Anak Yang Kukasihi

Anak Yang Kukasihi
Obamaputralaris

Monday, May 12, 2008

Pengusaha Pers dan Cinta Kasih

Pengusaha Pers dan Cinta Kasih

Lupakan Wiranto yang masih ingin jadi Presiden kendati sudah kalah di pilpres yang lalu. Atau juga Megawati yang masih menganggap bahwa dia yang pantas menjadi Presiden untuk membangun bangsa ini.

Lupakan Muhaimin yang kekeh untuk mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono pada pemilihan Presiden 2009. Lupakan saja semua calon-calon yang ingin menduduki kursi empuk di negeri ini. Karena siapapun yang akan jadi pejabat toh tidak akan mengubah nasib loper yang susah menjadi sejahtera.

Sudah terbukti, dari Soeharto, Habibie, Gusdur, Megawati sampai ke Susilo Bambang Susilo Yudhono, hidup loper semakin terpuruk dan terancam, dan bukan tidak mungkin sebentar lagi istilah loper akan lenyap dari bumi persada, karena menggeluti pekerjaan ini adalah sia-sia.

Yang paling mungkin mengubah nasib loper, adalah , Surya Paloh, Agung Adi Prasetyo, Dahlan Iskan, Wim Tangkilisan, Sutrisno Bachir, Subronto Laras, Margiono, Dedy Pristiwanto, seluruh Pemimpin Perusahaan Pers Indonesia, seluruh Pemimpin Redaksi, para Wartawan. Kalau mereka berikrar untuk mensejahterakan loper, pasti bisa. Tetapi kalau mereka pun diam membisu, apalagi tidak mau tau, bukankah pantas kalau ini adalah keajaiban ke delapan di dunia?

Setiap kali berdebat tentang kemajuan sebuah penerbitan pers, yang hebat-hebat itu bisa langsung kita urai. Tapi faktor loper nyaris tidak pernah terjamah. Dilupakan, mungkin adalah istilah yang paling tepat. Buktinya, nyaris tidak ada pembinaan loper. Nyaris tidak ada penghargaan terhadap loper. Nyaris membicarakan loper seperti tabu. Tetapi tidak tabu memberdayakan loper tersebut agar media cetak sampai ke pembaca.

Saat ini begitu sulitnya mengajak penganggur untuk menjadi loper. Jadi pak Ogah atau menjual teh botol merupakan pilihan. Seorang pak Ogah, dalam waktu hitungan menit, bisa memperoleh beberapa ribu rupiah hanya dengan modal tangan. Tapi untuk mendapat 5.000 rupiah bagi seorang loper bisa jadi harus menjual 25 eksemplar sebuah suratkabar kota. Hitungannya adalah setiap eksplar mendapat kelebihan 200 rupiah.

Kecuali penghasilan yang kecil sebagai loper, eksistensinya pun, hehe he, masih dalam tanda kutip. Buruh bukan. Karyawan bukan. Apalagi kata para cerdik pandai, tidak mungkin loper bisa disebut sebagai profesi. Karena dilakukan bukan karena keahlian. Jadi di mana dan kepada siapakah dia mengeluh yang berkaitan dengan masalahnya?

Ada memang YLI. Tapi bagi penerbit tertentu lembaga ini menjadi barang “haram”. Terbukti, seorang direktur penerbit sebuah perusahaan pers, tidak membolehkan karyawannya terlibat dalam Loper’s Day 2005, Loper’s Day 2006, Loper’s Day 2007. Padahal Loper’s Day digagas dan dilakukan merupakan pemrosesan atau pembentukan istilah loper supaya masuk keambang sadar masyarakat pembaca media cetak. Dan kecuali itu, Loper’s Day adalah hari di mana para penerbit bisa bersatu untuk mewujudkan cinta kasihnya kepada manusia-manusia yang sepanjang tahun telah mengabdi untuk meneruskan produknya ke pembaca.

Loper’s Day 2008, Rabu, 30 Juli 2008 yang rencananya menghadirkan 50.000 orang loper di Pantai Carnaval akankah menjadi ajang berkumpulnya juga para pengusaha pers Indonesia dan para Wartawan, sehingga eksistensi loper tetap terpelihara? Semoga, dan itulah yang memang diharapkan. Dan itu bukan tidak mungkin. Karena itulah Loper’s Day 2008 waktunya ditetapkan jauh-jauh hari, sehingga para petinggi pers ini bisa menjadwalkan dirinya untuk hadir, sekaligus mencari alasan-alasan agar tidak hadir, yang seperti kata orang Batak :

(Horbo ni Silalahi
Marjampal tu Balian
Molo so adong roha
Godang do sidalian.)

Hidup Pengusaha Pers Indonesia
Hidup Wartawan.

No comments: