Anak Yang Kukasihi

Anak Yang Kukasihi
Obamaputralaris

Monday, May 19, 2008

KILLING ME SOFTLY


KILLING ME SOFTLY

Di tengah macet lalu-lalu lintas antara Pancoran-Pasar Minggu, tiba-tiba melintas wajah seorang teman yang kini menjabat petinggi di salah satu perusahaan pers. Anehnya, bayangan wajahnya seakan tak mau berlalu. Bibirnya menyunggingkan senyum dan sesekali memainkan alis matanya ke arah saya. Terlihat agak menggoda, yang bila saya artikulasikan dalam dunia nyata, seakan ingin berkata, “Bung, apalah yang bisa kau lakukan tanpa bantuan saya?”

Saya coba membuang bayangannya agar tak tergoda. Ternyata tak bisa. Semakin saya coba, semakin jelas bayangannya. Ha?! Padahal saat itu waktu mendekati pukul 22.00 WIB dan belum ada tanda-tanda kemacetan lalu lintas akan berakhir.

Tidak bisa saya pungkiri bahwa kawan yang satu ini begitu mengesankan di hati saya, jauh sebelum ia duduki jabatannya sekarang. Ada nilai tertentu tertera di dalam dirinya, yakni: komitmennya terhadap rakyat kecil, sebutlah loper. Saya bagai terhipnotis dan rela mengerjakan apa saja yang menjadi misi dan visinya kepada para loper.

Di tengah kelebat-kelebat bayangan dan perbuatannya, melintas satu pembicaraan kami berdua saat bangsa ini sedang mabuk kepayang pada demokrasi. Tumbangnya Soeharto dianggap sebagai berkah yang luarbiasa. Rakyat bisa menyuarakan apa saja, dan seolah bisa berbuat apa saja. Dan yang paling mabuk kepayang adalah Pers, karena untuk menerbitkan majalah, tabloid, atau suratkabar, tidak lagi memerlukan SIUPP. Tidak perlu lagi menelepon Departemen Penerangan untuk menambah halaman suratkabar, asalkan ada kemauan. Hari ini berpikir menerbitkan suratkabar, besok sudah bisa direalisir. Begitu mudah. Pemimpin umum bisa merangkap pemimpin redaksi, sekaligus pemimpin perusahaan—bila perlu merangkap pula jadi office boy (OB). Tak masalah.

“Bung,” katanya saat itu, “kalau saya ditanya, era mana yang akan saya pilih, apakah Orde Baru atau Reformasi, akan saya jawab, Orde Baru. Tentu saja karena alasan-alasan kerakyatan dan bukan dari sudut pandang bisnis.”

“Alasan, anda?”

“Di zaman Orde Baru, ada kepastian. Kita tidak dihadapkan dengan letupan-letupan kebijakan yang berubah-ubah. Harga kebutuhan pokok relatif konstan. Harga dan suplai BBM tidak masalah, bahkan negara kita masuk dalam daftar pengekspor minyak. Tidak ada kesulitan mendapatkan kertas. Bung masih ingat bahwa negeri ini pernah swasembada beras?”

“Tapi apa artinya semua itu kalau kita dikerangkeng dan kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat tidak ada? Ini ibarat burung dalam sangkar emas,” bantahku.

“Anda betul. Tapi, untuk apalah bebas bicara, bebas memaki, bebas dan bebas…, tetapi perut lapar. Minyak tanah langka, biaya pendidikan semakin tinggi, angka kemiskinan meningkat. Dan… ini dia! Mencari kertas semakin sulit. Keadaan sekarang tidak lagi nyaman. Tidak ada kepastian hari esok seperti apa. Semua orang, lembaga, merasa paling benar. Situasi menciptakan, yang kuatlah yang semakin kokoh dan yang lemah semakin sekarat karena pada akhirnya modal menjadi panglima.”

“Maksud anda?”

“Lihat saja nanti, spekulan-spekulan akan bertebaran di mana-mana. Kekuasaan modal itu akan merajalela. Akan lahir zombie-zombie. Siang malam mereka intai siapa yang mau dimakan, tak peduli apakah hal itu akan menyengsarakan orang banyak. Yang penting grupnya bisa menguasai semua pasar. Grup perusahaan harus menjadi nomor 1, seperti apa pun caranya,” tambahnya dengan mimik meyakinkan.
***
Tak tahu kenapa, tiba-tiba bayangan temanku itu sontak mendadak lenyap. Ia bagai ditelan bumi. Saya terus mencoba menghadirkannya, nyatanya tak berhasil. Astaga!

Yang terjadi malah bayangan hampir semua loperku satu per satu singgah di benak. Tampak jelas roman wajah mereka, juga mata yang cekung pertanda kurang gizi itu. Saya sadar, wajah yang kuyu dan mata yang cekung itu akibat upah mereka yang tak mampu meningkat menu makanan mereka sehari-hari.

Otakku makin panas. Satu persatu masalah mereka berebut masuk ke dalam pikiranku akibat perbuatan atau yang terjadi semasa Orde Baru dan Orde Reformasi.
Kepalaku bagai digodam, bibirku ingin berteriak: “Tuhan jemputlah aku! Ternyata aku tak mampu melakukan atau berjuang untuk mereka. Para loper yang seharusnya kuperjuangkan itu!”

Ternyata tak secuil pun kata atau teriakan keluar dari mulutku.

Sungguh! Sungguh mati, tak ada yang keluar dari mulutku, kecuali air yang menggenang di
pelupuk mataku. Kubayangkan loperku yang tak memiliki kepastian dalam hal apa pun.
Tak ada jaminan rawat inap dari penerbit manapun kalau mereka sakit. Tak ada yang memberi advokasi kalau mereka dikejar-kejar dan ditangkap petugas tramtib. Juga tak ada kepastian mengenai seberapa kuat mereka hari esok untuk membawa suratkabar atau tabloid yang baru terbit.

Sebab, tak ada kepastian berapakah jumlah halaman suratkabar, majalah, atau tabloid yang akan terbit itu, yang akan mereka antar atau jajakan itu.
Tak satu penerbit media cetak pun—khususnya penerbit suratkabar—yang bisa memastikan berapa jumlah halaman koran yang akan mereka cetak hari esok, lusa, dan selanjutnya. Hari ini atau besok, mungkin 40 halaman. Tetapi bisa pula 100 halaman, walau harganya sama. Itu berarti, bila hari ini sepedanya mampu mengangkut 30 eksemplar suratkabar, besok, dengan eksemplar yang sama namun jumlah halamannya bertambah, sepedanya belum tentu kuat membawa.

Dan, kendati jumlah eksemplarnya sama, halamannya bisa dua atau tiga kali lipat, sementara harganya sama.
Tidak seperti susu, odol, atau barang konsumsi harian lainnya. Timbangan beratnya hari ini pasti sama dengan hari esok, karena spesifikasinya sudah jelas.
Dan bukan hanya soal timbangan yang tak pasti itu. Sebuah suratkabar bisa berlampiran majalah atau tabloid. Secara imperatif hal tersebut harus diantar karena dianggap bagian dari media tersebut dan tak boleh diprotes. Bila diprotes pun bukan tak mungkin akan menimbulkan masalah; yang fatalnya bisa membuat loper yang sudah melarat menjadi sekarat.
Semua berawal dari persoalan profit yang senantiasa dikejar para pengusaha media cetak. Apa pun masalahnya, profitlah yang utama.

Andai saja saya punya kesempatan untuk bertemu (lagi) dengan teman yang baik hati itu, orang penting di perusahaan media cetak itu, akan saya ubah lirik lagu Roberta Flack yang sebelumnya:
Killing me softly with his song
Menjadi
Killing me softly with their amount of newspaper pages

No comments: