Anak Yang Kukasihi

Anak Yang Kukasihi
Obamaputralaris

Friday, December 14, 2012

Jamordong :
K E C A P K U   K E C A P   N O M O R  1

Togarma agak sedikit kaget, mendengar Ompungnya Jamordong bersiul di pagi hari. Tak lazim. Biasanya setelah bangun, akan bergegas ke lapo, memesan kopi dan sepotong pohul-pohul atau sepiring mi gomak atau kedua-duanya sekaligus.

“Tak ke lapo, Ompung?” Tanya Togarma, dengan intonasi menyelidik.

“Empat bulan ini aku tak mau ke lapo. Biar selesai dululah pemilihan Gubernur,” jawab Jamordong.

“Bah, Ompung ini! Apa hubungannya ompung ke lapo dengan pemilihan Gubernur. Ke Lapo khan urusan sarapan pagi, ngopi atau ngeteh, pemilihan Gubernur khan itu masalah politik, atau masalah Negara. Emangnya, Ompung ini siapa, kok, sampai menyetting diri seolah-olah ada hubungannya dengan semua yang terkait dengan pemilihan Gubernur?!”

Babam! Sipma ho —diam kau! Itu urusanku. Kau uruslah urusanmu, yang rajinlah kau belajar, supaya kelak, kalau kau berhasil dan sukses, dan ada keinginan mau jadi Sumut-1, bisa menjadi calon yang benar, yang bermoral dan yang tidak hanya sekedar penjual kata-kata, atau pengumbar janji, mirip iklan kecap…”

“Apanya maksudmu Ompung, dengan mirip iklan kecap?!”kejar Togarma.

“E, tahe—Itulah kau. Mahasiswa latteungnya kau. Iklan kecap di mana pun selalu menyatakan, rasa dialah yang paling enak. Dengan iklan itu, secara otomatis kecap yang lain nomor 2 atau nomor seribu. Padahal namanya angka atau urutan, seharusnya ada kecap nomor 1,2,3 dst…Tapi apakah ada produsen kecap yang berani mengiklankan, ‘Kecapku, kecap no 2’ tidak ada itu.”

“Hua ha ha. Ompung ini ada-ada saja. Suka-suka mereka,dong! Mau menyebut produk mereka nomor 1 atau nomor berapa, itu khan hanya soal, bagaimana mempengaruhi pembeli. Kalau pembeli tertarik, yah beli. Kalau tidak, yah tinggal, atau pilih produk lain. Selesai. Tapi ngomong-ngomong, apa hubungannya Ompung menjadi alergi ke lapo hinga pemilihan gubernur Sumatera Utara ini selesai? Lagi pula, masih cukup lama, tiga bulan lagi lho, Ompung…!”

Jamordong tidak segera menyahut. Dia sadar, meski Togarma sering dilabelnya sebagai mahasiswa tolol, tetapi diam-diam diakuinya, cucunya ini cukup cerdas, karena mampu menyajikan pertanyaan dengan sistematis; APA—SIAPA—DIMANA—APABILA —MENGAPA—BAGAIMANA, mirip rumus 5W+H yang pernah didapatnya ketika sempat menjadi mahasiswa.

“Saya sudah niatkan tidak ke lapo selama 3 bulan ini, sampai pemilihan Gubernur selesai dan terpilih gubernur baru. Saya juga tidak akan ikut memilih karena bingung memilih siapa yang akan saya pilih, karena semua calon sudah menyatakan dirinya adalah yang pantas menjadi nomor SATU”

“Artinya memilih untuk tidak memilih?” potong Togarma.

“Ya. 100 untukmu. Saya tidak akan berangkat ke TPS, karena yah itu tadi, semua sudah mendeklarasikan dirinya sebagai nomor 1, seperti iklan kecap tadi. Pengalaman saya pada pemilihan Bupati yang lalu. Saya menjatuhkan pilihan kepada calon yang menyatakan dirinya nomor 1 dalam segala hal. Tapi, buttak-sirabunlah, semua janji yang keluar dari mulut calon yang kini jadi Bupati itu , omong kosong semua. Bahkan, kudengar si Bupati ini, setiap minggu ke Ibukota, bukan untuk melobby pejabat pusat, agar dana mengucur untuk pembangunan di sini, tapi hanya untuk menemui kekasihnya, yang menurut informasi sudah dinikahinya secara siri, atau PASU-PASU RAJA.”

“Ah, Ompung ini sudah rarat—sinting. Tidak benar itu. Itu hanya desas-desus yang dilontarkan yang tidak suka kepada Bupati. Tapi, sudahlah itu, aku hanya ingin tahu, mengapa ompung tidak akan ke lapo sampai pilgub selesai!”

Ai sukkun-sukkunmu hira pewancara ni tipi—Pertanyaanmu kok, seperti pewancara di tv?”

“Jawablah ompung, tidak usah berkelit! Mengapa menghindar ke lapo?”.

“Okelah. Ini menyangkut kesucian hati saya, dan agar bangunan kekeluargaan saya tidak retak atau hancur. Itu sebabnya. Karena kalau aku ke lapo, potensi untuk marbada—bertengkar dengan yang lain tinggi, sangat tinggi. Dan saya tidak mau terjadi, hanya karena pilgub ini hubungan saya terhadap haha-anggi, ito, lae tertutama hula-hula dan tulang, menjadi retak,” ujar Jamordong dengan rawut wajah mulai mengkrut

“ Kurang jelas, Ompung! Jawaban Ompung ini, seperti mengada-ada, dan tidak nyambung. Ibarat ocehan orang Betawi, ‘Jaka sembung naik ojek. Nggak nyambung, kek! Wakakak.”

“Otakmu nya yang dangkal. Maka jangan hanya mendengar. Simak juga apa yang kukatakan,” tangkis Jamordong.

“Tapi nggak jelas, Ompung. Coba urai deteilnya.”

“Heh! Kau tahu kalau di lapo. Di situasi seperti ini, di sana akan berkumpul semua orang-orang yang mengaku paling tahu. Semua akan mendadak menjadi pakar atau ahli dalam menganalisa, terutama menganalisa politik. Dan jeleknya, bisa berujung terciptanya kelompok atau pribadi-pribadi yang terbelah akan terbelah menjadi tim sukses si Anu dan si Binu. Setiap orang sangat ekstrim menjagokan jagonya. Semua akan “berprofesi” menjadi pedagang, penghubung, dan bisa jadi, tiba-tiba semua merasa dirinya dibutuhkan oleh para kandidat gubernur. Nah, pengalaman yang lalu, saat pemlihan Bupati yang ber-efek, di mana sampai sekarang, saya menjadi tidak bersapaan dengan tulang ni anggi borukku namarpariban kandung dohot salah satu calon bupati yang kalah pada waktu yang lalu. Bahkan, waktu boru ni anakku menikah, dia tak lagi datang mangulosi. Apalagi, terus terang saja, saat ini, kiriman anakku dari Jakarta agak dikurangi. Kau tahulah, kalau ke lapo, semua mengaku orang hebat, tapi bayar kopi dan lampet yang disantapnya, bisa jadi atau tak sungkan membebani orang lain…

***

(Laris Naibaho—Direktur Eksekutip Forum Pemerhati Penerbitan Pers Indonesia—Tinggal di Jakarta)



No comments: