantarkan informasi kepada pembaca. Coba, apa jadinya kalau saya tidak meloper, bukankah akan banyak yang menderita, khususnya pembaca?

Saat ini memang perlakuan terhadap kami sebagai loper belum jelas. Tapi saya yakin, para petinggi Pers di negeri ini tidak menutup mata tentang kehidupan kami. Mereka pasti sedang merumuskan yang terbaik. Buktinya, sudah 3 kali Loper’s Day diadakan. Dan itu, katanya, adalah acara yang dilakukan sebagai perwujudan cinta kasih kepada kami. Yang lainnya, seperti; jaminan rawat kesehatan dan uniform-uniform lain yang menandakan kami sebagai loper akan menyusul.

Loper’s Day 2008 memang sudah kami tunggu-tunggu. Sehari dalam setahun tidak meloper adalah kenikmatan tiada tara. Apa pun bentuknya tidak masalah. Kami tidak menuntut harus begini atau begitu. Kami tidak menuntut harus mewah, atau wah-wah yang lain. Sederhana saja. Di Loper’s Day inilah kami bisa berkumpul dan menyatukan bathin, katakanlah semacam ikrar agar kami setia melaksanakan pekerjaan ini.
Jadi, kamu datang saja nanti di Loper’s Day, 30 Juli 2008 di Pantai Carnaval, agar kamu lihat di sana; para petinggi Pers, pekerja di industry Pers, Agen media cetak, pejabat Negara yang bersatu memperhatikan kami. Dan tariklah ucapanmu yang menyebut kami sombong. Tidak. Loper itu tidak ada yang sombong. Tapi mungkin terlalu bangga atau sangat percaya diri, karena di belakangnnya adalah orang-orang yang hebat.
***

Hidup Loper,
Hidup Agen,
Hidup Sirkulasi,
(“ Hidup adalah Perbuatan”)

Jakarta Indah

Jakarta Indah

Bahan Bakar Minyak akan naik. Naik sekitar 30 %. Artinya ada kemungkinan bensin menjadi Rp 6.000 per liter, bahkan mungkin juga sampai Rp 7.000,- per liter.
Harga BBM belum naik saja, barang-barang kebutuhan sehari-hari sudah naik di pasar. Lihatlah misalnya, harga jual media cetak, eceran maupun langganan sudah “curi” start. Kompas misalnya, harga langganan yang tadinya Rp.67.000,- sudah mematok harga langganan Rp78.000,- Selisihnya kira-kira Rp 11.000,- Alasannya, kenaikan ini tidak terkait dengan BBM, tetapi dipicu oleh harga kertas yang membubung, dan komponen cetak lainnya, seperti tinta dan yang lainnya.

Bagi golongan the have, kenaikan harga BBM tentu tidak ada masalah. Bahkan semakin mahal itu akan semakin baik. Bagi mereka membeli barang murah adalah “dosa”. Membeli sesuatu dengan lebih mahal adalah prestasi dan prestise. Jadi, mau dinaikkan 100 % pun bensin no problem.

Berbeda dengan loper. Lagi-lagi loper. Loper lagi, loper lagi. Kenaikan BBM ini adalah petaka. Walaupun belum sampai kiamat. Kalau sudah kiamat malah bagus, karena tidak perlu lagi memikirkan pelayanan. Nggak perlu memikirkan perut yang kelaparan dan yang sejenis dengan itu. Masalahnya, “mati ogah, hidup menggelantung.” Mengapa petaka?

Petakalah. Dengan kenaikan ini, golongan pembaca yang berpenghasilan menengah, yang jumlahnya cukup banyak akan memilih berhenti berlangganan atau membeli media cetak. Mereka lebih memilih mengamankan dapur agar tetap bisa berasap. Listrik, gas, beras, dan yang berkaitan dengan perut pastilah lebih utama. Suratkabar, majalah atau tabloid? Ah, itu bisa didapat dari tv, atau radio. Jadi, kalau pembeli secara eceran atau pelanggan berkurang, berkurang pula-lah penghasilan loper. Kenaikan upah dari harga yang naik, pasti tidak bisa menutupi jumlah dari langganan yang berkurang, pun tidak mampu mengejar harga yang naik di pasar.

Kenaikan pasti akan membuat loper pusing keliling. Kalau loper sudah pusing apalagilah agen. Hitung saja, bisa-bisa upah satu bulan hanya untuk menutup penggunaan bensin. Kalau sehari saja seorang loper memerlukan bensin 2 liter untuk mengantar, maka dia akan mengeluarkan Rp 360.000/bulan, dengan asumsi bensin Rp 6.000/liter. Jumlah ini masih harus ditambah dengan oli, ban yang akan menipis, angin dan nggak usah saya urai pun anda pasti sudah mafhum. Padahal, ini dia, upah seorang loper di Jakarta, belum tentu mencapai UMR. Tidak heran para agen saat ini sangat kesulitan mencari loper. Tapi harus bagaimana lagi…?
***
Bike to Work.

