Anak Yang Kukasihi

Anak Yang Kukasihi
Obamaputralaris

Saturday, December 22, 2012


Humor

MERTUA MARAH, MERTUA NGAKAK

Kata temanku,  aku termasuk menantu yang kurang ajar, karena berani-beraninya membuat mertua cemberut, kalau pun kemudian menjadi terpingkel-pingkel. Kata temanku itu, “ Tokka do marsimatua songoni—pantangnya berlaku begitu kepada mertua.”
 Terus terang saja, ini memang janjiku kepada diri sendiri, untuk tidak menyikapi apa pun dengan ter-lalu serius.  Menurutku, serius itu, kendati memang perlu, tapi tidak terlalu penting menjadi sikap hidup. Sudah kulihat dan kuamati, mereka yang selalu berada pada posisi serius, menjadi gampang sakit, dan umumnya mengalami stroke. Tapi, percaya tidak percaya, saya selalu serius; serius bekerja, serius tertawa, dan serius juga membuat orang jengkel.
 Inilah ceritranya.
 Saat itu saya harus mangampu,  seusai semua yang hadir telah diberi jambar atau hak untuk bicara. Saya adalah yang terakhir. Dan seperti biasa, sebelum masuk ke topik,  saya membumbui dengan lelucon. Maksud hati, supaya apa yang disampaikan tidak garing, dan agar yang masih ada, tidak tertidur.
 Kumulailah ceritanya begini .
 Setelah terpilih, Walikota Pematang Siantar Hulman Sitorus, mengeluarkan Perko ( Peraturan Kota), yang melarang orang meninggal margondang dan atau menggunakan  semua alat musik yang ada, karena dianggap sebagai  pelecehan terhadap ha-kristenon...
Belum lagi aku selesai bicara, mertuaku langsung interupsi. “ Paitte jo, simago ma Walikota songoni. Bursik mai. Anggo nipillit i gabe Walikota. Paitte jo mulak au, ikhon huarahon jo sude akka manula i,” katanya dengan wajah agak beringas. Sepertinya hatinya panas dan tak terkendali.  Suasana mendadak tak kondusip, dan semua yang hadir terdiam. Ada juga yang bisik-bisik menimpali, bahwa Perko itu mengada-ada dan tak pantas.

Saya terkejut juga. Tidak kusangka, apa yang kusampaikan memicu “kericuhan” dan membuat suasana tegang .  Bagi mertuaku, yang sudah uzur dan umurnya mendekati 84 tahun, Perko tersebut tidak bisa diterima dan itu harus dilawan.

“Apa yang salah dalam Peraturan Kota itu? Bukankah hal itu baik? Bukankah Jesus mengatakan, “Biarlah yang mati mengurus yang mati?” Ujarku dengan nada melucu.

Wajah mertuaku makin tak karuan. Berkerut semua dahinya.

“Tidak bisa. Itu harus dilawan,” ujar seorang paribanku yang selama ini dikenal sebagai  orang “kudus” yang aktif melayani para pencari kesucian.

“Saya sangat setuju dengan pak Hulman. Kalau saya pun jadi Walikota, akan saya larang yang meninggal margondang dan atau menggunakan alat musik apa pun,”ujarku meninggi dengan maksud agar suasana menjadi tegang.

Ah, homa i, ibaen naung maju i hamu. Ibaen na ganjang i sikkola mu. Dang dihargai hamu be akka ula-ula ni Ompung muna. Peh!—Terserah kaulah.  Karena kau telah modern, dan karena  sudah tinggi sekolahmu. Kau tak lagi menghargai budaya dan hasil karya leluhur. Puihh” Senggak Mertuaku.

Dang songoni Inang, molo margondang na mate, kan mabiar ma akka na manondur i—Bukan begitu Inang, kalau mayat itu (yang meninggal maksudnya-pen) memalu gendang, para pelayat kan jadi takut...!”

Tiba-tiba isteriku mencubitku. Ih, sakit.
Dan mungkin karena tak tahan lagi, dia langsung tertawa. Ngakak dia. Dan lalu berkata, “ Ma, itulah helamu ini, tidak pernahnya dia serius, yah tidak mungkinlah yang meninggal memalu gendang. Itunya maksudnya.”

Mertuaku diam sejenak. Agak malu, dan mungkin juga merasa tak pantas tertawa. Tapi meledak juga tawanya. Yang lain pun ikut-ikutan tertawa.
(Ah, gitu aja kok jadi masalah!.)

No comments: