Anak Yang Kukasihi

Anak Yang Kukasihi
Obamaputralaris

Thursday, July 09, 2009

Obamaputralaris

Lahir di RS Hermina Depok, April 2009

Thursday, January 01, 2009

Loper ke ISTANA, sebuah Khayalan?

Loper ke ISTANA, sebuah Khayalan?
Oleh Laris Naibaho

Selasa, (29/12) pukul 12.55, saya menerima telepon dari teman, Rina Ginting. “Bang, jangan pakai teleponnya dulu. Pak TeBe mau bicara.”

Wehehe. Hati saya bergolak gembira,kendati sedikit terkejut. Bukan apa-apa, saya akan ditelepon seorang public figure, pensiunan Jendral, dan mantan Menteri Aparatur Negara, yang dua hari sebelumnya sukses menghibur rakyat jelata di Jakarta Convention Centre yang menghadirkan Presiden Susilo Bambang Yudhono, Wakil Presiden Jusuf Kalla, dan orang – orang penting lainnya di Indonesia saat perayaan Natal Bersama 27/12.

Peristiwa tersebut saya sebutkan sebagai anugrah. Apakah sikap saya ini berlebihan saya tidak tahu. Karena jangankan dari seorang mantan menteri, sms seorang Pemimpin Perusahaan, CEO atau Pemimpin Umum sebuah penerbitan saja bagi saya adalah peristiwa penting dan bersejarah. Biasanya jika itu terjadi, pasti akan saya catat dalam agenda, hari, tanggal, bulan, tahun, detik, menit dan jamnya. Apalagi kalau sampai telepon. Karena, pengalaman selama 33 tahun menjadi pedagang media cetak, hanya ada satudua PP,CEO,PU yang sudi meng sms “jongos”nya—para agen media cetaknya. Apalagi sampai menelpon. Mungkin meng sms atau menelpon jongosnya, martabatnya menjadi “berkurang” . Padahal , sesungguhnya para agen itu merindukan, terutama di saat-saat hari besar, Idul Fitri, Natal atau Tahun Baru. Tapi jangankan meng sms. Menjawab sms aja…hehe he.

Beberapa hari sebelumnya, saya memang diundang makan siang oleh Ompung TB (sebutan untuk TB Silalahi) di Hotel Shangrilla. Weh, kren deh. Tidak ada hubungannya dengan profesi saya sebagai loper. Tapi, karena saudara tertua saya Sinur Naibaho, dijadikan “Bintang”pada perayaan Natal 27/12 tersebut.

Saudara saya itu menjadi bintang, bukan karena cantik, pintar, dan apalagi karena kaya. Dia hanya punya “prestasi” yang menurut TB Silalahi sangat luar biasa, dan dapat dijadikan sebagai contoh dalam menghadapi Krisis Finansial yang terjadi.

Sinur Naibaho hanya tamatan Sekolah Dasar. Dahulu SR. Tapi dia gigih membantu orangtuanya marrengge-rengge (berniaga macam-macam, seperti, tomat, cabe, sayuran dan lain-lainnya) sehingga bisa menghidupi adiknya sebanyak 17. Dan setelah itu, dia mampu pula menyekolahkan 2 putra dan 1 putri ke jenjang S1, salah satunya tamat dari UI.

Pada saat makan siang itulah, saya menyerahkan dua buku yang saya tulis : Bincang Canda Imajiner, dan Lopertika, yang menurut TB Silalahi dibacanya sampai tuntas dan karena sangat tertarik dengan isinya, buku tersebut diberikan kepada Sudi Silalahi, kini menjadi Sekrtaris Kabinet, seorang Jendral dan mantan…

“Amang Laris, sebentar lagi Pak Sudi Silalahi mau bicara…”

Jantung saya, deg…deg. Degdegan lah. Betapa tidak degdegan, seorang sirkulator yang baru 2 tahun saja bekerja di sebuah penerbitan bisa membuat saya degdegan, karena otoritasnya.
“Horas Amang,”

“Horas, matutu,” jawabku dengan degup jantung yang lebih kencang.
“Sudi Silalahi do au—Saya Sudi Silalahi,” ujarnya, dengan nada santun, lembut dan tidak sedikitpun berciri militer yang dulu sangat menakutkanku.

“Sudi Silalahi Sekab i?” tanyaku, mulai tenang.
“Botul, amang!—benar, Pak!”

“Bah, ai aha do amang na porlu, na adong do salakku?—Apa yang perlu, Pak. Apa ada kesalahanku?” jawabku, dengan agak bercanda, karena itu tadi, suara dari seberang sana sangat santun dan bersahabat.

“Daong. Alai au anggota ni Amang do!—Ah, tidak. Tapi Saya ini anggotanya, bapak.”

Aku diam sejenak. Tak langsung menjawab. Pikiranku liar, kok bisa? Padahal saya tidak memiliki partai bahkan tidak anggota partai manapun.

“Aaaa, na margait do Amang?—Ah, yang bercandanya bapak?Bagaimana mungkin?”

“Begini, saya sudah membaca buku karya Amang. Sepanjang perjalanan dalam pesawat aku menangis. Tidak habis-habisnya air mataku mengalir. Saya tidak tahu harus mengatakan apa…”

“Kok, seperti itu,Amang?”

“Itulah. Membaca buku itu, membuat saya menerawang ke tahun 1967-1969 ketika saya sekolah di Bandung. Saat itu, untuk bisa membayar uang sekolah dan kebutuhan sehari-hari, saya menjadi loper. Yah, jadi Loper,” paparnya.

Dia diam sejenak. Sepertinya dia masih menahan perasaannya. Perasaanku menyibak, tangan kirinya memegang HP, tangan kanannya pasti menyeka air matanya.

“Loper itu sangat berjasa, Amang. Tapi orang tidak peduli. Dia mengantar dan mengantar.Dia bekerja dan bekerja. Tidak mengeluh, tapi luput dari perhatian…”

Aku diam mendengar.

“Karena itulah, Amang. Kalau nanti saya sudah sampai di Jakarta, saya akan mengontak Amang. Amang mau iya? Loper kita hadirkan ke Istana, bertemu Presiden. Pemerintah harus bangga bahwa ada Loper yang menjadi jembatan pendistribusian informasi…”

“Makanya ada Loper’s Day, Amang. Dan sudah 4 kali berlangsung,”potongku.

“Saya sudah tahu semua dari buku Amang. Tapi tidak mungkin semua loper ke Istana. Perwakilan saja, iya Amang,” pintanya dengan ucapan yang sangat santun.

“Baiklah, pak Sudi,” jawabku.
***
Aku diam. Membisu sejenak. Khayalku berkelana, dan melintaslah wajah-wajah sahabat para loper, sahabatku ; Agung Adi Prasetio, Sugeng Hari Santoso, Margiono, Dahlan Iskan, Kamsul Hasan, Wim Tangklisan, Leo Batubara, Ahmad Jauhary, Suryo Pratomo, Kristanto, Dedik Pristiwanto, Saur Hutabarat, Erick Tohir, Hari Tanu, Surya Paloh dan terutama Jakob Oetama. Satu persatu mereka menyenyumiku lembut. Punggungku di tepuk-tepuk dan bibir mereka mengalunkan, mirip slogan SBY, “Bersama Kita Bisa…Jangan ragu bung Laris Naibaho, kami ada di belakang dan siap membantu para loper.”

Pelan-pelan kelopak mataku mengatup dan air mata mengalir perlahan…

(Selamat Tahun Baru loperku
Selamat Tahun Baru teman-teman Agen Media Cetak
Selamat Tahun Baru Insan Wartawan
Selamat Tahun Baru Sirkulator—Bersatulah meningkatkan minat baca bangsa.)

***
Laris Naibaho
(masih tetap menjadi loper—tinggal di Jakarta—Ketua Umum Yayasan Loper Indonesia)

Loper ke ISTANA, sebuah Khayalan?

Loper ke ISTANA, sebuah Khayalan?
Oleh Laris Naibaho

Selasa, (29/12) pukul 12.55, saya menerima telepon dari teman, Rina Ginting. “Bang, jangan pakai teleponnya dulu. Pak TeBe mau bicara.”

Wehehe. Hati saya bergolak gembira,kendati sedikit terkejut. Bukan apa-apa, saya akan ditelepon seorang public figure, pensiunan Jendral, dan mantan Menteri Aparatur Negara, yang dua hari sebelumnya sukses menghibur rakyat jelata di Jakarta Convention Centre yang menghadirkan Presiden Susilo Bambang Yudhono, Wakil Presiden Jusuf Kalla, dan orang – orang penting lainnya di Indonesia saat perayaan Natal Bersama 27/12.

Peristiwa tersebut saya sebutkan sebagai anugrah. Apakah sikap saya ini berlebihan saya tidak tahu. Karena jangankan dari seorang mantan menteri, sms seorang Pemimpin Perusahaan, CEO atau Pemimpin Umum sebuah penerbitan saja bagi saya adalah peristiwa penting dan bersejarah. Biasanya jika itu terjadi, pasti akan saya catat dalam agenda, hari, tanggal, bulan, tahun, detik, menit dan jamnya. Apalagi kalau sampai telepon. Karena, pengalaman selama 33 tahun menjadi pedagang media cetak, hanya ada satudua PP,CEO,PU yang sudi meng sms “jongos”nya—para agen media cetaknya. Apalagi sampai menelpon. Mungkin meng sms atau menelpon jongosnya, martabatnya menjadi “berkurang” . Padahal , sesungguhnya para agen itu merindukan, terutama di saat-saat hari besar, Idul Fitri, Natal atau Tahun Baru. Tapi jangankan meng sms. Menjawab sms aja…hehe he.

Beberapa hari sebelumnya, saya memang diundang makan siang oleh Ompung TB (sebutan untuk TB Silalahi) di Hotel Shangrilla. Weh, kren deh. Tidak ada hubungannya dengan profesi saya sebagai loper. Tapi, karena saudara tertua saya Sinur Naibaho, dijadikan “Bintang”pada perayaan Natal 27/12 tersebut.

Saudara saya itu menjadi bintang, bukan karena cantik, pintar, dan apalagi karena kaya. Dia hanya punya “prestasi” yang menurut TB Silalahi sangat luar biasa, dan dapat dijadikan sebagai contoh dalam menghadapi Krisis Finansial yang terjadi.

Sinur Naibaho hanya tamatan Sekolah Dasar. Dahulu SR. Tapi dia gigih membantu orangtuanya marrengge-rengge (berniaga macam-macam, seperti, tomat, cabe, sayuran dan lain-lainnya) sehingga bisa menghidupi adiknya sebanyak 17. Dan setelah itu, dia mampu pula menyekolahkan 2 putra dan 1 putri ke jenjang S1, salah satunya tamat dari UI.

Pada saat makan siang itulah, saya menyerahkan dua buku yang saya tulis : Bincang Canda Imajiner, dan Lopertika, yang menurut TB Silalahi dibacanya sampai tuntas dan karena sangat tertarik dengan isinya, buku tersebut diberikan kepada Sudi Silalahi, kini menjadi Sekrtaris Kabinet, seorang Jendral dan mantan…

“Amang Laris, sebentar lagi Pak Sudi Silalahi mau bicara…”

Jantung saya, deg…deg. Degdegan lah. Betapa tidak degdegan, seorang sirkulator yang baru 2 tahun saja bekerja di sebuah penerbitan bisa membuat saya degdegan, karena otoritasnya.
“Horas Amang,”

“Horas, matutu,” jawabku dengan degup jantung yang lebih kencang.
“Sudi Silalahi do au—Saya Sudi Silalahi,” ujarnya, dengan nada santun, lembut dan tidak sedikitpun berciri militer yang dulu sangat menakutkanku.

“Sudi Silalahi Sekab i?” tanyaku, mulai tenang.
“Botul, amang!—benar, Pak!”

“Bah, ai aha do amang na porlu, na adong do salakku?—Apa yang perlu, Pak. Apa ada kesalahanku?” jawabku, dengan agak bercanda, karena itu tadi, suara dari seberang sana sangat santun dan bersahabat.

“Daong. Alai au anggota ni Amang do!—Ah, tidak. Tapi Saya ini anggotanya, bapak.”

Aku diam sejenak. Tak langsung menjawab. Pikiranku liar, kok bisa? Padahal saya tidak memiliki partai bahkan tidak anggota partai manapun.

“Aaaa, na margait do Amang?—Ah, yang bercandanya bapak?Bagaimana mungkin?”

“Begini, saya sudah membaca buku karya Amang. Sepanjang perjalanan dalam pesawat aku menangis. Tidak habis-habisnya air mataku mengalir. Saya tidak tahu harus mengatakan apa…”

“Kok, seperti itu,Amang?”

“Itulah. Membaca buku itu, membuat saya menerawang ke tahun 1967-1969 ketika saya sekolah di Bandung. Saat itu, untuk bisa membayar uang sekolah dan kebutuhan sehari-hari, saya menjadi loper. Yah, jadi Loper,” paparnya.

Dia diam sejenak. Sepertinya dia masih menahan perasaannya. Perasaanku menyibak, tangan kirinya memegang HP, tangan kanannya pasti menyeka air matanya.

“Loper itu sangat berjasa, Amang. Tapi orang tidak peduli. Dia mengantar dan mengantar.Dia bekerja dan bekerja. Tidak mengeluh, tapi luput dari perhatian…”

Aku diam mendengar.

“Karena itulah, Amang. Kalau nanti saya sudah sampai di Jakarta, saya akan mengontak Amang. Amang mau iya? Loper kita hadirkan ke Istana, bertemu Presiden. Pemerintah harus bangga bahwa ada Loper yang menjadi jembatan pendistribusian informasi…”

“Makanya ada Loper’s Day, Amang. Dan sudah 4 kali berlangsung,”potongku.

“Saya sudah tahu semua dari buku Amang. Tapi tidak mungkin semua loper ke Istana. Perwakilan saja, iya Amang,” pintanya dengan ucapan yang sangat santun.

“Baiklah, pak Sudi,” jawabku.
***
Aku diam. Membisu sejenak. Khayalku berkelana, dan melintaslah wajah-wajah sahabat para loper, sahabatku ; Agung Adi Prasetio, Sugeng Hari Santoso, Margiono, Dahlan Iskan, Kamsul Hasan, Wim Tangklisan, Leo Batubara, Ahmad Jauhary, Suryo Pratomo, Kristanto, Dedik Pristiwanto, Saur Hutabarat, Erick Tohir, Hari Tanu, Surya Paloh dan terutama Jakob Oetama. Satu persatu mereka menyenyumiku lembut. Punggungku di tepuk-tepuk dan bibir mereka mengalunkan, mirip slogan SBY, “Bersama Kita Bisa…Jangan ragu bung Laris Naibaho, kami ada di belakang dan siap membantu para loper.”

Pelan-pelan kelopak mataku mengatup dan air mata mengalir perlahan…

(Selamat Tahun Baru loperku
Selamat Tahun Baru teman-teman Agen Media Cetak
Selamat Tahun Baru Insan Wartawan
Selamat Tahun Baru Sirkulator—Bersatulah meningkatkan minat baca bangsa.)

***
Laris Naibaho
(masih tetap menjadi loper—tinggal di Jakarta—Ketua Umum Yayasan Loper Indonesia)