Brebes, 15 Agustus 2012
Surat kepada Bang Thoyib,
Resah dan gelisah.
Maaf, Bang. Saya tidak lagi sedang mendengar lagu, tetapi sesungguhnya, hati ini sudah tidak sabar menunggu kehadiranmu, seperti yang kau janjikan, 5 hari menjelang Idul Fitri, dirimu sudah berlabuh di dermaga, dengan membawa oleh-oleh yang menjadi kesukaanku, jengkol dan pete.
Tahukah engkau, Bang? Sejak emailmu ku terima, yang memberitahu dirimu akan pulang setelah 3 lebaran lewat, tanpa kutahu di mana rimbamu, aku sungguh-sungguh mabuk kepayang, juga amat terharu. Begitu banyak air mata mengalir di pipi ini, sebagai symbol kebahagiaan, dan rentetannya, seperti yang engkau tahu, aku bukanlah tipe wanita yang suka berdoa, tapi kini, setiap malam, aku selalu berdoa secara khusuk, agar tak ada aral yang melintang di jalan, sampai engkau tiba di rumah; memelukku, mengecup keningku, bibirku, serta membisikkan ke telingaku, bahwa engkau sangat merindukanku, dan wujud dari kerinduan itu, engkau akan menggandengku ke kamar, dan kita akan melepaskan dahaga cinta kita, setelah 36 bulan kita hanya ditemani bantal guling, yang tidak mungkin berkata-kata, apalagi menggantikan yang kupunya dan yang engkau miliki.
Bang, Thoyib!
Aku tersenyum dulu, sebelum melanjutkan surat ini, tentang adanya perubahan yang luar biasa dalam perilakuku sehari-hari. Tahukah kau, aku sudah rajin mandi di pagi hari, dan mengoleskan odorono pada kedua ketiakku, dan setelah itu, mencoba mengendusnya dengan hidungku? Mungkin kau akan tertawa terbahak-bahak dan tertawa, atau mentertawai diriku dan lalu bertanya, “untuk apa?”
Memang, saya tidak pernah berpikir, bahwa ketidak pulanganmu selama 3 lebaran terkait dengan ketiakku. Tapi aku ini wanita, Bang, yang bisa saja menerawangi hal-hal yang tidak benar. Tapi bagaimanapun, engkau tidak bisa melarangku untuk menerawang, “jangan-jangan karena ketiakku ehem ehem…” sehingga, engkau pergi jauh, dan mampir ke lain ketiak yang memancarkan wangi-wangian yang semerbak…(Maafkan Bang jika ini pernah mampir dalam pikiranku.)
Begitulah Bang, seminggu terakhir ini, kecuali aku sudah rajin mandi, dan menggunakan odorono, bibirku yang dulu selalu tampak retak-retak seperti kurang vitamin c, kini hampir setiap pagi kugincui, dengan harapan, kau akan suka dan tercengang serta menjadi bangga, bahkan berharap engkau akan membawaku keliling kampung naik delman, sambil berhalo-halo, dengan mengumbar senyum ke khalayak, “Ini isteriku, ini isteriku, Saminem!” Ah.
Bang, jangan katakan semua ini berlebihan. Jujur, sejak email mu itu, aku lakukan perubahan yang mendasar dengan tujuan membuaimu ke pelukanku, agar tidak lagi meninggalkanku serta akan membawaku kemanapun engkau pergi. Hanya saja, yang masih dan terus dalam perjuanganku adalah cara terbaik untuk melupakan jengkol dan pete, karena tanpa keduanya, selera makanku rendah, dan ah...
Bang, bantulah aku, karena aku tidak mau kehilangan dirimu dan membiarkan diri ini, menjadi mati lapar karena engkau tidak mengijinkanku melahap jengkol dan pete, yang terus terang kedua makanan ini menjadi sumber inspirasiku untuk tetap menyintaimu.
***
(Balas, ya Bang!)
Tertanda :
Saminem
No comments:
Post a Comment