Anak Yang Kukasihi

Anak Yang Kukasihi
Obamaputralaris

Tuesday, July 04, 2006

Lopertika: Pungguk Merindukan Bulan

PUNGGUK MERINDUKAN BULAN
Oleh Laris Naibaho

Siapa yg tidak mengakui bahwa wartawan memiliki tempat khusus di masyarakat?
Kekhususan ini, tentu bukan karena dia adalah seorang yang kaya raya, atau memiliki jimat setinggi ajimat pancasona yg bisa meluluh lantakkan gunung batu.Tetapi boleh jadi kekhususan ini, oleh karena Wartawan dianggap sebagai tempat curahan hati, jika mengadu ke legislatip, ke judikatip, atau eksekutip tidak mempan. Maka Dalam Four Theory of The Press-nya, Profesor Siebert sampai mengatakan, Pers adalah organ ke empat, yang "Jauh lebih tinggi" dari 3 alat yg ain.
Ini memang benar adanya. Karena kalau tidak benar, tidak mungkin seorang calon Presiden harus lebih dulu soan (berkunjung) ke big bos penerbitan Pers, karena kalau tidak, maka urusan bisa jadi mandeg di tengah jalan. Mengapa? Sebab, setajam-tajamnya pisau, pastilah lebih tajam pisaunya pers, karena dia akan bisa mempengaruhi opini publik.
***
Karena itulah, bergaul dengan wartawan seharusnya sedap. Apalagi pergaulan tersebut diikat pula dengan hubungan yang bila serang-­sering buka buku biologi disebut sebagai "Simbiose Mutualisme"
Tapi siapa menyangka, mesin yg sehari-hari mengolek uang dari pembaca yg dalam Anggaran Dasar Yayasan Loper Indonesia (YLI) disebut Loper bisa jadi luput dari perhatian wartawan. Maka kalau loper dikejar-kejar oleh trantib, ditelanjangi, bahkan mungkin diberangus kehidupannya dari jalan-jalan, tidak menjadi persoalan baginya. Bahkan jangan-jangan enggan untuk memberitakannya, karena dianggap tidak memiliki nilai berita. Padahal, wartawan begitu perkasa untuk membuka borok KPU, bisa menelanjangi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, atau menggiring para bankir masuk bui.
Beruntung ada Yayasan Loper Indonesia yg dideklarasikan di sebuah tempat bersejarah, Istora Senayan 11 Maret 2005 yg lalu. Senyum dan tawa bergema di sana, karena konon, Yayasan ini
akan berjuang untuk memberi perlindungan kepada para loper, yg paling minimal adalah proteksi rawat inap,dan syukur-syukur juga perlindungan hukum dan lain-lain yg sehingga pekerjaan ini menarik bagi pencari pekerjaan.
Saat itu, mungkin sebagian besar atau bahkan seluruh loper yg hadir, juga para agen yg mendampinginya menaruh harapan yg dalam kepada YLI, yg kendati pekerjaan Loper tidak memberi harapan untuk bisa mendapatkan rumah, mobil dan apalagilah yg semacam itu, tapi jika proteksi ada, tentu jadi loper masih bisa memberi memberi kenyamanan.
Tetapi "Binatang" apakah YLI ini. Mampukah dia mengemban tugasnya? Jangan-jangan dia akan mati sebelum sempat lahir? Siapakah yg bertanggungjawab? Dan kalau dia mati, ke manakah Loper harus mengadu, atau milik siapakah para loper ini? Atau mungkinkah perlindungan kepada loper secara formal hanya sebuah utopia? Atau haruskah loper itu hanya pantas untuk dikasihani? Soalnya, tidak semua petinggi Pers di negeri ini yang peduli terhadap loper. Buktinya ada yang menolak mentah-mentah, ketika diminta untuk menjadi Pembina YLI. Bahkan untuk berbincang ria tentang nasib loper dia tidak sempat. Ibarat judul filmnya alm.Bing Slamet :" Saya sedang sibuk." Maka, kendati anggapan ini apriori, "Loper Merindukan
Bulan."
Menjadi benar adanya. Hidup Pers Indonesia
***

No comments: