Anak Yang Kukasihi

Anak Yang Kukasihi
Obamaputralaris

Monday, June 26, 2006

YLI jalin Kerjasama dengan KONI


Dari kiri ke kanan : Sugeng Hari Santoso, Pembina YLI, Sumohadi Marsis, pengurus KONI, Dicky EA, Agum Gumelar, Laris Naibaho, Arnold Hutapea, Liston Simarmata. Pose bersama, pada saat kunjungan kerja YLI ke KONI dalam rangka Loper Lari Gembira.

Agum Gumelar salut pada Agen dan Loper


Liston Simarmata, salah seorang aktifis Yayasan Loper Indonesia(YLI) berpose bersama Ketua Umum KONI Pusat, Agum Gumelar, saat kunjungan kerja YLI ke KONI, Senin, 26 Juni 2006 di Gedung KONI Pusat, Senayan Jakarta.
Dalam Pertemuan yang penuh senyum dan akrab tersebut, Agum Gumelar menyampaikan, bahwa bangga melihat masyarakat yang berjuang untuk menghidupi diri dan keluarga dengan cara yang halal. "Saya salut melihat perjuangan para Agen media cetak, dan terutama lopernya," ujar Agum sambil menyalami Liston, yang terharu biru mendengar ucapan Agum.

Kunjungan Pengurus YLI ke KONI Pusat


Ketua Umum KONI Pusat, Agum Gumelar didampingi Sumohadi Marsis, menerima kunjungan kerja Pengurus Yayasan Loper Indonesia(YLI), Ketua Umum, Laris Naibaho, dan Sekretaris, Senin, 26 Juni 2006 di Gedung KONI Pusat, Senayan, Jakarta.
Dalam kunjungan tersebut dibicarakan progaram kerjasama untuk memberdayakan para Loper, dan dalam waktu dekat direncanakan mengadakan Loper 10 K, atau disebut juga dengan Lari Gembira Loper Jakarta.

Pembina YLI serahkan CD Mars Loper


Ketua Umum Komite Olahraga Nasional Indonesia(KONI) Pusat, Agum Gumelar, menerima CD Mars Loper dari Pembina Yayasan Loper Indonesia(YLI) Sugeng Hari Santoso, Senin, 26 Juni 2006 pukul 12.25 di Gedung KONI, Senayan, Jakarta.

Reward Or Punishment


Reward or Punishment



Ketika prestasi terukir, dan di saat siapa membutuhkan siapa, maka hadiah, pujian dan segala sesuatu yang membuat hati dan badan menjadi lebih akrab, lebih loyal,yang salah satu diantaranya, hadiah anjang sana ke luar batas Negara. Dan inilah kami yang berfoto ria di lobby Gedung Utama, suratkabar Strait Times, Singapura, yang megah dan ramah lingkungan : Darmawan Soecipto, Andiyani, Muha Setiawan, Laris Naibaho,Sohir, Dharmo Laksono.

DESAS-DESUS

Terbit Harian
Sebuah tabloid bersegmen ekonomi yang selama ini terbit mingguan akan terbit harian. Pembicaraan seputar harian tersebut kini sangat ramai khususnya di kalangan Agen Langganan.
Dari pemantauan Buletin Agen (BA) para Agen Langganan sangat antusias dan menyambut hangat tabloid ini berubah dari mingguan menjadi harian. Pasalnya, ini bermula dari kebijakan dari sebuah penerbit harian Ekonomi yang akan memangkas jalur distribusi atau jalur keagenan yang menurut mereka tidak berkembang.
Adapun kebijakan yang membuat para Agen Langganan ini gerah adalah kebijakan dari penerbit yang bersangkutan, bahwa akan menstop pengiriman jika jumlah minimum order yang mereka tetapkan tidak terpenuhi, yang pada hal banyak juga kalangan agen tersebut yang sudah menjadi agen sejak suratkabar tersebut terbit.
***
EKSODUS
Nyawa sebuah media, memang sangat tergantung kepada iklan. Seberapa besar pun tiras, jika tidak didukung oleh iklan, maka cepat atau lambat media tersebut akan ngos-ngosan lalu mati.
Kabar yang santer sampai pertengahan Juni 2006 ini, adanya eksodus bagian sirkulasi sebuah suratkabar yang berpindah secara tersebar ke berbagai media, karena khawatir suratkabar tersebut tidak lagi mampu untuk bertahan ditengah dasyatnya pertempuran penerbit memperebutkan pasar.
Menurut sebuah sumber, kehawatiran para awak sirkulasi ini, dimulai dari peristiwa di mana beberapa awak redaksi sudah lebih dulu hengkang, dan kini menempati posisi-posisi strategis di penerbitan yang mereka tuju.
***
HARGA NAIK
TAK tahan untuk mensubsidi terus-menerus, sebuah harian metro yang sudah ketar-ketir dengan kemajuan suratkabar sejenis yang menjadi kompetitornya, akan segera menaikkan harga jual kepada agen dengan harapan, selisih dari kenaikan tersebut dapat digunakan untuk perbaikan distribusi yang sudah lama dikeluhkan oleh para Agen, karena pengiriman yang lebih sering terlambat.
Suratkabar yang di kalangan Agen ini mendapat julukan,”Kalau tidak terlambat pasti ada apa-apanya….”
***
DEMO SIMPATIK
Tersiar kabar, ada puluhan Agen yang akan mendatangi penerbit yang mengeluarkan kebijakan yang sungguh-sungguh menyakitkan.
Kebijakan yang dimaksud ialah, ketentuan jumlah pesanan, yang jika tidak sesuai dengan yang digariskan oleh penerbit maka pengiriman akan dihentikan.
Menurut sumber dari penerbit tersebut, ini mereka lakukan untuk memangkas biaya yang tidak sepadan dengan jumlah order dari para Agen yang sangat kecil menurut ukuran mereka.
Keluhan yang akan disampaikan oleh para Agen adalah, bahwa mereka pada dasarnya ingin mengembangkan jumlah langganan.Tapi pasar tidak merespon, yang pada hal, mereka selama ini ada yang sudah jadi Agen sejak suratkabar tersebut terbit. “Mana keadilan?” itu kira-kira tulisan yang akan tertera dispanduk yang akan mereka kibarkan di depan kantor penerbitan yang bersangkutan.


Sunday, June 25, 2006

LOPERTIKA


SIAPA BERJUANG UNTUK SIAPA
Oleh Laris Naibaho

Marsinah boleh jadi sedang tersenyum manis dari liang lahat sana. Karena kendati kepergiaannya “dipercepat”, tapi paling tidak hasil kerjanya, atau jejak langkahnya masih diteruskan oleh rekan-rekannya yang setia memperjuangkan nasib buruh.
Jadi mereka yang statusnya buruh berbahagialah, karena betapapun penghasilan seorang buruh masih tetap belum memadai untuk meng-asap-i dapur, dan apalagi untuk menyekolahkan anak, paling tidak, masyarakat dan negara telah mengakui keberadaan buruh.
Lihat saja, ada Undang-Undang Perburuhan yang mengatur keberadaan buruh. Dan jika buruh merasa atau mengalami hal-hal yang merugikan dirinya, dia bisa berlari ke lembaga-lembaga perburuhan, semisal Serikat Buruh Seluruh Indonesia(SBSI)atau Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), dan ada banyak lembaga bantuan hukum yang standby untuk membantu, karena itu tadi, buruh jelas keberadaannya, meskipun kenyataannya, buruh sering menjadi bahan eksploatasi oleh mereka yang mengaku sebagai wakil buruh.
***
Kalau saja founding father’s negeri ini, dulunya sudah mengenal loper, tentu pasal-pasal di UUD ‘45 barangkali akan memuat salah satu butir yang memuat tentang keberadaan loper dan perlindungan terhadapnya. Soalnya, seorang penyair terkemuka, Taufik Ismail memberi judul untuk puisinya : “Loper adalah bagian dari tubuh bangsa.”
Taruhlah bunyi pasal tersebut seperti ini :

“Setiap Industri Pers, yang mengkaryakan seseorang ,yang selanjutnya disebut
loper, wajib memberi perlindungan terhadapnya berupa kesejahteraan, termasuk di
dalamnya proteksi kesehatan, pendidikan dan kenyamanan lainnya, di mana setiap
kelalaian terhadap hal tersebut, perusahaan yang bersangkutan dapat dicabut izin
usahanya.”

Atau memang Founding Father’s memang tidak membuatnya secara rinci, tapi meminta setiap warga Negara meminta memahami :“Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia”, yang sehingga, apabila sebuah industri pers maju, loper seharusnya tidak lagi merana.
***
Jadi 61 tahun sudah Indonesia merdeka, ada banyak penerbit pers yang malang-melintang di negeri ini. Insan yang lahir di sana, juga banyak yang hebat-hebat yang duduk di legislatip, bahkan di eksekutip, pun pengusaha pers, yang sukses tidak terbilang jumlahnya. Tapi adakah pikiran mereka pernah berwisata kepada kehidupan loper yang masih tetap begitu-betitu?
Padahal kalaulah kita mau mengakui, begitu banyak orang sukses di negeri ini yang “disukseskan” oleh para pengusaha pers, termasuk diantaranya untuk bisa jadi Presiden. Soalnya, hehehe…istilah ini bukan barang baru, “ Who the Press behind Presiden”. Sederhananya, kalau ingin jadi Presiden pastilah harus lebih dulu sungkem ke pengusaha pers. Dan kalau demikian halnya, begitu sulitkah menaikkan “martabat” loper, agar kelak, profesi ini menjadi salah satu tujuan bagi mereka yang mencari pekerjaan?
Akan atau tidak akan, pertanyaan ini, akan terus dan terus, dan pada akhirnya, pertanyaan seorang Arnold Hutapea menjadi menderu lengket di kepala, “Di era siapakah loper itu akan mendapat perhatian yang paripurna?”
***
(Hidup SPS. Hidup PWI. Hidup FOSPI. Hidup AJI.Hidup Asosiasi Agen Media Cetak Indonesia. Hidup Koperasi MMS. Hidup Kelompok 12Plus. Hidup Cplus. Hidup Aliansi Agen Bersatu)
(Tersenyumlah loper.)
***
larisnaibaho@hotmail.com

Mati Ketawa Ala Loper

Bisanya Beli Koran Murah

Suatu siang, mendengar berita di radio tentang sebuah kejadian yang sangat tragis, seorang ayah meyuruh anak bontotnya membeli Koran, dengan maksud untuk mengetahui seperti apa kejadian tersebut dimuat disuratkabar. Sang ayah tahu, bila beli Koran agak siang, harganya bisa turun hingga 75%.
“Nih, kamu beli Koran ke lapak,” suruh sang ayah.
“Lho, kok Cuma seribu rupiah,bukankah harganya Rp 2.500?”
“Sudah sana berangkat, kalau siang gini, semua Koran juga paling mahal segitu…,” perintah sang ayah lebih tegas lagi.
Si anak pergi, dengan benak kosong tak mengerti. Maklum usianya baru 7 thaun.
Tidak lama, si anak balik dengan tangan hampa.
“Mana Korannya?”
“Si Abang Koran tidak memberi,” jawab si anak.
“Lho, mengapa?”
“kata si Abang sambil marah-marah, kalau harga Koran seribu, dia mau beli 100 eksemplar tiap hari dari ayah…”
Sang ayah terperangah. Marah. Tapi tiba-tiba ada rasa malu dalam dirinya. Haaaaa, aku bisanya hanya beli koran murah?
***
Loper Iseng…!

Saya tertarik untuk membeli suratkabar KOMPAS yang ditawarkan seorang loper di terminal KA Depok dengan harga yang menurut saya fantastis.
Loper : “gopek, gopek, gopek, gopek, gopek.”
Aku : “Bang beli 1 eksemplar. Kok murah amat iya,” kataku sambil menyodorkak uang gopekan (uang lima ratus rupiah)
Loper : “ Lho, kok 500 ratus?”
Aku : “Bah, kamu yang bilang 500, kan?”
Loper : “ Betul. Tapi aku bilang, gopek, gopek, gopek, gopek, gopek. Hitung aja. Aku bilang lima kali. Jadi kalikan saja.”
Aku : ( Dalam hati aku menggumam, biasanya aku yang ngerjain orang. Kini aku yang dikerjain. Bah. Loper memang beda dari tukang martabak. Loper cerdas-cerdas, karena bisa belajar tanpa mengeluarkan biaya.)
***

Monday, June 05, 2006

Loper Koran Perlu Diberdayakan

Para loper koran, majalah, dan tabloid, kini boleh berbangga hati. Keberadaan mereka saat ini ditaungi secara resmi oleh sebuah yayasan yang menamakan dirinya Yayasan Loper Indonesia (YLI). Yayasan ini secara khusus bergerak mengemban misi kesejahteraan, pembinaan, dan pemberdayaan para loper.

Menurut ketua penyelenggara Loper's Day, Laris Naibaho, sebagai ujung tombak industri pers, keberadaan loper ini seringkali termarjinalkan. Karena itu, YLI bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan para loper. Termasuk mengupayakan adanya jaminan bagi penghidupan para loper di bidang kesehatan, pendidikan. YLI juga akan melakukan pembinaan, dan pemberdayaan para loper koran sehingga bisa meningkatkan taraf hidupnya di masa yang akan datang.

Selain mengupayakan peningkatan kesejahteraan para loper, program jangka pendek YLI adalah berupaya meregistrasi sekitar lima ribu loper se-Jabodetabek. Data ini akan disusun untuk membuat database loper sehingga bisa mulai dikutsertakan dalam program asuransi. Pendeklarasian Yayasan Loper Indonesia akan dilakukan berbarengan dengan puncak perayaan Loper's Day, Jumat mendatang (11/3).

Selain perayaan Loper's Day, pendeklarasian YLI, juga akan diluncurkan situs khusus para loper di www.loper.or.id. Situs ini akan berisi informasi tentang para loper, dan juga berita. Para loper, dan masyarakat umum bisa mengakses informasi dari situs ini.

Sumber : Republika, 8 Maret 2005

Loper's Day akan digelar di Istora Senayan

Ratusan ribu pengantar koran (Loper) bakal memenuhi Istora Senayan pada 11 Maret untuk menghadiri deklarasi Yayasan Loper Indonesia.

Ketua Penyelenggara Loper's Day Laris Naibaho mengatakan yayasan ini akan didirikan bersama-sama oleh penerbit, tokoh agen, tokoh organisasi pers dan masyarakat peduli.

"Melalui acara ini kami berharap mendapat perhatian dari insan pers. Selama ini kami turut memberikan sumbangsih pada pengembangan dunia industri surat kabar. Namun kesejahteraan kami belum ada yang memikirkan," ujarnya hari ini.

Sumber : Bisnis Indonesia, 7 Maret 2005

Indonesia Punya Hari Loper

LOPER'S DAY - Ratusan loper koran se-DKI Jakarta, Jumat (11/3), mendatang akan mengadakan The Loper's Day 2005 di Istora Senayan, Gelora Bung Karno, Jakarta, dengan dihibur beberapa artis Ibukota.

Bagi loper, yakni pengantar, pengecer, dan pedagang koran di seluruh Indonesia, hari Jumat tanggal 11 Maret nanti merupakan hari yang paling berbahagia. Karena pada hari tersebut, akan dirayakan The Loper's Day 2005 atau Hari Loper 2005, yang penyelenggaraannya akan dilakukan secara besar-besaran di Istora Senayan, Jakarta.

Selain itu, pada saat yang sama juga akan dideklarasikan Yayasan Loper Indonesia (YLI), yakni lembaga yang mendapat otoritas dari penerbit dan agen dalam penyelenggaraan program kesejahteraan, pembinaan, dan pemberdayaan loper. Hal tersebut diungkapkan Ketua Panitia The Loper's Day 2005, Laris Naibaho dalam konferensi pers yang diadakan di gedung Suara Pembaruan, Senin (7/3).

Laris melanjutkan, hari loper merupakan hari cinta kasih untuk para loper seluas-luasnya. Gagasan untuk mencetuskan hari loper muncul karena ia menilai pekerjaan loper merupakan bagian terpenting dari sistem distribusi surat kabar.

Tanpa loper, menurutnya kepuasan pembaca tidak akan tercipta. "Dengan memberikan perhatian kepada para loper, mereka akan menjadi loper yang baik. Untuk itu, mari kita mengucapkan loperku sayang loperku manis, supaya mereka bekerja dengan manis," kata Laris.

Laris mengatakan, penyelenggaraan Hari Loper ini melibatkan seluruh penerbit yang ada di Indonesia. Pihaknya juga akan berusaha untuk membakukan tanggal 11 Maret nanti sebagai Hari Loper di Indonesia. Bahkan, ia pun berencana untuk menjadikan tanggal tersebut menjadi Hari Loper Sedunia.

"Walaupun Hari Loper ini lahir dari bumi pertiwi, tetapi kita akan berusaha mudah-mudahan akan dirayakan di seluruh dunia. Karena pada dasarnya di seluruh dunia ada loper, hanya namanya saja yang berbeda-beda," ungkap Laris.

Salah satu pendiri YLI, Rudy Sinaga mengungkapkan, alasan dibentuknya YLI adalah untuk membina dan mendidik para loper agar dapat hidup lebih baik. "YLI akan memberikan jaminan berupa asuransi kesehatan dan pendidikan. Jadi, walaupun berstatus loper, mereka tetap memiliki keahlian sesuai dengan minat mereka. Kita memberi pembinaan diluar pekerjaan mereka sebagai loper, salah satunya keahlian komputer," tutur Rudi.

Menurut Rudi, saat ini profesi loper tidak bisa dipandang sebelah mata. Walaupun masih berstatus informal, loper merupakan profesi yang sangat menjanjikan.

Ia melanjutkan, loper merupakan mata rantai paling ujung dalam pemasaran suratkabar. Ia pun mengusulkan agar sektor industri suratkabar dan agen tidak melupakan nasib para loper.
"Selama ini, mereka tidak pernah dipikirkan. Banyak dari mereka yang nasibnya belum baik. Padahal di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi saja jumlahnya mencapai 50.000 orang loper. Ini merupakan tugas semua pihak," lanjut Rudi.

Penyelenggaran hari loper nanti rencananya akan dihadiri oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso. Selain itu, acara ini akan dihadiri oleh perwakilan loper, penerbit, insan pers, dan seluruh komponen masyarakat. Acara yang dimeriahkan oleh Ebiet G Ade, Joy dan Jelita Tobing, Geng Hijau, serta artis pendukung lainnya tersebut akan berlangsung dari pukul 12.00 hingga 18.00 WIB. (AAF/N-6)

Sumber : Suara Pembaruan

Melindungi Loper Koran Lewat Sebuah Yayasan

Pengantar koran atau yang dikenal sebagai loper, sebenarnya bukanlah pekerjaan alternatif, dalam arti baru dilakukan kalau tidak diterima bekerja di instansi atau pun perusahaan. Tetapi menjadi loper adalah suatu pekerjaan pilihan yang bisa dilakukan oleh siapa saja, tanpa dibatasi oleh status pendidikan dan usia.

Menurut Laris Naibaho, salah seorang agen besar koran dan majalah, pekerjaan apa pun jika dilakukan tanpa rasa malu, pasti akan membuahkan hasil. Karena, menjadi loper bukan hanya sekAdar menyodorkan tangan mengharap belas kasihan dari orang lain, tetapi membutuhkan kejelian dan kegigihan seseorang untuk dapat menjual koran atau majalah yang dibawanya.

Dari hasil penjualan koran dan majalah itu, loper mempunyai uang yang bisa dipakai untuk membelanjakan berbagai keperluannya. ”Mau jadi loper itu mudah, tidak perlu buat lamaran pekerjaan, menunggu keputusan kapan mulai bekerja dan lain-lain. Cukup datang dan berbekal niat serta kemauan untuk menjadi loper, sudah cukup menjadi prasyarat bagi seseorang yang ingin menjadi loper. Kuncinya hanya satu tidak malu, setiap orang pasti bisa,” papar pemilik agen Frienship itu.

Tetapi untuk era sekarang, khususnya di kota besar seperti Jakarta, menjadi loper bukan pekerjaan mudah. Karena, pekerjaan yang mereka lakukan rawan operasi penertiban. Tak heran, kalau pada akhirnya untuk bisa menjadi loper diperlukan orang yang cerdik dan pandai dalam berkelit khususnya dari jaring yang ditebar para petugas tramtib.Untuk meminimalkan terjadinya kasus penertiban terhadap para loper, dibentuklah sebuah yayasan yang diberi nama Yayasan Loper Indonesia (YLI).

Nantinya, yayasan ini selain memberikan pelatihan juga akan memberikan perlindungan dalam bentuk kesehatan para loper yang selama ini seakan terabaikan.Audiensi dengan GubernurSalah satu langkah yang akan dilakukan oleh pengurus YLI, menurut Laris Naibaho, dalam waktu dekat akan melakukan audiensi dengan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso.

Dalam pertemuan itu, nantinya, akan dibicarakan bagaimana memberdayakan loper dan cara apa yang bisa dilakukan para loper supaya tidak melakukan pelanggaran saat menjajakan koran dan majalah. ”Paling tidak, jika yayasan sudah terbentuk, kami bisa mendiskusikannya dengan Pemda DKI agar memberikan ruang bagi para loper untuk melakukan aktivitasnya tanpa harus mengganggu ketertiban.

Nantinya bisa dibangun outlet-outlet khusus yang bisa dijadikan tempat bagi para loper dalam menjalankan aktivitasnya, di samping memberikan pelatihan dan memproteksi kesehatan para loper secara fisik,” kata Laris. Dan yang bisa menjadi anggota yayasan ini, adalah para loper atau siapa pun yang bisa menunjukkan aktivitasnya sebagai penjual koran atau majalah.

Untuk sementara YLI hanya akan memproteksi para loper di Jabotabek, tetapi ke depannya, akan dikembangkan hingga ke seluruh kota di nusantara. ”Sejauh ini, yang namanya loper biasanya berada di bawah kendali agen, dan penerbit. Tetapi jika memang ada orang yang ingin masuk menjadi anggota YLI sejauh dia bisa menunjukkan aktivitas kesehariannya sebagai loper, ya pasti kita terima,” ujar Laris, yang juga Ketua Penyelenggara Loper’s Day.

Masalah Dana
Soal dana, Laris dengan jujur mengakui sebagai salah satu urat nadi bisa berjalannya YLI. Kendati demikian untuk operasionalnya para pengurus yayasan ini tidak akan membebankan pembayaran iuran pada para loper, tetapi akan merundingkannya dengan para agen dan penerbit koran di Jabotabek. ”Kita memang butuh dana untuk menjalankan YLI, namun tidak mungkin kita menariknya dari loper. Karena kita semua tahu penghasilan mereka pas-pasan, kalau ditarik untuk iuran yayasan mereka makan apa.

Untuk itu, para pengurus akan mendiskusikannya pada agen atau penerbit koran dan majalah,” tegasnya.Untuk lebih jelasnya, apa, bagaimana dan kenapa YLI dibentuk, tambah Laris, bisa dibaca di website www.loper.com, yang saat ini masih dalam proses pembuatan. ”Dalam waktu dekat, website itu bisa diakses, saat ini memang masih dalam proses pembuatan,” lanjutnya.Seperti diketahui, saat ini jumlah loper di Jakarta, Depok, Bogor, Tangerang, dan Bekasi sedikitnya 50.000 orang.

Tapi persoalannya, apakah yayasan ini bisa berjalan seperti yang dijanjikan para pengurusnya? Kalau boleh jujur, keberadaan yayasan ini memang sangat diperlukan oleh para loper, yang sejauh ini kondisi kesehatannya tidak pernah terpikirkan oleh siapa pun kecuali dirinya sendiri dan keluarganya.

Selain itu, peran YLI juga sangat besar, jika memang bisa mengakomodasikan peran para loper dengan Pemda DKI supaya tidak selalu dijadikan objek yang harus dikejar tramtib setiap harinya, karena berjualan di trotoar dan perempatan jalan. Kita tunggu saja jawabannya dalam waktu dekat. (SH/satoto budi)

Sumber : Sinar Harapan, 11 Februari 2005.

Para Loper Menuntut Pengakuan

BISAKAH surat kabar hidup tanpa loper? Sepopuler apa pun media massa cetak, sebagus apa pun berita yang mengisi halaman-halaman koran, majalah, atau tabloid, tak berarti banyak bila tak sampai ke tangan masyarakat pembacanya. Jadi sulit rasanya, menging- kari peran loper.

APAKAH ada media cetak yang tak butuh loper? Bisa jadi memang ada. Para pejabat pemerintahan biasanya hafal benar dengan nama-nama media cetak yang tak butuh loper.
"Iya, koran yang wartawannya sekaligus loper. Ke mana-mana bawa koran, kasih liat berita sudah dimuat, lalu minta 'honor' dari pejabat," ucap salah seorang staf di lingkungan Humas Pemerintah Kotamadya Jakarta Pusat, sambil bercanda.

Biasanya media seperti itu adalah media cetak, yang tak jelas eksistensinya. Tempo-tempo terbit, tempo-tempo mati. Malah, ada media cetak yang hanya terbit atas pesanan orang tertentu. Isinya tentu sesuai dengan misi yang akan disampaikan orang itu, yang tentu saja mendanai semua penerbitan.

Biasanya, oplah cetaknya tak banyak, paling banter 1.000 eksemplar. Lopernya, wartawannya sendiri, atau investor dadakan itu. Lepas dari media yang keberadaannya tak jelas itu, peran loper sebagai ujung tombak memang tak perlu disangsikan. "Tanpa loper, siapa yang akan mengantar koran dari perusahaan media ke masyarakat?" kata Laris Naibaho, Ketua Penyelenggara Hari Loper Indonesia, The Loper's Day.

Pelaksanaan acara Hari Loper pada Jumat, 11 Maret 2005, dijadikan hari pertama dimulainya penetapan Hari Loper di Indonesia, oleh Yayasan Loper Indonesia (YLI). "Ini baru dicetuskan asli dari Indonesia. Di seluruh dunia pun, ada loper. Oleh karena itu, kita berharap nantinya hari loper juga akan ditetapkan di seluruh dunia," ucap Laris.

Meski belum mendapat pengakuan resmi dari pemerintah, namun menurut Laris, sudah ada tanggapan positif dan dukungan. "Kita sudah bertemu dengan Menteri Komunikasi dan Informasi. Justru mereka bertanya, mengapa tidak pernah ada yang menyampaikan sebelumnya. Mereka sangat mendukung adanya Hari Loper," ujarnya.

Perayaan Loper's Day Jumat siang itu, cukup meriah. Sejumlah aktor dan artis ternama, turut hadir. Penyanyi senior Ebiet G Ade, yang lagu-lagu lawasnya makin populer pascabencana tsunami dan gempa di Aceh dan Sumut, tampil memukau. Demikian juga duo bersaudara, Joy dan Jelita Tobing.

Acara yang dipandu oleh Intan Nugroho dan Geng Hijau itu, mampu menghidupkan suasana. Karena itu, ketidakhadiran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso seperti rencana semula, tidak membuat para loper kecewa. Mewakili gubernur, hadir Walikota Jakarta Pusat, Muhayat.

Di Istora Senayan pun bergema "Hidup Loper...", yang diteriakkan oleh ribuan loper. Mereka adalah bagian dari sekitar 50.000 loper di seluruh Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Huruf "L" yang dibentuk dari ibu jari dan telunjuk, berulang kali mereka lakukan sembari meneriakkan yel-yel "Hidup Loper...".

Itulah bentuk "proklamasi" loper, bahwa mereka sangat berarti bagi beredarnya berita di negeri ini. "Hari Loper ini, adalah hari cinta kasih bagi para loper. Mereka yang selama ini tak lepas dari struktur media, yang tenaganya jelas dibutuhkan sebagai ujung tombak, tapi tak pernah mendapat perhatian yang serius," tukas Laris.

Selain masalah kecilnya penghasilan, menurut Laris, selama ini peran loper, juga agen koran, terbenam tanpa mendapat penghargaan yang layak. Misalnya, ketika para loper koran dirazia, ditangkapi oleh para petugas Ketentraman dan Ketertiban (Tramtib), hanya sedikit yang mau memperhatikan nasib mereka.

