Humor
MERTUA MARAH, MERTUA NGAKAK
Kata temanku, aku
termasuk menantu yang kurang ajar, karena berani-beraninya membuat mertua
cemberut, kalau pun kemudian menjadi terpingkel-pingkel. Kata temanku itu, “ Tokka do marsimatua songoni—pantangnya
berlaku begitu kepada mertua.”
Terus terang saja, ini
memang janjiku kepada diri sendiri, untuk tidak menyikapi apa pun dengan
ter-lalu serius. Menurutku, serius itu, kendati memang perlu, tapi tidak
terlalu penting menjadi sikap hidup. Sudah kulihat dan kuamati, mereka yang
selalu berada pada posisi serius, menjadi gampang sakit, dan umumnya mengalami stroke. Tapi, percaya tidak
percaya, saya selalu serius; serius bekerja, serius tertawa, dan serius juga
membuat orang jengkel.
Inilah ceritranya.
Saat itu saya harus mangampu, seusai semua yang
hadir telah diberi jambar atau hak
untuk bicara. Saya adalah yang terakhir. Dan seperti biasa, sebelum masuk ke
topik, saya membumbui dengan lelucon. Maksud hati, supaya apa yang
disampaikan tidak garing, dan agar yang masih ada, tidak tertidur.
Kumulailah ceritanya
begini .
Setelah terpilih,
Walikota Pematang Siantar Hulman Sitorus, mengeluarkan Perko ( Peraturan Kota),
yang melarang orang meninggal margondang dan atau menggunakan semua alat
musik yang ada, karena dianggap sebagai pelecehan terhadap ha-kristenon...
Belum lagi aku selesai bicara,
mertuaku langsung interupsi. “ Paitte jo, simago ma Walikota
songoni. Bursik mai. Anggo nipillit i gabe Walikota. Paitte jo mulak au, ikhon
huarahon jo sude akka manula i,” katanya dengan wajah agak
beringas. Sepertinya hatinya panas dan tak terkendali. Suasana mendadak
tak kondusip, dan semua yang hadir terdiam. Ada juga yang bisik-bisik
menimpali, bahwa Perko itu mengada-ada dan tak pantas.
Saya terkejut juga. Tidak
kusangka, apa yang kusampaikan memicu “kericuhan” dan membuat suasana tegang
. Bagi mertuaku, yang sudah uzur dan umurnya mendekati 84 tahun, Perko
tersebut tidak bisa diterima dan itu harus dilawan.
“Apa yang salah dalam
Peraturan Kota itu? Bukankah hal itu baik? Bukankah Jesus mengatakan, “Biarlah
yang mati mengurus yang mati?” Ujarku dengan nada melucu.
Wajah mertuaku makin tak
karuan. Berkerut semua dahinya.
“Tidak bisa. Itu harus
dilawan,” ujar seorang paribanku yang selama ini dikenal sebagai orang “kudus”
yang aktif melayani para pencari kesucian.
“Saya sangat setuju dengan pak
Hulman. Kalau saya pun jadi Walikota, akan saya larang yang meninggal
margondang dan atau menggunakan alat musik apa pun,”ujarku meninggi dengan maksud agar suasana menjadi tegang.
“Ah,
homa i, ibaen naung maju i hamu. Ibaen na ganjang i sikkola mu. Dang dihargai
hamu be akka ula-ula ni Ompung muna. Peh!—Terserah kaulah.
Karena kau telah modern, dan karena sudah tinggi sekolahmu. Kau tak lagi
menghargai budaya dan hasil karya leluhur. Puihh” Senggak Mertuaku.
“Dang songoni Inang, molo
margondang na mate, kan mabiar ma akka na manondur i—Bukan begitu Inang, kalau
mayat itu (yang meninggal maksudnya-pen) memalu gendang, para pelayat kan jadi
takut...!”
Tiba-tiba isteriku mencubitku.
Ih, sakit.
Dan mungkin karena tak tahan
lagi, dia langsung tertawa. Ngakak dia. Dan lalu berkata, “ Ma, itulah helamu ini, tidak pernahnya dia
serius, yah tidak mungkinlah yang meninggal memalu gendang. Itunya maksudnya.”
Mertuaku diam sejenak. Agak
malu, dan mungkin juga merasa tak pantas tertawa. Tapi meledak juga tawanya.
Yang lain pun ikut-ikutan tertawa.
(Ah, gitu aja kok jadi
masalah!.)
No comments:
Post a Comment