Anak Yang Kukasihi

Anak Yang Kukasihi
Obamaputralaris

Monday, May 19, 2008

KILLING ME SOFTLY


KILLING ME SOFTLY

Di tengah macet lalu-lalu lintas antara Pancoran-Pasar Minggu, tiba-tiba melintas wajah seorang teman yang kini menjabat petinggi di salah satu perusahaan pers. Anehnya, bayangan wajahnya seakan tak mau berlalu. Bibirnya menyunggingkan senyum dan sesekali memainkan alis matanya ke arah saya. Terlihat agak menggoda, yang bila saya artikulasikan dalam dunia nyata, seakan ingin berkata, “Bung, apalah yang bisa kau lakukan tanpa bantuan saya?”

Saya coba membuang bayangannya agar tak tergoda. Ternyata tak bisa. Semakin saya coba, semakin jelas bayangannya. Ha?! Padahal saat itu waktu mendekati pukul 22.00 WIB dan belum ada tanda-tanda kemacetan lalu lintas akan berakhir.

Tidak bisa saya pungkiri bahwa kawan yang satu ini begitu mengesankan di hati saya, jauh sebelum ia duduki jabatannya sekarang. Ada nilai tertentu tertera di dalam dirinya, yakni: komitmennya terhadap rakyat kecil, sebutlah loper. Saya bagai terhipnotis dan rela mengerjakan apa saja yang menjadi misi dan visinya kepada para loper.

Di tengah kelebat-kelebat bayangan dan perbuatannya, melintas satu pembicaraan kami berdua saat bangsa ini sedang mabuk kepayang pada demokrasi. Tumbangnya Soeharto dianggap sebagai berkah yang luarbiasa. Rakyat bisa menyuarakan apa saja, dan seolah bisa berbuat apa saja. Dan yang paling mabuk kepayang adalah Pers, karena untuk menerbitkan majalah, tabloid, atau suratkabar, tidak lagi memerlukan SIUPP. Tidak perlu lagi menelepon Departemen Penerangan untuk menambah halaman suratkabar, asalkan ada kemauan. Hari ini berpikir menerbitkan suratkabar, besok sudah bisa direalisir. Begitu mudah. Pemimpin umum bisa merangkap pemimpin redaksi, sekaligus pemimpin perusahaan—bila perlu merangkap pula jadi office boy (OB). Tak masalah.

“Bung,” katanya saat itu, “kalau saya ditanya, era mana yang akan saya pilih, apakah Orde Baru atau Reformasi, akan saya jawab, Orde Baru. Tentu saja karena alasan-alasan kerakyatan dan bukan dari sudut pandang bisnis.”

“Alasan, anda?”

“Di zaman Orde Baru, ada kepastian. Kita tidak dihadapkan dengan letupan-letupan kebijakan yang berubah-ubah. Harga kebutuhan pokok relatif konstan. Harga dan suplai BBM tidak masalah, bahkan negara kita masuk dalam daftar pengekspor minyak. Tidak ada kesulitan mendapatkan kertas. Bung masih ingat bahwa negeri ini pernah swasembada beras?”

“Tapi apa artinya semua itu kalau kita dikerangkeng dan kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat tidak ada? Ini ibarat burung dalam sangkar emas,” bantahku.

“Anda betul. Tapi, untuk apalah bebas bicara, bebas memaki, bebas dan bebas…, tetapi perut lapar. Minyak tanah langka, biaya pendidikan semakin tinggi, angka kemiskinan meningkat. Dan… ini dia! Mencari kertas semakin sulit. Keadaan sekarang tidak lagi nyaman. Tidak ada kepastian hari esok seperti apa. Semua orang, lembaga, merasa paling benar. Situasi menciptakan, yang kuatlah yang semakin kokoh dan yang lemah semakin sekarat karena pada akhirnya modal menjadi panglima.”

“Maksud anda?”

“Lihat saja nanti, spekulan-spekulan akan bertebaran di mana-mana. Kekuasaan modal itu akan merajalela. Akan lahir zombie-zombie. Siang malam mereka intai siapa yang mau dimakan, tak peduli apakah hal itu akan menyengsarakan orang banyak. Yang penting grupnya bisa menguasai semua pasar. Grup perusahaan harus menjadi nomor 1, seperti apa pun caranya,” tambahnya dengan mimik meyakinkan.
***
Tak tahu kenapa, tiba-tiba bayangan temanku itu sontak mendadak lenyap. Ia bagai ditelan bumi. Saya terus mencoba menghadirkannya, nyatanya tak berhasil. Astaga!

Yang terjadi malah bayangan hampir semua loperku satu per satu singgah di benak. Tampak jelas roman wajah mereka, juga mata yang cekung pertanda kurang gizi itu. Saya sadar, wajah yang kuyu dan mata yang cekung itu akibat upah mereka yang tak mampu meningkat menu makanan mereka sehari-hari.

Otakku makin panas. Satu persatu masalah mereka berebut masuk ke dalam pikiranku akibat perbuatan atau yang terjadi semasa Orde Baru dan Orde Reformasi.
Kepalaku bagai digodam, bibirku ingin berteriak: “Tuhan jemputlah aku! Ternyata aku tak mampu melakukan atau berjuang untuk mereka. Para loper yang seharusnya kuperjuangkan itu!”

Ternyata tak secuil pun kata atau teriakan keluar dari mulutku.

Sungguh! Sungguh mati, tak ada yang keluar dari mulutku, kecuali air yang menggenang di
pelupuk mataku. Kubayangkan loperku yang tak memiliki kepastian dalam hal apa pun.
Tak ada jaminan rawat inap dari penerbit manapun kalau mereka sakit. Tak ada yang memberi advokasi kalau mereka dikejar-kejar dan ditangkap petugas tramtib. Juga tak ada kepastian mengenai seberapa kuat mereka hari esok untuk membawa suratkabar atau tabloid yang baru terbit.

Sebab, tak ada kepastian berapakah jumlah halaman suratkabar, majalah, atau tabloid yang akan terbit itu, yang akan mereka antar atau jajakan itu.
Tak satu penerbit media cetak pun—khususnya penerbit suratkabar—yang bisa memastikan berapa jumlah halaman koran yang akan mereka cetak hari esok, lusa, dan selanjutnya. Hari ini atau besok, mungkin 40 halaman. Tetapi bisa pula 100 halaman, walau harganya sama. Itu berarti, bila hari ini sepedanya mampu mengangkut 30 eksemplar suratkabar, besok, dengan eksemplar yang sama namun jumlah halamannya bertambah, sepedanya belum tentu kuat membawa.

Dan, kendati jumlah eksemplarnya sama, halamannya bisa dua atau tiga kali lipat, sementara harganya sama.
Tidak seperti susu, odol, atau barang konsumsi harian lainnya. Timbangan beratnya hari ini pasti sama dengan hari esok, karena spesifikasinya sudah jelas.
Dan bukan hanya soal timbangan yang tak pasti itu. Sebuah suratkabar bisa berlampiran majalah atau tabloid. Secara imperatif hal tersebut harus diantar karena dianggap bagian dari media tersebut dan tak boleh diprotes. Bila diprotes pun bukan tak mungkin akan menimbulkan masalah; yang fatalnya bisa membuat loper yang sudah melarat menjadi sekarat.
Semua berawal dari persoalan profit yang senantiasa dikejar para pengusaha media cetak. Apa pun masalahnya, profitlah yang utama.

Andai saja saya punya kesempatan untuk bertemu (lagi) dengan teman yang baik hati itu, orang penting di perusahaan media cetak itu, akan saya ubah lirik lagu Roberta Flack yang sebelumnya:
Killing me softly with his song
Menjadi
Killing me softly with their amount of newspaper pages

Monday, May 12, 2008

Pengusaha Pers dan Cinta Kasih

Pengusaha Pers dan Cinta Kasih

Lupakan Wiranto yang masih ingin jadi Presiden kendati sudah kalah di pilpres yang lalu. Atau juga Megawati yang masih menganggap bahwa dia yang pantas menjadi Presiden untuk membangun bangsa ini.

Lupakan Muhaimin yang kekeh untuk mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono pada pemilihan Presiden 2009. Lupakan saja semua calon-calon yang ingin menduduki kursi empuk di negeri ini. Karena siapapun yang akan jadi pejabat toh tidak akan mengubah nasib loper yang susah menjadi sejahtera.

Sudah terbukti, dari Soeharto, Habibie, Gusdur, Megawati sampai ke Susilo Bambang Susilo Yudhono, hidup loper semakin terpuruk dan terancam, dan bukan tidak mungkin sebentar lagi istilah loper akan lenyap dari bumi persada, karena menggeluti pekerjaan ini adalah sia-sia.

Yang paling mungkin mengubah nasib loper, adalah , Surya Paloh, Agung Adi Prasetyo, Dahlan Iskan, Wim Tangkilisan, Sutrisno Bachir, Subronto Laras, Margiono, Dedy Pristiwanto, seluruh Pemimpin Perusahaan Pers Indonesia, seluruh Pemimpin Redaksi, para Wartawan. Kalau mereka berikrar untuk mensejahterakan loper, pasti bisa. Tetapi kalau mereka pun diam membisu, apalagi tidak mau tau, bukankah pantas kalau ini adalah keajaiban ke delapan di dunia?

Setiap kali berdebat tentang kemajuan sebuah penerbitan pers, yang hebat-hebat itu bisa langsung kita urai. Tapi faktor loper nyaris tidak pernah terjamah. Dilupakan, mungkin adalah istilah yang paling tepat. Buktinya, nyaris tidak ada pembinaan loper. Nyaris tidak ada penghargaan terhadap loper. Nyaris membicarakan loper seperti tabu. Tetapi tidak tabu memberdayakan loper tersebut agar media cetak sampai ke pembaca.

Saat ini begitu sulitnya mengajak penganggur untuk menjadi loper. Jadi pak Ogah atau menjual teh botol merupakan pilihan. Seorang pak Ogah, dalam waktu hitungan menit, bisa memperoleh beberapa ribu rupiah hanya dengan modal tangan. Tapi untuk mendapat 5.000 rupiah bagi seorang loper bisa jadi harus menjual 25 eksemplar sebuah suratkabar kota. Hitungannya adalah setiap eksplar mendapat kelebihan 200 rupiah.

Kecuali penghasilan yang kecil sebagai loper, eksistensinya pun, hehe he, masih dalam tanda kutip. Buruh bukan. Karyawan bukan. Apalagi kata para cerdik pandai, tidak mungkin loper bisa disebut sebagai profesi. Karena dilakukan bukan karena keahlian. Jadi di mana dan kepada siapakah dia mengeluh yang berkaitan dengan masalahnya?

Ada memang YLI. Tapi bagi penerbit tertentu lembaga ini menjadi barang “haram”. Terbukti, seorang direktur penerbit sebuah perusahaan pers, tidak membolehkan karyawannya terlibat dalam Loper’s Day 2005, Loper’s Day 2006, Loper’s Day 2007. Padahal Loper’s Day digagas dan dilakukan merupakan pemrosesan atau pembentukan istilah loper supaya masuk keambang sadar masyarakat pembaca media cetak. Dan kecuali itu, Loper’s Day adalah hari di mana para penerbit bisa bersatu untuk mewujudkan cinta kasihnya kepada manusia-manusia yang sepanjang tahun telah mengabdi untuk meneruskan produknya ke pembaca.

Loper’s Day 2008, Rabu, 30 Juli 2008 yang rencananya menghadirkan 50.000 orang loper di Pantai Carnaval akankah menjadi ajang berkumpulnya juga para pengusaha pers Indonesia dan para Wartawan, sehingga eksistensi loper tetap terpelihara? Semoga, dan itulah yang memang diharapkan. Dan itu bukan tidak mungkin. Karena itulah Loper’s Day 2008 waktunya ditetapkan jauh-jauh hari, sehingga para petinggi pers ini bisa menjadwalkan dirinya untuk hadir, sekaligus mencari alasan-alasan agar tidak hadir, yang seperti kata orang Batak :

(Horbo ni Silalahi
Marjampal tu Balian
Molo so adong roha
Godang do sidalian.)

Hidup Pengusaha Pers Indonesia
Hidup Wartawan.

Loper Yang Percaya Diri

Loper Yang Percaya Diri

“ Mengapa rupanya kalau saya sombong, kamu rugi? Lagi pula, itu hanya persepsimu. Tapi saya harus tegaskan, kamu jangan macam-macam, dan tidak perlu memberi pernyataan yang mencoba mendiskreditkan Loper’s Day. Sekali lagi jangan coba-coba.”

Bagi anda saya mungkin terkesan sombong. Tidak apa. Tapi kalau mau jujur, loper adalah orang terhebat di Indonesia. Bayangkan, sebagai loper, saya memiliki orang-orang hebat di belakang. Ada Yakob Oetama, Surya Paloh, Erich Tohir, Wim Tangklisan, Bambang Sukartiono, Saur Hutabarat, Primus Dorimulu, Rikard Bagun, dan saya sebut saja semua pengusaha pers, semua pemimpin redaksi, semua wartawan ada di belakang loper. Apa tidak hebat? Pekerja bidang apa yang ada sehebat itu? Sangat tidak mungkin Loper’s Day gagal. Tidak mungkin, kendati, saya tetap melipat tangan berdoa dan menyerahkan segalanya kepada Tuhan, Allah yang Maha baik.

Jadi saya amat bangga sebagai loper. Bangga amat. Karena itu, saya tidak akan meninggalkan pekerjaan ini, meski harus bangun di saat orang-orang masih terlelap. Dinginnya angin pagi bukan halangan, dan meski lalu lintas di sore hari tidak bersahabat akan kutekuni pekerjaan ini, selama kaki masih kuat untuk mengayuh sepeda.

Pekerjaan ini memang tidak bisa diharapkan untuk membeli rumah. Itu jauh. Untuk biaya sekolah anak pun masih harus ngutang sana-sini. Bahkan untuk mengasapi dapur, saya masih harus nyambi ini itu di siang hari. Tidak apa. Saya bangga sebagai loper, karena yakin, saya telah menjadi jembatan kebaikan untuk mengantarkan informasi kepada pembaca. Coba, apa jadinya kalau saya tidak meloper, bukankah akan banyak yang menderita, khususnya pembaca?

Saat ini memang perlakuan terhadap kami sebagai loper belum jelas. Tapi saya yakin, para petinggi Pers di negeri ini tidak menutup mata tentang kehidupan kami. Mereka pasti sedang merumuskan yang terbaik. Buktinya, sudah 3 kali Loper’s Day diadakan. Dan itu, katanya, adalah acara yang dilakukan sebagai perwujudan cinta kasih kepada kami. Yang lainnya, seperti; jaminan rawat kesehatan dan uniform-uniform lain yang menandakan kami sebagai loper akan menyusul.

