Anak Yang Kukasihi

Anak Yang Kukasihi
Obamaputralaris

Monday, December 31, 2012

Brebes, 15 Agustus 2012
Surat kepada Bang Thoyib,
Resah dan gelisah.
Maaf, Bang. Saya tidak lagi sedang mendengar lagu, tetapi sesungguhnya,  hati ini sudah tidak sabar menunggu kehadiranmu, seperti yang kau janjikan, 5 hari menjelang Idul Fitri,  dirimu sudah berlabuh di dermaga, dengan membawa oleh-oleh yang menjadi kesukaanku, jengkol dan pete.
Tahukah engkau, Bang? Sejak emailmu ku terima,  yang memberitahu dirimu  akan pulang setelah 3 lebaran  lewat, tanpa kutahu di mana  rimbamu, aku sungguh-sungguh mabuk kepayang,  juga amat  terharu. Begitu  banyak air mata mengalir di pipi ini, sebagai symbol kebahagiaan, dan rentetannya, seperti yang engkau tahu, aku bukanlah tipe wanita yang suka berdoa, tapi kini, setiap malam, aku selalu berdoa secara khusuk, agar tak ada aral yang melintang di jalan, sampai engkau tiba di rumah;  memelukku,  mengecup keningku, bibirku,  serta membisikkan ke telingaku, bahwa engkau sangat merindukanku,  dan wujud dari kerinduan itu, engkau  akan menggandengku ke kamar,  dan kita akan  melepaskan dahaga cinta kita, setelah 36 bulan kita hanya ditemani bantal guling, yang tidak mungkin berkata-kata,  apalagi menggantikan yang kupunya dan yang engkau miliki.
Bang, Thoyib!
Aku tersenyum dulu, sebelum melanjutkan surat ini, tentang adanya perubahan yang luar biasa dalam perilakuku sehari-hari. Tahukah kau,  aku sudah rajin mandi di pagi hari, dan mengoleskan odorono pada kedua ketiakku, dan setelah itu,  mencoba mengendusnya dengan hidungku?  Mungkin kau akan tertawa terbahak-bahak dan tertawa, atau mentertawai diriku dan lalu bertanya, “untuk apa?”
Memang, saya tidak pernah berpikir, bahwa ketidak pulanganmu selama 3 lebaran terkait dengan ketiakku. Tapi aku ini wanita, Bang, yang bisa saja menerawangi hal-hal yang tidak benar. Tapi bagaimanapun, engkau tidak bisa melarangku  untuk menerawang, “jangan-jangan karena ketiakku ehem ehem…” sehingga, engkau pergi jauh, dan mampir ke lain ketiak yang memancarkan wangi-wangian yang semerbak…(Maafkan Bang jika ini pernah mampir dalam pikiranku.)
Begitulah Bang, seminggu terakhir ini, kecuali aku sudah rajin mandi, dan menggunakan odorono, bibirku yang dulu selalu tampak retak-retak seperti kurang vitamin c, kini hampir setiap pagi kugincui, dengan harapan, kau akan suka  dan tercengang serta  menjadi bangga, bahkan berharap engkau  akan membawaku keliling kampung naik delman, sambil berhalo-halo,  dengan  mengumbar senyum ke khalayak,  “Ini isteriku, ini isteriku, Saminem!” Ah.
Bang, jangan katakan semua ini berlebihan. Jujur,  sejak email mu itu, aku lakukan perubahan yang mendasar dengan tujuan membuaimu ke pelukanku, agar  tidak lagi  meninggalkanku serta akan membawaku kemanapun engkau pergi. Hanya saja, yang masih dan terus dalam perjuanganku adalah cara terbaik untuk melupakan jengkol dan pete, karena tanpa keduanya, selera makanku rendah,  dan ah...
Bang, bantulah aku, karena aku tidak mau kehilangan dirimu dan membiarkan diri ini, menjadi mati lapar karena engkau tidak mengijinkanku melahap jengkol dan pete, yang terus terang kedua makanan ini menjadi sumber inspirasiku untuk tetap menyintaimu.
***
(Balas, ya Bang!)
Tertanda :
 Saminem
Lagu Untuk Anda...!

Hodo Mata ni Ari Binsar
By : Laris Naibaho

Hodo mata ni ari binsar anakku
siboan tua di among nang inongmon
tagamonmu do amang hasian pasu-pasu
molo padot ho patupa nauli nadenggan
tu hami natua-tuam, di hatuaon nami on

Anakku, anak panggoaranku,
Saonari pe, nunga ta alap be boru ni Raja i
Na gabe parumaen hi, lao donganmu marsaripe
Hahalongi ma sian tampuk ni ate-atem
Maranak-marboru hamu, sahat tu na saur matua.

Ref.

Onpe anakku hasian , anak simoloi ajar
Unang sai solsoli akka naung salpu
Tagam ma nauli nadenggan sian Debata
Ai Nunga matua hami, amang dohot inongmon
Sak uban di simajujung, marngalut sude  nang daging on.

Molo adong na solot di ate-atem
Na so tarsukkun ho jala dang taralusi hami,
Pasahat ma anakku tu Tuhani,
Asa ibana mangalusi, pasonang roham
Asa hot ho  mandalani ngolum
 rap dohot parsonduk bolonmi.
***
(liryk ini telah digubah menjadi lagu oleh Feber Manalu)
Selingan


Seorang ibu menelepon dokter gigi anaknya.
"saya agak heran ini, dok. biasanya kan ongkos perawatan dokter hanya
25.000 rupiah. tapi kenapa sekarang jadi 100.000 ?" tanya si ibu.
"ya, memang. soalnya, anak ibu tadi menjerit-jerit keras sekali sehingga
tiga calon pasien saya lari nggak jadi berobat !" jawab si dokter.
*** 



                                  
TAMBA I TUAK MI

“ Molo hupesta ni namora attor sigop doho!”
“Maksudmu, songon dia amanguda?! Songon namangarihiti hatam!”
Bah, songoni gogo soara, dang dibege ho. Atik naung nengel do ho. Molo hupesta ni namora i, attor sigop do ho.”
“Unang songoni hatam, bah, amanguda! Metmet pe sihapur lunjung dijujung do uluna. Hatami songon na sosuman. Ai sarupa do takkok dohot tuatna. Bah, namarpesta on memang na mora, alai mora muse do dohot  dipangalaho. Sude ulaon na mi nasaripe, aha pe ulaon i, sai disangahon namarpesta on do ro. Ia, ho, laos ngisngis pe ngingi on, sai godang do alasanmu asa unang ro.”
“Olo, diantusi ho do parngluonku. Aha baenon ongkos tusan-tuson.”
“Bah, molo songoni pasipsip ma di si!  Ai, ido soadong didok natua-tua, ‘jonok partubu, jonok an parhundul’ . Anggo sian partubu, au do ho, ho do au. Alai, pambaenan? ‘ni suan tubu, niumpat melus.’ Unang sai manihai be ho, molo dang adong naro tu pestam. Wajar do i, ai hope sohea didulo ho pesta. Jadi, molo ribur pe pesta ni amani Padot on, tontu ala ni pambaenanna doi.”
“Jai, olat ni i nama jambar nami napogos on?”

“Ah, memang nahurang roha do ho amanguda, loja iba mangalusi sungkun-sungkunmu. Dang bermutu. Bulus ma lao iba tu kode tuakan laho  minum tuak. Jolo tuakon ma au asa hualusi ho.” ***



Saturday, December 22, 2012


C E R M I N

Mati Dan Bunuh Diri

Sedikit bingung karena kegiatan berkurang, saya lalu melakukan riset kecil-kecilan pada sebuah surat kabar terkemuka saat ini di Indonesia.
Yang saya riset pun sebenarnya tidak teralalu ilmiah,  pun,  mungkin tidak dapat dijadikan sebagai patokan bersikap tindak dalam mengarungi kehidupan. Tapi meski begitu, saya sangat tertarik menyajikannya untuk Anda.
 Jadi, setiap hari, selama sebulan penuh, saya mencatat berapa banyak yang meninggal dunia yang menjadi berita, apakah  karena memiliki nilai berita, maupun yang meninggal karena diberitahu oleh kerabatnya yang masih hidup,  melalui iklan.
Ternyata, sebenarnya,  tanpa saya sebutkan pun di sini, pada dasarnya semua orang, tahu dirinya akan mati. Tetapi, wakakakak, masih banyak orang yang lupa menyadari dirinya akan mati.
Mengapa mati?
Sama seperti setiap yang naik, pasti suatu saat akan turun. Ini adalah hukum alam.  Misalnya,  yang naik jadi presiden akan ada saatnya turun dari jabatan presiden. Maka setiap yang hidup pasti akan mati, karena memang, Sang Khalik, apakah secara kebetulan atau memang sudah  merancangnya dengan sengaja, segala sesuatunya diciptakan secara berpasang-pasangan.  urusan Dilah itu. Betul khan?
Hasil riset yang saya lakukan, tentang kematian,  atau yang mati itu,  sangat beragam. Ada konglomerat, ada tukang sampah. Ada professor, ada gembel yang tidak pernah menjamah bangku sekolah karena ogah sekolah atau karena tidak mampu membiayai sekolah. Ada juga jendral yang masih aktif, yang purnawirawan, dan ada juga yang prajurit. Ada laki-laki ada perempuan, yang dewasa dan ada yang baru lahir.
Ada yang mati setelah menjalani perawatan yang sudah cukup lama. Tapi ada juga yang mendadak tanpa sempat diperiksa apalagi diobati, karena jantungnya sontak berhenti, ntah karena memang sudah waktunya berhenti atau mungkin karena kaget akan diperiksa oleh KPK. Yang lain,  dan ini juga cukup membuat hati bertanya, yaitu, ada dokter yang meninggal karena penyakit yang padahal menjadi bidang  spesialisasinya.
Kematian memang menjadi misteri.  Menjadi misteri, karena belum ada seorang pun yang kembali dari Sana, yang lalu berceritera; begini dan begitulah kalau mati. Kalaupun ada ceritera yang bisa menjadi referensi tentang kematian, paling-paling dari tuturan para rasul tentang kebangkitan Yesus dan orang yang dibangkitkan-Nya, si Lazarus. Tapi, Lazarus, nyaris tidak mengungkapkan apa pun  yang dialami atau dilakukannya selama dia mati. Maka lengkaplah tentang misteri dari kematian itu sendiri.
Kalau seseorang ditanya, apalagi ketika baru pulang dari mengantar jenazah dari pekuburan, apakah dia juga akan mati, pastilah jawabannya “Ya!” Tapi, setuju atau tidak setuju, begitu banyak, atau secara apriori kita sebut saja, hampir semua manusia yang waras tidak ingin dirinya mati. Artinya, di balik pengertian ini, seolah-olah ingin hidup terus dan terus.
Maka yang pebisnis ingin meningkatkan bisnisnya terus-menerus, sampai lupa,  apa saja bisnis yang digelutinya. Lupa minum, lupa makan, bahkan ogah tidur karena selalu dikejar-kejar waktu untuk mengerjakan ini dan itu.
Yang karyawan, ingin golongannya dan gaji naik terus, dengan cara apa pun itu; termasuk bila, ini bila perlu, menyikut rekan kerja, menyogok atasan dan atau mungkin saja pergi ke dukun untuk meminta bantuan. Haha ha. Dan ada juga yang rela berbohong dengan menerbitkan sendiri ijazah palsu agar bisa naik golongan.
Yang menimbun harta sibuk terus menumpuk harta;  rumah, mobil dan lain-lain untuk koleksi atau investasi, dan ada yang sampai  lupa di mana saja rumahnya, berapa jumlah mobilnya.  Dan bila kepadanya ditanya, apakah pernah tidur di rumah dan menaiki mobil yang menjadi koleksinya itu, mungkin saja jawabannya, “Tidak, tuh!”
Yang ingin korupsi ingin terus menambah uangnya, maka dia korupsi terus, sampai bingung ke bank mana harus menyimpannya, agar tidak mudah dilacak oleh siapa pun, karenanya tidak ragu-ragu untuk berkolaborasi dengan sekelompok dukun untuk mengamankan hasil korupsinya, yang padahal nyaris tidak seorang pun mayat berseru-seru,  agar ketika mayatnya diantar ke kuburan supaya didampingi oleh rumah, mobil atau uangnya. Tidak ada, bukan?
Mati memang bukan tujuan manusia. Tapi, setelah hidup ke mana? Sudah pasti untuk mati. Tapi ke mana setelah mati? Terserahlah pada keyakinan anda. Tetapi jika kematian itu sudah pasti menjadi milik semua manusia, mengapa masih berpikir untuk membunuh saingan bisnis atau seteru politik, atau saingan-saingan kita yang lain? Mengapa harus capek menggaji algojo, dukun dan apa sajalah bentuknya, termasuk,  mengapa pula harus bersusah payah merancang bom untuk membunuh orang lain, kalau toh semua keturunan Adam harus mengalami seperti apa yang dialami oleh Adam, dan isterinya si Hawa?
Juga, misalkan Anda sedang stress, karena banyak utang, atau karena terlalu banyak piutang yang tidak bisa ditagih, rasanya tidak perlu harus terjun dari gedung tinggi untuk bunuh diri. Hidup itu indah dan enak. Karena kalau masih hidup, kita masih bisa menikmati Liga Inggris, makan mi gomak, ikat arsik, makan dimsum, rendang balado, tombur, sate kambing, dan  atau berdiam di rumah setiap malam minggu dan berkaraoke rian dengan  keluarga, mendendangkan lagu,

( “Tuhan kupersembahkan hidupku,
 sebagai persembahan yang kudus…)
Selamat Natal 25 Desember 2012
& Tahun Baru 2013
***


Humor

MERTUA MARAH, MERTUA NGAKAK

Kata temanku,  aku termasuk menantu yang kurang ajar, karena berani-beraninya membuat mertua cemberut, kalau pun kemudian menjadi terpingkel-pingkel. Kata temanku itu, “ Tokka do marsimatua songoni—pantangnya berlaku begitu kepada mertua.”
 Terus terang saja, ini memang janjiku kepada diri sendiri, untuk tidak menyikapi apa pun dengan ter-lalu serius.  Menurutku, serius itu, kendati memang perlu, tapi tidak terlalu penting menjadi sikap hidup. Sudah kulihat dan kuamati, mereka yang selalu berada pada posisi serius, menjadi gampang sakit, dan umumnya mengalami stroke. Tapi, percaya tidak percaya, saya selalu serius; serius bekerja, serius tertawa, dan serius juga membuat orang jengkel.
 Inilah ceritranya.
 Saat itu saya harus mangampu,  seusai semua yang hadir telah diberi jambar atau hak untuk bicara. Saya adalah yang terakhir. Dan seperti biasa, sebelum masuk ke topik,  saya membumbui dengan lelucon. Maksud hati, supaya apa yang disampaikan tidak garing, dan agar yang masih ada, tidak tertidur.
 Kumulailah ceritanya begini .
 Setelah terpilih, Walikota Pematang Siantar Hulman Sitorus, mengeluarkan Perko ( Peraturan Kota), yang melarang orang meninggal margondang dan atau menggunakan  semua alat musik yang ada, karena dianggap sebagai  pelecehan terhadap ha-kristenon...
Belum lagi aku selesai bicara, mertuaku langsung interupsi. “ Paitte jo, simago ma Walikota songoni. Bursik mai. Anggo nipillit i gabe Walikota. Paitte jo mulak au, ikhon huarahon jo sude akka manula i,” katanya dengan wajah agak beringas. Sepertinya hatinya panas dan tak terkendali.  Suasana mendadak tak kondusip, dan semua yang hadir terdiam. Ada juga yang bisik-bisik menimpali, bahwa Perko itu mengada-ada dan tak pantas.

Saya terkejut juga. Tidak kusangka, apa yang kusampaikan memicu “kericuhan” dan membuat suasana tegang .  Bagi mertuaku, yang sudah uzur dan umurnya mendekati 84 tahun, Perko tersebut tidak bisa diterima dan itu harus dilawan.

“Apa yang salah dalam Peraturan Kota itu? Bukankah hal itu baik? Bukankah Jesus mengatakan, “Biarlah yang mati mengurus yang mati?” Ujarku dengan nada melucu.

Wajah mertuaku makin tak karuan. Berkerut semua dahinya.

“Tidak bisa. Itu harus dilawan,” ujar seorang paribanku yang selama ini dikenal sebagai  orang “kudus” yang aktif melayani para pencari kesucian.

“Saya sangat setuju dengan pak Hulman. Kalau saya pun jadi Walikota, akan saya larang yang meninggal margondang dan atau menggunakan alat musik apa pun,”ujarku meninggi dengan maksud agar suasana menjadi tegang.

Ah, homa i, ibaen naung maju i hamu. Ibaen na ganjang i sikkola mu. Dang dihargai hamu be akka ula-ula ni Ompung muna. Peh!—Terserah kaulah.  Karena kau telah modern, dan karena  sudah tinggi sekolahmu. Kau tak lagi menghargai budaya dan hasil karya leluhur. Puihh” Senggak Mertuaku.

Dang songoni Inang, molo margondang na mate, kan mabiar ma akka na manondur i—Bukan begitu Inang, kalau mayat itu (yang meninggal maksudnya-pen) memalu gendang, para pelayat kan jadi takut...!”

Tiba-tiba isteriku mencubitku. Ih, sakit.
Dan mungkin karena tak tahan lagi, dia langsung tertawa. Ngakak dia. Dan lalu berkata, “ Ma, itulah helamu ini, tidak pernahnya dia serius, yah tidak mungkinlah yang meninggal memalu gendang. Itunya maksudnya.”

Mertuaku diam sejenak. Agak malu, dan mungkin juga merasa tak pantas tertawa. Tapi meledak juga tawanya. Yang lain pun ikut-ikutan tertawa.
(Ah, gitu aja kok jadi masalah!.)

Friday, December 21, 2012

Politisi Cap Kaki Tiga



POLITIKUS CAP KAKI TIGA


J
Amordong kaget. Amat sangat kaget mendengar Ferry yang selama 30 tahun telah  beroperasi melayani masyarakat kabupaten tiba-tiba berhenti berlayar. Pemicunya, pasokan BBM dari SPBU yang hanya ada satu di ibukota kabupaten, tak lagi beroperasi, akibat ulah para LSM yang dikalangan masyarakat dikenal sebagai kelompok  oportunis, Leon Saotik Mulak—sebutlah yang mencari-cari masalah, dan dari masalah itu bisa menghasilkan segepok uang.
“Ini tidak bisa dibiarkan. Ini perbuatan tolol dan anti logika dan rasio,” ujar Jamordong dengan nada marah kepada Jahormat, mitra bicara setianya di Lapo Partungkoan.
Laris dan Obamaputralaris
sama-sama Marga Naibaho
Mendengar itu, Jahormat tertawa ngakak. Wakakak. “Di Jaman edan semua harus menjadi Edan Jamordong. Kalau tidak edan tidak kebagian. Banyak yang menghalalkan cara untuk mendapatkan apa yang diinginkannya, meski harus mengabaikan moral dan menjual martabat!”
Jamordong manggut-manggut. Pikirannya berkecamuk. Nafasnya memburu dan ingin berteriak. Jantungnya berdebar  menahan amarah, dan ingin meluapkannya dengan memaki-maki siapa pun di sekitarnya. Urung, karena cepat sadar, “Marah itu Haram.”
“Kita tidak bisa tinggal diam melihat situasi ini, Jahormat! Kita harus bertindak. Sebagai penduduk Kabupaten ini, seharusnya kita melakukan sesuatu agar kejadian ini cepat berlalu dan tidak terulang di masa yang akan datang. Kita ribak oknum-oknum yang melakukan porvokasi atau tindakan yang mengakibatkan ini semua. Coba simak, betapa vitalnya keberadaan SPBU dan Ferry di sini. Baru empat hari saja tidak beroperasi, ekonomi sudah lumpuh. Petani tidak lagi ke ladang karena tidak mampu beli solar yang melambung. Juga kapal-kapal nelayan. Dan anak-anak sekolah dari seberang terpaksa bolos karena kapal yang biasa mengangkut mereka tidak mendapat pasokan solar.”
Amangoi amang! Tidak begitu Jamordong. Segala sesuatu yang menyangkut daerah ini, apalagi hal yang sangat vital begini, itu urusan Pemkab, tepatnya Bupati. Kita tidak boleh bertindak semau kita, apalagi anarkis. Mereka digaji oleh Negara untuk melayani masyarakat,” sambut Jahormat, sekedar meredakan hati Jamordong yang terlihat masih membara.
Ah, nagodang hatam—Ah, banyak kali omongmu. Dasar pengecutnya kau. Sudah kau lihat sendiri Bupati tidak melakukan apa-apa, kadis-kadisnya pun diam seribu bahasa. Sementara, pemilik SPBU dan Ferry, menjadi merasa serba salah, bahkan takut mengoperasikannya keduanya, karena takut dituduh ini-itu, padahal sistem  sudah berjalan puluhan tahun lamanya, tapi tiba-tiba saja si LSM itu, melakukan sesuatu yang tidak lazim. Anehnya, aparat polisi, tunduk, dan tampaknya LSM seolah lebih berkuasa.”
“Bukan soal pengecut. Tapi, segala sesuatunya sudah ada pembidangan. Jelasnya, sudah ada uraian tugas masing-masing. Kalau ada masalah apalagi vital seperti ini, ada Musyarah Pimpinan Daerah (Muspida) yang menganalisis dan mengatasi persoalan, sehingga perekonomian daerah ini tetap bergairah dan rakyatnya  bisa mengais rezeki dan mengumbar senyum. Kalau kita yang bertindak, maka sama saja kita telah ‘mengambil alih’ tugas orang lain, dan itu namanya bodoh dan anarkis. Harus kau tau Jamordong, setiap tindakan yang diambil alih secara paksa oleh yang bukan petugasnya, itu bisa digolongkan sebagai anarkis.”
Ai gabe pagodangku do hubege teorim—Kok teorimu terlalu panjang?! Saya paham itu semua. Sangat paham. Jangan kau pikir aku tolol atau sudah pesong. Tahunya saya, mati-hidup daerah ini ada pada Pemkab. Bupati tepatnya. Tapi, orang gila pun tahu, ini sudah rahasia umum. Bupati ada di sini, hanya pada saat apel Senin saja untuk berpidato-ria, tentang ini dan itu, hari lainnya lebih banyak di luar, katanya sih, untuk mendampingi gubernur, menteri, atau menyambut Presiden di daerah lain, dengan alasan untuk memudahkan mendapat anggaran pembangunan. Tapi lihat sendirilah ke Onan Baru sebagai contoh, gorong-gorong berantakan, kumuh, dan mirip suasana 20 tahun yang lalu, ketika daerah ini masih berstatus Kecamatan. Padahal, saat Natal dan Tahun Baru inilah, para perantau berkunjung ke tanah kelahiran ini”.
“Hah?! Maksudmu Bupati tidak mengindahkan daerah ini dengan segala permasalahannya? Jangan mengada-ada, Jamordong. Itu hanya desas-sesus.”
“Desas-desus katamu? Nabillokon do attong ho. Itu jugalah masalahmu yang kulihat selama ini. Kamu tidak pernah mau menyatakan segala sesuatu dengan benar. Seharusnya, ‘nabinereng ni matami hatahononmu. Nabinege ni pinggolmi dohononmu’ Kau sungkan mengatakan ombur-ombur yang menghadang di Tano Ponggol, juga sampah yang ada di bibir pantai Lumban Lintong sampai ke Pintusona. Kau sungkan mengatakan, banyak anggota de-pe-er-de yang lebih sibuk dan atau menghabiskan waktunya mengurusi proyek pribadi, daripada mengkritisi kinerja Pemkab…Nah, kalau boleh jujur saya ragu terhadap dirimu, yang selalu mengatakan atau mengaku sebagai pengamat yang menyuarakan hatinurani rakyat…!”
Eh, Jamordong! Kita ini lagi membicarakan, tentang SPBU dan Ferry yang keberadaannya sangat vital, jangan ngelantur ke mana-mana,  termasuk ngelantur mengejek saya. Itu tidak baik. Tapi, apapun katamu atau sindiranmu, yang pasti saya bukan seperti si Marsillak, yang mengaku politisi, tapi pendiriannya plintat-plintut, yang hari ini bisa di barisan Bupati, besok di masyarakat, besoknya lagi sangat bisa di barisan para mantan cabup yang kalah, atau haha ha, dia akan berdiri di kelompok siapa yang membayar”.
Okelah, taruhlah kau benar. Kalau betul kau selalu menyuarakan hati rakyat, saya mau melihat ke depan, apakah kau  akan bisa bersuara dengan tegas, ini demi rakyat, lho, supaya kau mengajak Bupati, Pengusaha dan Masyarakat secara bersama-sama, bisa menambah ferry dan kwota BBM ke daerah ini. Karena aha pe na tanonangi—apa pun yang kita perdebatkan, kwota BBM yang sekarang, hanya cukup untuk melayani 25% dari kebutuhan, dan ferry yang ada, kecuali jumlahnya kurang,  pun sudah waktunya diremajakan. Kasihan, polisi-polisi di sini yang  harus secara ekstra mengamankan SPBU meliaht  petugas SPBU yang terus bersitegang dan adu mulut dengan konsumen, yang terlambat  sedikit saja,  BBM habis. Kau tahu, BBM bisa menyulut berbagai hal, yang mengakibatkan daerah ini  bergolak. Jadi, kulihatlah permainanmu setelah 2012 berlalu. Tapi, hehe he, kendati Tahun baru belum tiba, kusalamlah dulu kau, ‘Selamat Tahun Baru’, kalau ada kiriman dari anakku dari Jakarta, kukirimpun sebagian dalam bentuk kombang layang dan alame—dodol”.
***
(Laris Naibaho—Direktur Eksekutip Forum Pemerhati Penerbitan Pers Indonesia (FPPPI)—Tinggal di Jakarta)

Friday, December 14, 2012

Jamordong :
K E C A P K U   K E C A P   N O M O R  1

Togarma agak sedikit kaget, mendengar Ompungnya Jamordong bersiul di pagi hari. Tak lazim. Biasanya setelah bangun, akan bergegas ke lapo, memesan kopi dan sepotong pohul-pohul atau sepiring mi gomak atau kedua-duanya sekaligus.

“Tak ke lapo, Ompung?” Tanya Togarma, dengan intonasi menyelidik.

“Empat bulan ini aku tak mau ke lapo. Biar selesai dululah pemilihan Gubernur,” jawab Jamordong.

“Bah, Ompung ini! Apa hubungannya ompung ke lapo dengan pemilihan Gubernur. Ke Lapo khan urusan sarapan pagi, ngopi atau ngeteh, pemilihan Gubernur khan itu masalah politik, atau masalah Negara. Emangnya, Ompung ini siapa, kok, sampai menyetting diri seolah-olah ada hubungannya dengan semua yang terkait dengan pemilihan Gubernur?!”

Babam! Sipma ho —diam kau! Itu urusanku. Kau uruslah urusanmu, yang rajinlah kau belajar, supaya kelak, kalau kau berhasil dan sukses, dan ada keinginan mau jadi Sumut-1, bisa menjadi calon yang benar, yang bermoral dan yang tidak hanya sekedar penjual kata-kata, atau pengumbar janji, mirip iklan kecap…”

“Apanya maksudmu Ompung, dengan mirip iklan kecap?!”kejar Togarma.

“E, tahe—Itulah kau. Mahasiswa latteungnya kau. Iklan kecap di mana pun selalu menyatakan, rasa dialah yang paling enak. Dengan iklan itu, secara otomatis kecap yang lain nomor 2 atau nomor seribu. Padahal namanya angka atau urutan, seharusnya ada kecap nomor 1,2,3 dst…Tapi apakah ada produsen kecap yang berani mengiklankan, ‘Kecapku, kecap no 2’ tidak ada itu.”

“Hua ha ha. Ompung ini ada-ada saja. Suka-suka mereka,dong! Mau menyebut produk mereka nomor 1 atau nomor berapa, itu khan hanya soal, bagaimana mempengaruhi pembeli. Kalau pembeli tertarik, yah beli. Kalau tidak, yah tinggal, atau pilih produk lain. Selesai. Tapi ngomong-ngomong, apa hubungannya Ompung menjadi alergi ke lapo hinga pemilihan gubernur Sumatera Utara ini selesai? Lagi pula, masih cukup lama, tiga bulan lagi lho, Ompung…!”

Jamordong tidak segera menyahut. Dia sadar, meski Togarma sering dilabelnya sebagai mahasiswa tolol, tetapi diam-diam diakuinya, cucunya ini cukup cerdas, karena mampu menyajikan pertanyaan dengan sistematis; APA—SIAPA—DIMANA—APABILA —MENGAPA—BAGAIMANA, mirip rumus 5W+H yang pernah didapatnya ketika sempat menjadi mahasiswa.

“Saya sudah niatkan tidak ke lapo selama 3 bulan ini, sampai pemilihan Gubernur selesai dan terpilih gubernur baru. Saya juga tidak akan ikut memilih karena bingung memilih siapa yang akan saya pilih, karena semua calon sudah menyatakan dirinya adalah yang pantas menjadi nomor SATU”

“Artinya memilih untuk tidak memilih?” potong Togarma.

“Ya. 100 untukmu. Saya tidak akan berangkat ke TPS, karena yah itu tadi, semua sudah mendeklarasikan dirinya sebagai nomor 1, seperti iklan kecap tadi. Pengalaman saya pada pemilihan Bupati yang lalu. Saya menjatuhkan pilihan kepada calon yang menyatakan dirinya nomor 1 dalam segala hal. Tapi, buttak-sirabunlah, semua janji yang keluar dari mulut calon yang kini jadi Bupati itu , omong kosong semua. Bahkan, kudengar si Bupati ini, setiap minggu ke Ibukota, bukan untuk melobby pejabat pusat, agar dana mengucur untuk pembangunan di sini, tapi hanya untuk menemui kekasihnya, yang menurut informasi sudah dinikahinya secara siri, atau PASU-PASU RAJA.”

“Ah, Ompung ini sudah rarat—sinting. Tidak benar itu. Itu hanya desas-desus yang dilontarkan yang tidak suka kepada Bupati. Tapi, sudahlah itu, aku hanya ingin tahu, mengapa ompung tidak akan ke lapo sampai pilgub selesai!”

Ai sukkun-sukkunmu hira pewancara ni tipi—Pertanyaanmu kok, seperti pewancara di tv?”

“Jawablah ompung, tidak usah berkelit! Mengapa menghindar ke lapo?”.

“Okelah. Ini menyangkut kesucian hati saya, dan agar bangunan kekeluargaan saya tidak retak atau hancur. Itu sebabnya. Karena kalau aku ke lapo, potensi untuk marbada—bertengkar dengan yang lain tinggi, sangat tinggi. Dan saya tidak mau terjadi, hanya karena pilgub ini hubungan saya terhadap haha-anggi, ito, lae tertutama hula-hula dan tulang, menjadi retak,” ujar Jamordong dengan rawut wajah mulai mengkrut

“ Kurang jelas, Ompung! Jawaban Ompung ini, seperti mengada-ada, dan tidak nyambung. Ibarat ocehan orang Betawi, ‘Jaka sembung naik ojek. Nggak nyambung, kek! Wakakak.”

“Otakmu nya yang dangkal. Maka jangan hanya mendengar. Simak juga apa yang kukatakan,” tangkis Jamordong.

“Tapi nggak jelas, Ompung. Coba urai deteilnya.”

“Heh! Kau tahu kalau di lapo. Di situasi seperti ini, di sana akan berkumpul semua orang-orang yang mengaku paling tahu. Semua akan mendadak menjadi pakar atau ahli dalam menganalisa, terutama menganalisa politik. Dan jeleknya, bisa berujung terciptanya kelompok atau pribadi-pribadi yang terbelah akan terbelah menjadi tim sukses si Anu dan si Binu. Setiap orang sangat ekstrim menjagokan jagonya. Semua akan “berprofesi” menjadi pedagang, penghubung, dan bisa jadi, tiba-tiba semua merasa dirinya dibutuhkan oleh para kandidat gubernur. Nah, pengalaman yang lalu, saat pemlihan Bupati yang ber-efek, di mana sampai sekarang, saya menjadi tidak bersapaan dengan tulang ni anggi borukku namarpariban kandung dohot salah satu calon bupati yang kalah pada waktu yang lalu. Bahkan, waktu boru ni anakku menikah, dia tak lagi datang mangulosi. Apalagi, terus terang saja, saat ini, kiriman anakku dari Jakarta agak dikurangi. Kau tahulah, kalau ke lapo, semua mengaku orang hebat, tapi bayar kopi dan lampet yang disantapnya, bisa jadi atau tak sungkan membebani orang lain…

***

(Laris Naibaho—Direktur Eksekutip Forum Pemerhati Penerbitan Pers Indonesia—Tinggal di Jakarta)



CELOTEH


CONTOH LEBIH BAIK
 DARIPADA PEMERINTAH 
“Contoh lebih baik daripada perintah,” ujar Jamordong ke salah seorang cucunya, Togarma, yang masih setia mendengar, kendati sudah hampir 1 jam kakeknya ngalor-ngidul tak berhenti, sebagaimana layaknya orang stress.

Togarma yang kini berstatus mahasiswa dan duduk di semester 6 di salah satu Pergururan Tinggi di Medan, jurusan Psikologi, mendengar saja dengan sabar, sesabar-sabarnya, ocehan Kakeknya. Dia berpikir, dan tahu betul, salah satu obat terbaik bagi seseorang bila ada yang mendengar curahan hati yang sedang stress. Togarma paham betul itu.

“Bayangkan Togarma, 67 tahun sudah negeri ini lepas dari penjajahan. Selama itu, kita masih berkutat dan berpikir apa saja yang akan kita lakukan untuk mensejahterakan rakyat negeri. Padahal Malaisya saja, yang dulu masih mengemis agar kita mengirimkan guru-guru untuk mengajar mereka, kini hidup rakyatnya sudah sejahtera. Pendapatan per kapita rakyatnya jauh di atas kita. Saking sejahteranya, meng-import ‘babu’ dari sini, dengan upah yang setara dengan gaji seorang guru SLTA di sini. Bayangkan itu. Padahal buruh di sini, harus berunjuk rasa di Ibukota negeri serta rela berjemur di panas dan berbasah ria di hujan yang lebat, hanya untuk ‘memaksa’ Pemerintah meluluskan upah minimum, yang tidak lebih dari 2,5 juta. Negeri massam manalah ini?!”

Togarma tetap bergeming , tapi otaknya liar sambil menerawang dan merajut sudut-sudat kota, bawah jembatan, terminal, perkampungan kumuh yang dipenuhi dengan orang-orang; kumal, pesong, gila dan yang setara dengan itu, yang hidup hanya beralaskan bumi, berpayungkan langit, tanpa ada yang menjamah apalagi peduli, sementara di lain pihak, para pejabat negeri mempertontonkan hidup mewah. Sudah begitu, masih saja mengeluh, meski sudah memiliki beberapa rumah, mobil, dan gaji yang tinggi, ditambah tunjangan ini – itu, tetapi mereka masih saja asyk ria mengatakan, begini –begitu, agar rakyat melakukan penghematan ini dan itu…

“Terus degan situasi seperti ini, apa sebenarnya yang harus berubah agar rakayat bisa seperti yang ada di benak kakek?” Interupsi Togarma, di tengah kakeknya yang kian berbusa-busa menganalisa ini – itu,dan mulai merembet ke figur-figur Bupati, Gubernur, Presiden, DPR dan pejabat-pejabat lainnya, intinya, menurut Jamordong, pejabat sekarang ini , sudah lebih banyak mengingkari sumpah jabatan daripada mematuhinya.

“Togarma. Lihatlah! Seorang Bupati di kabupaten termiskin di Sumatera Utara saja, yang lalu lintasnya lengang memerlukan forerider utntuk bupati di jalanan. Kalau Bupati akan hadir di satu Kecamatan, murid-murid setempat diliburkan untuk menyambutnya. Belum lagi, Jumat siang sudah berangkat ke Bandara, lalu ke Ibukota Negara, dan baru kembali hari Senin siang ke kotanya untuk menandatagani daftar hadir, agar seolah-olah ada di kantornya.”

“Lho, saya kira tidak ada yang salah jika seorang Bupati mendapat keistimewaan itu, dan saya kira untuk itulah orang berlomba untuk bisa menjadi Bupati. Dan masa, sih, seorang pejabat harus miskin dan menderita, Kek?” pancing Togarma.

“Hah?! Bagaimana mungkin seorang Bupati harus mengatakan, misalnya, ‘ miskin itu bukan dosa” atau ‘ kita harus memerangi kemiskinan’ berjuang melawan kemiskinan, harus tabah, harus berjuang, harus jujur dan harus bekerja keras, kalau dia melakukan hal yang sebaliknya? Contoh itu, lebih baik daripada perintah. Camkan itu, siapa tahu kau kelak akan menjadi Bupati di tahan kelahiranmu.”


Obamaputralaris, anak hasianku
 yang membuatku masih
 setia mendiami dunia
 Togarma tidak lagi bertanya.Dia diam, lalu surut dan permisi ke kakeknya. “Kek, saya mau ke Tano Ponggol, untuk melihat apakah enceng-gondoknya berkurang atau bertambah.”

***
Laris Naibaho (Tinggal di Jakarta)
Tulisan ini telah dimuat di Metropolitan Pos, bulan November 2012