Sebelum krisis, atau di jaman di mana semua masih murah, penerbit dan agen seakan sepakat, demi pelayanan, sebaiknya para loper menggunakan sepeda motorlah. Tujuannya, agar suratkabar, majalah atau tabloid lebih cepat sampai ke tangan pembaca. Tapi, yah, mau tidak mau, suka atau tidak suka, sepertinya, tanpa harus merasa malu atau mundur, kita harus “menawarkan” kepada para loper tercinta yang selama ini menggunakan sepeda motor untuk kembali ke habitatnya mengunakan sepeda sebagai alat kerja. Agak sulit mungkin. Tapi daripada, “semangat radikal tapi analisa dangkal?” atau seperti yang terjadi di Medan “Biar Mampus Asal Stan” Ini mereka akronimkan dari BIMAS. Artinya, di Medan sana, yang penting gaya, kendati di rumah tidak ada apa-apa. Bahkan bila perlu ngutang sana-sini. Pokoknya, ke luar rumah harus necis dan mutlak mengikuti mode pakaian yang baru. Tak tahunya nampang doang…

Trus ada apa dengan loper?

Ayolah kita pikirkan rame-rame. Tidak usah malu. Dan tidak perlu munafik, bahwa memang ada kesulitan yang luar biasa, dan harus segera di atasi. Kalau tidak industri pers akan lumpuh, dan program “meningkatkan minat baca” tentu tidak akan tercapai. Kita maklum semua, tanpa loper sebagus apa pun produk media cetak tidak ada apa-apanya. Belum ada cerita, karena loper tidak meloper lalu para sirkulator mengantar atau menjual sendiri medianya. Ini tidak mungkin. Tidak mungkinnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnn! “Malu men!”

Nah, ini kebetulan. Kebetulan pemerintah Indonesia sedang giat-giatnya mengampanyekan “Langit Biru.” Kita geser sedikit istilah itu dari sudut Loper menjadi “Angkasa Bening”. Maksudnya di atas sana tidak terlihat asap knalpot mobil hitam pekat menumpuk. Di Jakarta misalnya, kita slogankan Jakarta Bening. Dan loper menjadi pelopornya.
Lho, Kok Loper?

Begitulah skenarionya. Kita ajak Pemda DKI mengampanyekan Jakarta Bening. Ini dipicu oleh BBM yang naik. Kita sebut bahwa langitnya Jakarta sudah jorok. Dan karena itu perlu membatasi diri mengeluarkan mobil dari garasi. Naik sepeda saja. Termasuk bila mungkin ke tempat pekerjaan, seperti di China atau di India sana. Loper akan menjadi pionernya. Kita sebut saja pioner dan ogah pakai motor. Padahal sebetulnya karena para loper yang tadinya menggunakan motor sudah tidak mampu beli bensin. Ini realis. Karena memang pada dasarnya loper itu menjual tenaga. Maka naik sepedalah.
***
Di situasi sulit ini, tentu untuk membeli sepeda pun bukan hal mudah. Tidak mudah, karena harga sepeda pasti lebih mahal dari upah loper sebulan. Karena masih banyak juga loper yang untuk beli sepeda perlu meloper selama dua bulan. Sedih memang. Tapi ini adalah fakta. Maka, ini hanya sebuah ajakan, “kita gotong rame-rema aja ya, yuk!” (maaf, anda boleh tidak ikut, jika penerbitan anda merasa tidak memerlukan loper sebagai bagian dari distribusi.)
Jadi kita sumbangkan saja sepeda tersebut kepada loper yang sungguh-sungguh pekerjaannya adalah loper.

Lalu peran Pemda DKI?

Sebagai pelopor dan duta Jakarta Bening, Pemda DKI diikutkan sebagai sponsor. Taruhlah untuk tahap pertama ini mereka sumbangkan 1.000 sepeda, dan acara penyerahannya dilakukan di Loper’s Day 2008. Gubernurnya, Fauzi Bowo yang ketua Bike to Work menyerahkan langsung sepeda-sepeda itu. Imbal baliknya, semua media meliput dan bila perlu diiklankan di semua media cetak yang ada di Jakarta.

Ini adalah pekerjaan yang sangat mudah. Hanya 2 orang Pemred suratkabar kota melobby, katakanlah Warta Kota dan Berita Kota, maka semua akan beres. Dan Yayasan Loper Indonesia (YLI) siap menyajikan data loper secara akurat.

(Hidup Pemred,
Hidup Wartawan,
Hidup Sirkulasi, semangatlah loper
Jayalah Agen. Dan Bangkitlah minat baca bangsaku)
***
“Berjalan saja. Nanti Kamu akan ketemu jalan.”

Wednesday, May 07, 2008

Hening Loper’s Day

Hening Loper’s Day

Sepertinya, Sutrisno Bachir yang Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) mungkin sedang mabuk kepayang dengan puisinya Chairil Anwar, “Sekali Hidup Berarti, Besok kita sepertinya tiada lagi…”.Mungkinkah dia sedang melakukan proses pencarian jati diri?

Berkali-kali kutipan syair itu dipublikasikan lewat iklan diharian-harian Ibukota. Sehalaman penuh, dari hitam putih sampai yang full color. Bisa dihitung berapa banyak uang yang keluar dari dompetnya untuk membiaya iklan tersebut.

Orang bisa menebak-nebak, bahwa semua itu pasti ada tujuan. Kalau tidak, sangat tidak mungkin dia mau mengeluarkan uang sebanyak itu. Dia tentu menghitung untung rugi. Sebab, bukankah sebelum menjadi politisi dia adalah pedagang? Karena itu sudah pastilah “ada udang di balik batu”. Di balik itu mungkin dia sedang “memasarkan diri” bahwa dia layak digandeng untuk menjadi RI 2.
Tapi mau jadi apa pun Sutrisno Bachir, bukan hal penting yang ingin saya sampaikan kepada anda semua sahabat saya; para agen, sirkulasi, redaksi serta rekan-rekan lainnya di perusahaan Pers Indonesia. Saya tertarik dengan penggalan puisi Chairil Anwar, “Sekali Hidup Berarti, Besok kita sepertinya tiada lagi…”. Bulu kuduk merinding bila mengulang membacanya. Iya, ternyata memang kita : “hanya hidup satu kali saja”. Lalu…?

Setelah berangkat keharibaan-Nya, tidak mungkin bisa kembali. Dan tidak mungkin berkata, “Jangan panggil aku, karena tugas belum selesai….” Tidak bisa. Begitu titik, yah titik. Tidak ada yang bisa kita bawa ke Sana. Katanya, “Dari mana aku datang ke sanalah aku kembali. Dari debu kembali menjadi debu….” Lalu?

Saya tidak berani membahasnya, karena ini bukan tujuan dari surat ini, kecuali, “Sekali hidup berarti…” itu saja. Dan tanpa maksud apa pun, saya mencoba menyampaikan renungan saya malam ini. biarlah pengusaha memperhatikan buruhnya. Guru memperhatikan muridnya, ayah memperhatikan anaknya, dan saling memperhatikan dalam arti yang seluas-luasnya. Maka, semogalah Loper’s Day 2008, 30 Juli 2008 di Pantai Carnaval menjadi pijakan berpikir, “Sekali hidup berarti…”. Ayo mari bahu membahu, bukankah “dari debu ke debu”? Dan dari Loper ke Loper?


(Hidup Loper
Hidup Pengusaha Pers Indonesia
Hidup Wartawan
Hidup Perusahaan Pers Indonesia
Jayalah Negeriku.)

Wednesday, April 23, 2008

Undangan Untuk Agen Media Cetak

Undangan Istimewa
Depok Timur, 21 April 2008

Rekan agen tercinta

Kita memang sangat prihatin dengan keadaan negeri yang “morat-marit”. Usaha keagenan media cetak seperti berada di ujung ombak. Tidak jelas. Dan, sepertinya hanya agen media cetak yang berlokasi di daerah elit yang akan tetap bisa bertahan hidup.

Menciptakan bidang pekerjaan yang baru, tentu bukan hal mudah. Perlu modal. Dan kendati ada modal tanpa disertai kemampuan atau keahlian untuk mengerjakannya pasti juga akan rontok.

Tidak ada pilihan lain, kecuali kita melakukan terobosan-terobosan. Ya itu tadi, supaya kita tetap bisa mengasapi dapur, kendati, sekali lagi, keadaan negeri ini membuat berbagai sektor lumpuh, sehingga PHK di mana-mana dan angka kemiskinan bertambah yang ujung-ujungnya, imbasnya adalah menurunnya daya beli, dan yang pertama terkena adalah media cetak.

Tapi hidup harus tetap berlanjut. Tak perlu meratap. Tidak perlu menyalahkan si Anu atau si Binu. Yang beriman selalu percaya kepada Sang Khalik. Saya percaya, “Tuhan tidak mungkin menciptakan manusia, jika Dia tidak menyediakan kebutuhannya.” Jadi semua kebutuhan kita sudah disediakan oleh-Nya. Hanya adakah kita ulet untuk mencari dimana hal tersebut disediakan?