Loper’s Day 2008 memang sudah kami tunggu-tunggu. Sehari dalam setahun tidak meloper adalah kenikmatan tiada tara. Apa pun bentuknya tidak masalah. Kami tidak menuntut harus begini atau begitu. Kami tidak menuntut harus mewah, atau wah-wah yang lain. Sederhana saja. Di Loper’s Day inilah kami bisa berkumpul dan menyatukan bathin, katakanlah semacam ikrar agar kami setia melaksanakan pekerjaan ini.
Jadi, kamu datang saja nanti di Loper’s Day, 30 Juli 2008 di Pantai Carnaval, agar kamu lihat di sana; para petinggi Pers, pekerja di industry Pers, Agen media cetak, pejabat Negara yang bersatu memperhatikan kami. Dan tariklah ucapanmu yang menyebut kami sombong. Tidak. Loper itu tidak ada yang sombong. Tapi mungkin terlalu bangga atau sangat percaya diri, karena di belakangnnya adalah orang-orang yang hebat.
***

Hidup Loper,
Hidup Agen,
Hidup Sirkulasi,
(“ Hidup adalah Perbuatan”)

Jakarta Indah

Jakarta Indah

Bahan Bakar Minyak akan naik. Naik sekitar 30 %. Artinya ada kemungkinan bensin menjadi Rp 6.000 per liter, bahkan mungkin juga sampai Rp 7.000,- per liter.
Harga BBM belum naik saja, barang-barang kebutuhan sehari-hari sudah naik di pasar. Lihatlah misalnya, harga jual media cetak, eceran maupun langganan sudah “curi” start. Kompas misalnya, harga langganan yang tadinya Rp.67.000,- sudah mematok harga langganan Rp78.000,- Selisihnya kira-kira Rp 11.000,- Alasannya, kenaikan ini tidak terkait dengan BBM, tetapi dipicu oleh harga kertas yang membubung, dan komponen cetak lainnya, seperti tinta dan yang lainnya.

Bagi golongan the have, kenaikan harga BBM tentu tidak ada masalah. Bahkan semakin mahal itu akan semakin baik. Bagi mereka membeli barang murah adalah “dosa”. Membeli sesuatu dengan lebih mahal adalah prestasi dan prestise. Jadi, mau dinaikkan 100 % pun bensin no problem.

Berbeda dengan loper. Lagi-lagi loper. Loper lagi, loper lagi. Kenaikan BBM ini adalah petaka. Walaupun belum sampai kiamat. Kalau sudah kiamat malah bagus, karena tidak perlu lagi memikirkan pelayanan. Nggak perlu memikirkan perut yang kelaparan dan yang sejenis dengan itu. Masalahnya, “mati ogah, hidup menggelantung.” Mengapa petaka?

Petakalah. Dengan kenaikan ini, golongan pembaca yang berpenghasilan menengah, yang jumlahnya cukup banyak akan memilih berhenti berlangganan atau membeli media cetak. Mereka lebih memilih mengamankan dapur agar tetap bisa berasap. Listrik, gas, beras, dan yang berkaitan dengan perut pastilah lebih utama. Suratkabar, majalah atau tabloid? Ah, itu bisa didapat dari tv, atau radio. Jadi, kalau pembeli secara eceran atau pelanggan berkurang, berkurang pula-lah penghasilan loper. Kenaikan upah dari harga yang naik, pasti tidak bisa menutupi jumlah dari langganan yang berkurang, pun tidak mampu mengejar harga yang naik di pasar.

Kenaikan pasti akan membuat loper pusing keliling. Kalau loper sudah pusing apalagilah agen. Hitung saja, bisa-bisa upah satu bulan hanya untuk menutup penggunaan bensin. Kalau sehari saja seorang loper memerlukan bensin 2 liter untuk mengantar, maka dia akan mengeluarkan Rp 360.000/bulan, dengan asumsi bensin Rp 6.000/liter. Jumlah ini masih harus ditambah dengan oli, ban yang akan menipis, angin dan nggak usah saya urai pun anda pasti sudah mafhum. Padahal, ini dia, upah seorang loper di Jakarta, belum tentu mencapai UMR. Tidak heran para agen saat ini sangat kesulitan mencari loper. Tapi harus bagaimana lagi…?
***
Bike to Work.

Sebelum krisis, atau di jaman di mana semua masih murah, penerbit dan agen seakan sepakat, demi pelayanan, sebaiknya para loper menggunakan sepeda motorlah. Tujuannya, agar suratkabar, majalah atau tabloid lebih cepat sampai ke tangan pembaca. Tapi, yah, mau tidak mau, suka atau tidak suka, sepertinya, tanpa harus merasa malu atau mundur, kita harus “menawarkan” kepada para loper tercinta yang selama ini menggunakan sepeda motor untuk kembali ke habitatnya mengunakan sepeda sebagai alat kerja. Agak sulit mungkin. Tapi daripada, “semangat radikal tapi analisa dangkal?” atau seperti yang terjadi di Medan “Biar Mampus Asal Stan” Ini mereka akronimkan dari BIMAS. Artinya, di Medan sana, yang penting gaya, kendati di rumah tidak ada apa-apa. Bahkan bila perlu ngutang sana-sini. Pokoknya, ke luar rumah harus necis dan mutlak mengikuti mode pakaian yang baru. Tak tahunya nampang doang…

Trus ada apa dengan loper?

Ayolah kita pikirkan rame-rame. Tidak usah malu. Dan tidak perlu munafik, bahwa memang ada kesulitan yang luar biasa, dan harus segera di atasi. Kalau tidak industri pers akan lumpuh, dan program “meningkatkan minat baca” tentu tidak akan tercapai. Kita maklum semua, tanpa loper sebagus apa pun produk media cetak tidak ada apa-apanya. Belum ada cerita, karena loper tidak meloper lalu para sirkulator mengantar atau menjual sendiri medianya. Ini tidak mungkin. Tidak mungkinnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnn! “Malu men!”

Nah, ini kebetulan. Kebetulan pemerintah Indonesia sedang giat-giatnya mengampanyekan “Langit Biru.” Kita geser sedikit istilah itu dari sudut Loper menjadi “Angkasa Bening”. Maksudnya di atas sana tidak terlihat asap knalpot mobil hitam pekat menumpuk. Di Jakarta misalnya, kita slogankan Jakarta Bening. Dan loper menjadi pelopornya.
Lho, Kok Loper?

Begitulah skenarionya. Kita ajak Pemda DKI mengampanyekan Jakarta Bening. Ini dipicu oleh BBM yang naik. Kita sebut bahwa langitnya Jakarta sudah jorok. Dan karena itu perlu membatasi diri mengeluarkan mobil dari garasi. Naik sepeda saja. Termasuk bila mungkin ke tempat pekerjaan, seperti di China atau di India sana. Loper akan menjadi pionernya. Kita sebut saja pioner dan ogah pakai motor. Padahal sebetulnya karena para loper yang tadinya menggunakan motor sudah tidak mampu beli bensin. Ini realis. Karena memang pada dasarnya loper itu menjual tenaga. Maka naik sepedalah.
***
Di situasi sulit ini, tentu untuk membeli sepeda pun bukan hal mudah. Tidak mudah, karena harga sepeda pasti lebih mahal dari upah loper sebulan. Karena masih banyak juga loper yang untuk beli sepeda perlu meloper selama dua bulan. Sedih memang. Tapi ini adalah fakta. Maka, ini hanya sebuah ajakan, “kita gotong rame-rema aja ya, yuk!” (maaf, anda boleh tidak ikut, jika penerbitan anda merasa tidak memerlukan loper sebagai bagian dari distribusi.)
Jadi kita sumbangkan saja sepeda tersebut kepada loper yang sungguh-sungguh pekerjaannya adalah loper.

Lalu peran Pemda DKI?

Sebagai pelopor dan duta Jakarta Bening, Pemda DKI diikutkan sebagai sponsor. Taruhlah untuk tahap pertama ini mereka sumbangkan 1.000 sepeda, dan acara penyerahannya dilakukan di Loper’s Day 2008. Gubernurnya, Fauzi Bowo yang ketua Bike to Work menyerahkan langsung sepeda-sepeda itu. Imbal baliknya, semua media meliput dan bila perlu diiklankan di semua media cetak yang ada di Jakarta.

Ini adalah pekerjaan yang sangat mudah. Hanya 2 orang Pemred suratkabar kota melobby, katakanlah Warta Kota dan Berita Kota, maka semua akan beres. Dan Yayasan Loper Indonesia (YLI) siap menyajikan data loper secara akurat.

(Hidup Pemred,
Hidup Wartawan,
Hidup Sirkulasi, semangatlah loper
Jayalah Agen. Dan Bangkitlah minat baca bangsaku)
***
“Berjalan saja. Nanti Kamu akan ketemu jalan.”

Wednesday, May 07, 2008

Hening Loper’s Day

Hening Loper’s Day

Sepertinya, Sutrisno Bachir yang Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) mungkin sedang mabuk kepayang dengan puisinya Chairil Anwar, “Sekali Hidup Berarti, Besok kita sepertinya tiada lagi…”.Mungkinkah dia sedang melakukan proses pencarian jati diri?

Berkali-kali kutipan syair itu dipublikasikan lewat iklan diharian-harian Ibukota. Sehalaman penuh, dari hitam putih sampai yang full color. Bisa dihitung berapa banyak uang yang keluar dari dompetnya untuk membiaya iklan tersebut.

Orang bisa menebak-nebak, bahwa semua itu pasti ada tujuan. Kalau tidak, sangat tidak mungkin dia mau mengeluarkan uang sebanyak itu. Dia tentu menghitung untung rugi. Sebab, bukankah sebelum menjadi politisi dia adalah pedagang? Karena itu sudah pastilah “ada udang di balik batu”. Di balik itu mungkin dia sedang “memasarkan diri” bahwa dia layak digandeng untuk menjadi RI 2.
Tapi mau jadi apa pun Sutrisno Bachir, bukan hal penting yang ingin saya sampaikan kepada anda semua sahabat saya; para agen, sirkulasi, redaksi serta rekan-rekan lainnya di perusahaan Pers Indonesia. Saya tertarik dengan penggalan puisi Chairil Anwar, “Sekali Hidup Berarti, Besok kita sepertinya tiada lagi…”. Bulu kuduk merinding bila mengulang membacanya. Iya, ternyata memang kita : “hanya hidup satu kali saja”. Lalu…?

Setelah berangkat keharibaan-Nya, tidak mungkin bisa kembali. Dan tidak mungkin berkata, “Jangan panggil aku, karena tugas belum selesai….” Tidak bisa. Begitu titik, yah titik. Tidak ada yang bisa kita bawa ke Sana. Katanya, “Dari mana aku datang ke sanalah aku kembali. Dari debu kembali menjadi debu….” Lalu?

Saya tidak berani membahasnya, karena ini bukan tujuan dari surat ini, kecuali, “Sekali hidup berarti…” itu saja. Dan tanpa maksud apa pun, saya mencoba menyampaikan renungan saya malam ini. biarlah pengusaha memperhatikan buruhnya. Guru memperhatikan muridnya, ayah memperhatikan anaknya, dan saling memperhatikan dalam arti yang seluas-luasnya. Maka, semogalah Loper’s Day 2008, 30 Juli 2008 di Pantai Carnaval menjadi pijakan berpikir, “Sekali hidup berarti…”. Ayo mari bahu membahu, bukankah “dari debu ke debu”? Dan dari Loper ke Loper?


(Hidup Loper
Hidup Pengusaha Pers Indonesia
Hidup Wartawan
Hidup Perusahaan Pers Indonesia
Jayalah Negeriku.)