Padahal, kalau mau dipahami, media cetak bergantung juga nasibnya pada loper. Tanpa keberadaannya, koran, majalah, atau tabloid, tak bisa sampai ke masyarakat pembacanya.
Tidak laku, artinya tidak ada pemasukan bagi media bersangkutan. Peran loper bukan cuma berarti bagi media bersangkutan, tapi juga masyarakat.

"Tanpa loper, masyarakat sulit dapatkan media, tidak bisa mendapatkan berita terbaru, terkucil," katanya. Total oplah surat kabar di Indonesia Cuma 2,2 juta. Bayangkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang 200 juta lebih. Ini bisa berarti belum maksimalnya pendistribusian media, akibat kurangnya pembinaan para agen dan loper.

Hari Loper, kata Laris, telah jadi wacana sejak lama. Namun baru diseriusi sejak Oktober 2004 lalu. Dimulai dengan pembentukan Yayasan Loper Indonesia (YLI), untuk mewadahi para agen dan loper koran. YLI merupakan lembaga yang mendapat otoritas dari penerbit dan agen dalam penyelenggaraan program kesejahteraan, pembinaan, dan pemberdayaan loper.

Keberadaan YLI sangat penting, apalagi menyadari pentingnya perlindungan bagi para loper, yang kerap dijadikan musuh oleh pemerintah, dengan penangkapan para loper dalam tiap operasi penertiban pedagang kaki lima (PKL) dan asongan.

YLI akan memberikan jaminan berupa asuransi kesehatan dan pendidikan. Jadi, walaupun berstatus loper, mereka tetap memiliki keahlian sesuai dengan minat mereka. Kita memberi pembinaan diluar pekerjaan mereka sebagai loper, salah satunya keahlian komputer

Pendidikan Gratis
Menurut Laris, Pemerin-tah Provinsi DKI Jakarta juga telah memberi respon positif. "Sedang dibicarakan kerja sama dengan YLI untuk pemberian pendidikan gratis bagi para loper usia sekolah," katanya. Lebih jauh, kata dia, dengan hari Loper diharapkan ada pengakuan, baik dari perusahaan media, maupun pemerintah, juga masyarakat.

Pengakuan dari media massa, bisa dalam bentuk pemberian hari libur pada hari-hari libur nasional. "Kita tahu, saat ini masih ada media yang tetap terbit pada hari libur," ucapnya. Hal tersebut membuat loper dipaksa untuk tetap masuk pada hari libur, atau ancaman pemecatan.
"Kita tidak bisa jual koran lebih dari satu macam. Kalau berani jual, tidak akan dikasih jualan lagi. Kalau bolos, misalnya libur tapi korannya terbit, lalu kita tidak masuk, bisa tidak dikasih jualan lagi. Atau jumlah koran yang bisa dibawa dikurangin besoknya," kata Ujang (24), salah satu loper, Kamis (10/3).

Hal seperti itu, kata Laris, harus mulai dihentikan. "Kami berharap, loper juga diberikan hari libur. Misalnya, harus terbit pada hari libur nasional seperti Natal atau Lebaran, diberi pilihan saja. Tetap masuk, tapi kalaupun tidak masuk, juga tidak akan mendapat sanksi. Kalau pimpinan media massa, liburnya bisa berapa puluh hari dalam setahun, sementara waktu kerja loper adalah 365 hari," katanya.

Pelaksanaan acara Hari Loper, kata Laris, berjalan lancar dengan banyak dukungan. Dia menyebut lega dengan kesuksesan itu. Sebab itu merupakan bentuk kemenangan para loper. Pengakuan dan penghargaan terhadap peran para loper itu, bisa jadi telah mulai terbentuk. Mudah-mudahan gerakan itu bisa meningkatkan kesejahteraan mereka, sebab selama ini upah yang kecil nyaris tak bisa mencukupi kebutuhan nyata para loper itu sebenarnya.

Sumber : Suara Pembaruan

Newspaper vendors feted

FOR Agus, 27, being able to take a day off to spend time with his eight-month old daughter, Syaula, even during an official holiday such as Friday's, is a luxury.

"I WORK seven days a week, usually 12 hours a day," said Agus, who earns Rp 1.2 million a month selling newspapers and magazines at a stall in Cilincing, North Jakarta. "If not, I wouldn't be able to afford Syaula's formula."

Agus, who worked for only half a day on Friday, was one of the estimated eight thousand people, comprising mainly print media vendors and carriers, who packed the Istora Arena in Senayan, Central Jakarta, for Friday's "Loper's Day".

Loper is the Indonesian term for people who distribute print media, such as newspapers and magazines, to readers' hands, covering vendors who sell at traffic lights to carriers who deliver door-to-door during the mornings.

Organizers called the event as a "love-fest" to honor and appreciate the vendors, which account for around 50,000 people working in the Greater Jakarta area.

"This day is dedicated to you, our beloved vendors," said Laris Naibaho, the organizer of the event. "We appreciate what you do, not just today, but on every single day."

During the three-hour event, which was free of charge, the vendors were showered with food, a hymn and a poem created in their honor, musical performances, door prizes, with the grand prize being a Hajj pilgrimage for two, and even an allowance of Rp 20,000, just for being there.

"We are often marginalized, so an appreciation like this feels marvelous," said Agus, who has been selling newspapers since he was laid off from his job at a ceramics factory in 1998, because of the economic crisis.

During the event, Laris Naibaho, who also owns a large newspaper agency in South Jakarta, declared the formation of a national foundation for the vendors, aimed at improving their welfare.

"We will protect your rights and livelihoods," Laris told the crowd, who gave him a thunderous applause.

About seven thousand of the crowd were vendors and their families and the remaining thousand were representatives from newspaper distribution agencies, publishers and the city administration.

Jakarta Governor Sutiyoso, who couldn't be present because he was attending the Lake Toba Summit in North Sumatra, sent an address that was read by the Mayor of Central Jakarta, Muhayat.

In the address, Sutiyoso acknowledged that the vendors were a vital part of the city's economy, helping reduce unemployment and having a pivotal role in the supply chain.

However, the governor gave a subtle warning, which was implicitly understood by most of the vendors, saying "My beloved vendors, don't forget to keep Jakarta beautiful and don't work in dangerous spots."

Daryatin, who earns around Rp 30,000 daily selling newspapers on the street, said that from Sutiyoso's words it was clear that the city would continue to be vigilant trying to keep vendors off the streets.

"The (police) come by at least twice a day. It makes my life hard," said Daryatin, who had spent a week in jail for peddling newspapers at traffic lights. "All I want to do is earn an honest income."

Sumber : The Jakarta Post, 13 Maret 2005

Gramedia Terbitkan Buku Karya Laris Naibaho


CERMIN Kaca Retak memuat kisah-kisah anak manusia yang barangkali juga pernah kita temui atau alami sendiri.

KISAH yang membuat kita terperangah, jengkel, kesal, sebal atau merasa terdorong untuk melakukan perubahan. Namun, kita merasa tak berdaya untuk menghadapi, apalagi mengubah, orang-orang atau peristiwa seperti itu.

Kita hanya bisa mengomel dalam hati. Membaca dan merenungkan kisah-kisah dalam buku ini tidak hanya menyadarkan kita akan sikap dan perilaku kita sehari-hari, tapi juga menggugat pola pikir yang selama ini kita pegang dan kita anggap benar, ternyata-tanpa kita sadari-bisa sangat mengganggu orang lain.

Buku ini dijual dengan harga Rp 20.000, ukuran 11 X 18 cm, dengan tebal halaman 166 halaman, ISBN : 979-22-0052-5; 20402052 dan dalam perpustakaan termasuk kategori:
Nonfiksi / Pengembangan Diri dan Inspirasional / Spiritualitas

Sumber : Toko Buku Gramedia.

Loper Koran Dapat Asuransi Jiwa


SEBANYAK 300 loper koran dan majalah di kawasan Jabotabek mulai Selasa (2/8) diasuransikan jiwa dan kesehatannya. Mereka mendapat perlindungan kesehatan dan kecelakaan kerja dari Asuransi Bumi Asih Jaya.

PERLINDUNGAN terhadap jiwa dan kesehatan para loper ini, merupakan program kerja Yayasan Loper Indonesia. Rencananya, asuransi terhadap 300 loper akan diserahkan secara simbolis oleh ketua PWI Tarman Azzam, di kantor YAI Jalan Tebet Barat IV No. 33, siang ini.

Menurut Ketua Umum YAI, Laris Naibaho, penyerahan polis asuransi perlindungan kesehatan dan jiwa para loper yang akan diserahkan siang ini merupakan tahap pertama dengan target untuk tahun 2005 paling sedikit program ini bisa diberikan pada 1.000 loper koran dan majalah.

"Pokoknya kita akan mengkaver semua loper koran dan majalah yang ada di Jabotabek. Sampai akhir tahun 2006 target kita, 5.000 loper sudah punya polis asuransi perlindungan kesehatan dan jiwa," tegasnya.

Diakui, untuk mendapatkan polis asuransi ini, para loper tidak dipungut biaya sepeser pun. Dalam hal ini YAI bekerja sama dengan para penerbit.(sat)

Sumber : Sinar Harapan, 2 Agustus 2005

Dewa-Seurieus Konser untuk Loper


ANDIL mereka besar, tapi masih perlu banyak perhatian. Sebab, loper koran pun manusia! Itulah yang agaknya menyemangati Candil, vokalis band Seurieus asal kota Bandung, untuk tampil di Konser Akar Rumput Peduli Loper, Ahad (11/12) di Lapangan Galapuri, Ciledug, Kota Tangerang, Banten.

BAND papan atas, Dewa, ikut memeriahkan panggung hiburan tersebut. Selama empat jam dari pukul 14.00 WIB, di bawah cuaca yang sempat diguyur hujan, mereka menghibur sekitar 20 ribu penonton dengan masing-masing membawakan sepuluh lagu. Jika Seurieus menggebrak dengan lagu andalan berjudul Rocker Juga Manusia, kelompok Dewa pimpinan Ahmad Dhani juga antara lain mengumandangkan tembang hit-nya, Pangeran Cinta, dari album terbaru mereka, Laskar Cinta.

Konser diselenggagaran Yayasan Loper Indonesia (YLI) bekerjasama dengan sebuah perusahaan rokok. Acara itu bukan panggung yang khusus bagi para loper, tapi panitia menjual tiket masuk bagi para penonton dari kalangan umum. ''Konser ini bertujuan untuk penggalangan dana bagi ketersediaan biaya jaminan layanan kesehatan ratusan ribu loper yang tersebar di wilayah Jabodetabek,'' ungkap Ketua Umum YLI, Laris Naibaho. Konser peduli loper akan digelar di 33 kota di Indonesia. ''Keuntungan bersih dari penjualan tiket di setiap konser yang kami adakan akan disalurkan bagi pembayaran premi asuransi kesehatan para loper yang menjadi anggota YLI,'' ujar Laris .

Sejak berdiri pada Maret 2005, saat ini YLI telah berhasil membayarkan premi asuransi kesehatan bagi 1.000 anggota. Dananya diambil dari keutungan kegiatan-kegiatan yang dialaksanakan YLI selama setahun terakhir. Aji Purwoko, salah satu pendiri YLI, mengatakan, lewat kegiatan-kegitan semacam konser, masyarakat diharapkan mau peduli pada keberadaan loper. Sebab, berbeda dengan buruh atau karyawan suatu perusahaan, kerja loper tidak dilindungi undang-undang. ''Padahal profesi mereka cukup vital dalam penyebaran informasi media cetak dan meningkatkan minat baca masyarakat,'' katanya.

"Semoga anggota yang bisa kami jaminkan asuaransi kesehatannya dapat terus bertambah dari tahun ke tahun. Sehingga bagi loper yang sakit dan membutuhkan biaya yang cukup besar dapat terbantu," tutur Aji. Acara khusus bagi loper sendiri, menurut Aji, akan diadakan sekitar Maret 2006, bertajuk Loper's Day. "Acara ini bersifat fun gathering dan ingin mengundang Presiden SBY,'' katanya. ( c41 )

Sumber : Republika, 12 Desember 2005.

Thursday, June 01, 2006

Pak Rorim di Mata Agen Koran dan Wartawan


PENDIRI Sinar Harapan (1961-1986 dan 2001-sekarang), Hendrikus Gerardus Rorimpandey, Minggu (17/11) siang dimakamkan di TPU Pondok Rangon, dalam upacara militer, dengan inspektur upacara Mayjen (purn) EY Kanter, mantan Kababinkum ABRI., dihadiri oleh para keluarga, sahabat, mantan anak buah dan handai taulan.

SEBELUMNYA, dia disemayamkan di gedung Sinar Kasih di Jalan Dewi Sartika 136 D, Jakarta Timur, komplek perkantoran koran dan percetakan yang dulu dibangunnya bersama para tokoh pendiri Grup Sinar lainnya. Di sini, mereka yang pernah dekat dengan almarhum menyampaikan kenangan dan catatan tentang Pak Rorim, panggilan akrab HG Rorimpandey.

Yang bicara bukan saja para bos dari Grup Sinar, seperti Sabam Siagian, Sasongko Sudarjo, atau para tokoh pers seperti Jacob Oetama, Aristides Katoppo dan Sofyan Lubis, tapi juga orang-orang yang pernah dan masih terus terlibat dengan Sinar Harapan. Misalnya saja para agen koran di Jakarta seperti Laris Naibaho, Sahala Hutagalung, Usdin Nainggolan, Thio Kim Hok, Dharmawan dan Rahardja (Bogor).

Laris pada kesempatan itu menyebut bahwa para agen koran ibarat pihak boru dalam adat Batak yang harus senantiasa marhobas untuk pihak hula-hula (raja) dalam hal ini penerbit koran. Namun demikian, bersama Pak Rorim dia merasakan hangatnya perhatian terhadap pada agen atau wong cilik bahkan semasa Sinar Harapan mengalami masa jayanya hingga tahun 1986. ”Pak Rorim biasa mengunjungi ke rumah kami,” ujarnya.