Rekan agen tercinta,

Duduk dan berpangku tangan memang enak. Tapi ke depan, akan menyebabkan penderitaan yang panjang. Apakah yang dihasilkan dengan berpangku tangan? Tidak ada. Tidak ada, kecuali fantasi-fantasi indah namun tidak realis atau tidak nyata. Nah, tanpa bermaksud menggurui, itulah yang ingin saya sampaikan kepada anda sekaligus mengajak, ayo, kita buat terobosan-terobosan yang berkaitan dengan profesi kita sebagai agen media cetak.

Apa itu?

Kompas Gramedia memandang persoalan yang ada di negeri ini tidak sederhana. Rumit. Tetapi menjadi sederhana, kalau kita melakukan aksi-aksi nyata. Mereka tidak ingin memandang agen media cetak dan loper sebagai mahluk tidak berdaya. Dan tidak ingin pula memberi sesuatu karena belas kasih. Tetapi sesuatu harus “direbut” dengan upaya dan kesadaran yang tinggi. Itulah slogan mereka sekarang Challenge and Response.

Kesulitan adalah tantangan. Dan harus dijawab dengan karya nyata dan bukan dengan keluhan. Stop Whining, Start Winning—Stop Mengeluh. Jadilah pemenang. Kita pasti bisa kalau kita berpikir bisa. Tapi tidak cukup hanya berpikir. Harus bertindak.

Nah, rekan agen tercinta, itulah yang ingin saya sampaikan. Rebut kesempatan bekerjasama dengan Kompas Gramedia, melalui aksi-aksi nyata tanpa harus mengemis kepada mereka. Keagenan anda pasti didukung. Buktinya?

[BukuBookz]! unit usaha di Friendship Services yang khusus melayani masyarakat untuk media cetak secara eceran, komik, dan buku-buku bekerjasama dengan Gramedia, melaksanakan Super Sale di Gedung Samina, Sabtu dan Minggu, 26 – 27 April 2008. Dua hari penuh, dari pukul 09.00-20.00. Wooo…!

Dulu hal tersebut hanya sebagai impian bagi saya. Kini nyata. Saya belum berpikir hasil atau untungnya. Tetapi paling tidak, keagenan saya akan menjadi jembatan kebaikan kepada para langganan untuk mendapatkan majalah, buku, komik dengan potongan harga 20-90 %. Indah bukan?

Ini bukan iklan. Hanya sekedar informasi, dan menganjurkan, atau bahkan mendorong anda meminta hal yang sama kepada Kompas Gramedia untuk bekerjasama di lingkungan keagenan anda.

Untuk bukti bahwa hal ini bukan slogan atau isapan jempol, dari lubuk hati yang paling dalam, saya mengundang anda datang di pameran tersebut :

Gedung SAMINA
JL.Bahagia Raya No.78 Depok Timur
(depan toko buku [BukuBookz]!

Salam
Laris Naibaho
· cc.
· Sulistiyo Basuki
· Sugeng Hari Santoso
· Agung Adi Prasetiyo

Monday, February 04, 2008

Keberanian Seorang Manager

Tyasna Hery memang luarbiasa. Disituasi seseorang harus berpikir lama, dan harus kasak-kusuk meminta petunjuk ala Harmoko, sang Manager ini menunjukkan keberaniannya, yang kendati bisa "menggoyang" jabatannya sebagai Manager Sirkulasi The Jakarta Post, tetapi dia sudah membuat keputusan, dan keputusan tersebut melegakan hati mitra, yaitu para agennya, yang selama ini setia mendukung seluruh kebijakan sirkulasinya.

Ini bermula dari tidak hadirnya The Jakarta Post ditangan agen, pada hari Rabu, 30 Januari 2008, karena kerusakan mesin cetak, yang ujung-ujungnya para pelanggan The Jakarta Post di keagenan Friendship Services tidak menerima harian tersebut, sang manager ini memutuskan untuk mengirim surat kepada seluruh langganan sekedar meminta maaf, dan tentu saja hal tersebut merupakan cara jitu untuk melindungan agen-loper dari cercaan para langganan.
Begini isi surat tersebut...

Late Paper


Dear subscribers,

We apologize for the late arrival of the Wednesday newspaper.

Due to a major technical breakdown at our printing house in Jakarta, there was a massive delay in the delivery of The Jakarta Post to our subscribers in Jakarta and surrounding areas on Wednesday morning.

Again, we sincerely apologize for the inconvenience and thank you for your understanding.


Sincerely,


Tiasna Hery
Circulation Manager


Note:
If you mind to make payment for late paper on Wednesday January 30, 2008, you can subtract of subscribers price
.