Maka ketika Sinar Harapan mengumumkan akan hadir kembali Laris, yang menjadi agen sejak 1971, mengaku dirinya merasa sangat senang. Ada satu kenangan terakhir baginya terutama ketika Pak Rorim masih mau menyempatkan diri untuk berbicara dengan agen-agen koran.Semangat Pak Rorim itu dirasakan kembali para agen ketika mereka diundang berkaitan dengan rencana menerbitkan kembali Sinar Harapan pada 2 Juli 2001. ”Saya masih ingat sekali waktu beliau berkata bahwa dirinya ingin sekali melihat kembali senyum cerah para agen seperti ketika Sinar Harapan masih besar di mata masyarakat,” katanya.

Ketika berbicara kepada para agen waktu itu, Pak Rorim sudah sulit berbicara, namun terpancar kuat semangat dan keyakinannya.Laris juga mengatakan bahwa di tahun 80 an, Pak Rorim lah yang pertama kali mempelopori pemberian tas kepada loper-loper koran. ”Pada saat itu untuk bertemu dengan penerbit atau Pak Rorim adalah sesuatu yang sangat istimewa, apalagi tidak jarang kita diundang untuk makan. Tidak seperti sekarang ini dimana undangan itu sudah biasa,” ujarnya.

Kesan yang sama juga disampaikan oleh Andres Piade, seorang agen Sinar Harapan di Bekasi Timur. Menurut dia, Rorimpandey adalah seorang top manager yang perhatian dengan siapapun termasuk, para agen koran. Baginya, agen adalah anggota keluarga yang paling tidak harus dihargai dan diperhatikan. Karena, tanpa agen dan loper, koran tidak akan sampai kepada pelanggan dan pembacanya.

Peduli Kesejahteraan
Mantan wartawan, Panda Nababan, yang kini Anggota DPR-RI, merupakan satu di antara jebolan wartawan Sinar Harapan yang cukup lama mengenal dan dekat dengan Almarhum Hendrikus Gerardus Rorimpandey. Panda bergabung dengan SH sejak tahun 1971, dan banyak kesan yang tak mungkin dilupakannya selama belasan tahun bersama Pak Rorim (panggilan akrab Rorimpandey). Dalam percakapan di rumah duka, Jumat (15/11) malam.

Panda mengungkapkan kalau membicarakan orang yang sudah meninggal, biasanya hanya yang baik saja. ”Tapi saya tidak berbasa-basi. Di mata saya, Om Her (sapaannya kepada Rorimpandey, red.) memang legendaris, baik sebagai pemimpin, konsitensi dan kepedulian terhadap wartawan muda, termasuk soal kesejahteraan,” ungkapnya. Ada satu kisah di tahun 1971, yang tidak mungkin dilupakannya. Sebagai wartawan pemula, di satu siang, dirinya dihampiri Pak Rorim dan mengajaknya makan siang berdua.

”Sebagai wartawan pemula, saya hampir tidak percaya dan sangat terkejut, karena yang mengajak itu Pemimpin Umum Sinar Harapan,” katanya.Di sela-sela makan Pak Rorim mengatakan, ”Pan, berita kau itu hebat! Saya bangga, karena jadi bahan pembicaraan dalam pertemuan antara Pemred dengan Menpen,” papar Panda.

”Jadi, bukan soal harga makanan, tapi itu memperlihatkan betapa besar perhatian Om Her kepada wartawan. Saya sangat merasakan itu.”Tahun 1974 dia ditugasi meliput perang Vietnam selama sebulan. Suatu hari, Pak Rorim bersama ibu mendatangi istrinya dan kemudian mengajak untuk nonton di Bioskop Megaria dan pulang membawa mie pangsit. ”Bisa dibayangkan, bagaimana perasaan istri saya, karena dijemput dan diajak nonton seorang pimpinan,” kenangnya.

Dalam memimpin, Om Her selalu melakukan pendekatan personal kepada wartawan atau karyawan lain, dia mengenal semua karyawan sampai yang paling bawah. ”Pendekatan seperti itu, saya sering tiru ketika di kemudian hari saya menjadi pemimpin di koran dan majalah saya,” ujar Panda, yang mengundurkan diri dari Sinar Harapan pada 1986 sebelum koran ini dibreidel, untuk mendirikan harian Prioritas.

Panda juga merasakan sendiri sikap konsisten Rorimpandey. Suatu ketika, ada instruksi dari pihak luar (penguasa-red) agar Aristides Kattopo disingkirkan dari Sinar Harapan. Itu satu syarat bagi Sinar Harapan saat itu. ”Kebetulan saya ikuti rapat itu dan kami bersikeras menolak hal itu. Sikap kami itu sangat didukung Om Her,” ujarnya.Sikap konsisten itu juga diperlihatkan pada kasus pemberitaan yang menimbulkan konflik kepentingan..

Ada hasil investigasi mengenai proyek yang bermasalah. Proyek itu melibatkan pengusaha besar. Ketika saya konfirmasi berita itu kepada pengusaha yang bersangkutan, dengan sikap angkuh dia mengatakan, ”Saya bangun Jakarta tapi tidak pernah satu kali pun jadi head line. Tapi satu kesalahan langsung ribut. Saya juga sering bantu wartawan,” ujar Panda meniru pengusaha itu. Karena dia merasa pengusaha itu begitu sombong, maka dia berkeras melawannya.

”Kami bertengkar. Rupanya, si pengusaha mendekati teman akrab Om Her, Pak Erik Samola dan meminta agar berita itu dihentikan. Akibatnya, saya dipanggil Om Her. ”Pan, saya dengar kau bertengkar. Ada apa? Saya jelaskan, dia sombong dan saya lawan. Ini ada rekaman kalau Om Her mau dengar,” ujar Panda. Mengenai permintaan agar berita itu dihentikan, Om Her menceritakan juga kepadanya. ”Pan, dia minta berita itu distop. Menurut kamu, bagaimana? Karena saya dimintai pendapat, saya katakan saja agar diteruskan. Itu didukung Om Her. Padahal kurang cs apa Om Her dengan Pak Erik Samola? Sering Om Her mengesampingkan relasi dan bisnis dalam mengelola Sinar Harapan. I

tu bentuk konsistensinya. Jadi saya bilang, kalau soal konsistensi itu, Om Her memang legendaris,” kenang Panda.Pada masa dirinya aktif sebagai wartawan, juga sering dipanggil dan diperiksa aparat keamanan berkaitan dengan berita. Setiap kali mendapat panggilan (dari aparat keamanan-red). ”Om Her selalu berpesan agar jangan lupa membawa handuk good morning dan sikat gigi. Karena saat itu, biasanya kalau dipanggil langsung ditahan.” (fel/sat/ady/edl/kbn/dre)

Sumber : Sinar Harapan, 18 November 2002
Sumber Foto : Tokoh Indonesia

Hukum Jamin Hak Pelanggan Media Cetak secara Kuat


PENERBIT media cetak-koran, tabloid, dan majalah-tak bisa semena-mena memperlakukan pelanggannya. Sebab, hak seorang pelanggan media cetak sangat kuat dijamin oleh hukum. Pelanggan tak hanya bisa menggugat secara perdata ke pengadilan bila media yang dilangganinya selalu datang terlambat, tetapi juga berhak mempersoalkannya apabila pemberitaan yang disajikan media tersebut cenderung tidak benar atau menghasut.

PERSOALAN itu mengemuka dalam lokakarya perlindungan hukum bagi pelanggan media cetak yang diprakarsai Forum Pemerhati Penerbitan Pers Indonesia, Sabtu (15/9), di Hotel Santika, Jakarta. Narasumber yang tampil, antara lain Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Indah Suksmaningsih, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Irianto Subiakto LLM, Agung Adi Prasetyo dari Harian Kompas, dan praktisi keagenan media cetak, Laris Naibaho.

Irianto mengingatkan, pelanggan media cetak bisa saja menggugat ke pengadilan apabila koran, tabloid, dan majalah yang dilangganinya selalu datang terlambat. Karena, jelas keterlambatan itu merugikan pelanggan. Pelanggan media cetak mempunyai hak mendapatkan informasi tepat waktu.

"Saya bukan mengajak masyarakat untuk menggugat penerbit maupun agen, apabila media yang dilangganinya selalu tiba terlambat. Namun, harus diingat pelanggan itu mempunyai hak yang dijamin undang-undang (UU). Saya pribadi lebih percaya pada hukum pasar. Kalau media cetak itu selalu terlambat diantarkan kepada pelanggannya, pasti pelanggan akan beralih pada media yang lain," tegas praktisi hukum tersebut.

Irianto menegaskan, Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pun secara tegas menjamin hak pelanggan media cetak atas informasi yang disajikan media tersebut. Pasal 10 UU itu menyatakan, pelaku usaha dilarang memberikan pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan. Pelaku pelanggaran Pasal 10 UU 8/1999 itu dapat dikenai hukuman maksimal lima tahun penjara dan denda maksimal Rp 2 milyar.

Indah Suksmaningsih juga mengingatkan, pengelola media cetak semestinya menghargai hak pelanggan - masyarakat - untuk mendapatkan informasi. Tetapi, berpulang pada pelaku media cetak apakah akan memposisikan dirinya sebagai pemberi informasi atau mengabaikan, karena ada kepentingan lain. Pilihan itu, tentu saja mempunyai konsekuensi yang berbeda-beda.

Diakui, masyarakat memang mempunyai hak penuh untuk menentukan pilihan terhadap media cetak yang akan dibacanya. Namun, diingatkan Indah, media massa yang tak dikelola secara berhati-hati- seperti diingatkan Sejarawan Amerika Serikat Paul Jhonson -akan terlibat dalam tujuh dosa besar yang mematikan. Tujuh dosa tersebut, adalah distorsi informasi, dramatisasi fakta palsu, mengganggu hak seseorang, pembunuhan karakter, eksploitasi seks, meracuni pikiran anak-anak, dan penyalahgunaan kekuasaan. (tra)

Sumber : Kompas, Senin, 17 September 2001
Sumber Foto : Tempo Interaktif.

Loper’s Day di Senayan

Ribuan pengantar media cetak (loper), hari Jumat (11/2) ini akan menggelar acara bertajuk "Loper’s Day" di Istana Olahraga Senayan pukul 15.00-18.00.

Ketua Penyelenggara Laris Naibaho menyatakan, dalam acara itu akan dideklarasikan pula berdirinya Yayasan Loper Indonesia (YLI) yang nantinya diharapkan bisa menaungi segala sesuatu yang menyangkut kehidupan loper, terutama masalah kesehatan. Dengan demikian, para loper akan lebih merasa nyaman dalam melakukan pekerjaannya mengantar koran dan media cetak lain kepada pelanggannya. (*/msh)

Sumber : Kompas, 11 Februari 2005

Dakwaan Salah Alamat

Para agen media cetak kini diliputi perasaan ketir-ketir. Bukan apa-apa. M.P. Simorangkir, pemilik Tohoma Agency di Lampung, telah dijadikan tersangka dalam perkara penyebaran pornografi.

Pada sidang yang digelar Pengadilan Negeri Bandar Lampung awal Oktober lalu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Jahudin Habim, S.H., mendakwa, pria berusia 72 tahun itu melanggar pasal 282 KUHP.

Simorangkir pada Juli lalu telah menjual 92 eksemplar majalah Fenomena edisi No. 065/03/1999. Media terbitan Jakarta itu memang menampilkan foto-foto syur, yang dalam bahasa JPU, "... gambar wanita bugil tanpa busana, yang buah dadanya kelihatan dan gambar lainnya yang melanggar kesopanan." Pada sidang tanggal 9 Oktober lalu Jahudin meminta, majelis hakim menolak keberatan tim penasihat hukum. "Kami memohon, pemeriksaan perkara ini dapat dilanjutkan."

Untuk menyatakan solidaritas, puluhan agen dari Lampung dan Jakarta menyaksikan jalannya persidangan. Umumnya mereka menyesalkan tindakan Polda Lampung dan Kejaksaan. "Sebelum diajukan ke pengadilan, seharusnya sudah ada ketetapan hukum kalau majalah Fenomena tidak boleh beredar," ujar Laris Naibaho, ketua umum Koperasi Agen Media
Cetak Indonesia (Kopamcik)
.
PWI Cabang Lampung juga menyatakan, seluruh majalah yang dijual M.P. Simorangkir adalah media yang memiliki Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP).

Memang, majalah Fenomena, yang mempunyai izin dari Departemen Penerangan no: 1183/SK/SIUPP/Menpen/1999, tengah menghadapi kasus penyebaran pornografi. Bersama Fenomena, ada pula beberapa media yang disidik kepolisian berkaitan dengan pelanggaran pasal 282 KUHP. Antara lain, majalah Matra, Popular, Liberty, Harmonis, HOT, Tangisan Hati,
dan Tragedi. Beberapa di antaranya, menurut Kepala Dinas Polri Brigjen Togar Sianipar, berkasnya sudah dilimpahkan ke Jaksa Penuntut Umum.

Pemred majalah Tangisan Hati Moch. Taufiq dan Pemred majalah Tragedi Furi Aprianto, misalnya, telah dijadikan tersangka. Sementara itu, Pemred majalah Popular - yang menampilkan kover Sophia Latjuba - dan majalah Matra - menayangkan foto Inneke Koesherawati - terus disidik aparat. Namun, sejak Agustus lalu, pengadilan belum menjatuhkan vonis terhadap insan pers yang terlibat perkara penyebaran pornografi.

Menyangkut kasus Simorangkir, Kopamcik berusaha melobi beberapa pihak. Mereka menuntut transparansi dan keadilan, sehingga para agen dan pengecer kembali tenang bekerja. Pekan lalu mereka mendatangi kantor PWI Cabang Bandar Lampung. Menurut Laris Naibaho, ada kejanggalan yang terjadi pada kasus Simorangkir. "Semua isi media ber-SIUPP tanggung
jawabnya ada di tangan redaksi, bukan pada agen atau pengecer." Yang melanggar kesopanan, ujarnya lagi, bukan pengecer, tetapi penerbitnya. "Seharusnya bukan pengedarnya yang dimejahijaukan, tetapi pimpinan perusahaan."

Sumber : Media cetak