Anak Yang Kukasihi

Anak Yang Kukasihi
Obamaputralaris

Tuesday, July 04, 2006

Demokrasi, Demokrasi Bohong


Demokrasi, Demokrasi Bohong
Oleh Laris Naibaho
PARTO, bergegas menemui Pak Sukri, kakeknya. Tanpa basa­basi lagi, langsung mengoceh tentang pengalamannya
selama sehari penuh mengitari Jakarta. Pertama, ia bercerita tentang dua pemuda yang duduk ber­dampingan di metromini yang hampir adu pisik, hanya karena asap rokok. Pemuda yang satu menegur, agar toleransi kepa­danya yang tidak merokok. Se­mentara si perokok dengan en­teng meminta, penegur bisa bertolerensi kepadanya yang sedang menikmati rokoknya.
BEBERAPA ratus meter dari pintu tol, metromini terpaksa berhenti. Tak bisa lewat, kare­na ribuan orang sedang berun­juk rasa ke salah satu departe­men produk Orde Reformasi. Suara-suara lantang, memekik­kan agar pemerintah memper­hatikan nasib para karyawan yang berkaitan dengan tugas pelayanan masyarakat.
Salah seorang penumpang yang sangat khawatir akan telat di kampus dan tidak bisa meng­ikuti ujian, turun dan berteriak. "Kalian bo!eh-boleh saja unjuk rasa. Tetapi, tertib dong! Ja­ngan semau gue dan mengham­bat aktivitas orang lain yang ti­dak ikut berunjuk rasa".
Salah seorang pengunjuk ra­sa, menyambut, "Jalan tol ini adalah milik negara. Berarti milik rakyat. Kami adalah raky­at. Berarti kami adalah pemi­liknya. Karena pemilik, maka kami bebas menggunakannya. Hidup rakyat..., hidup rakyat," teriaknya sambil mengepalkan tangan yang diikuti para pen­gunjuk rasa yang lain.
TIBA di depan salah satu mal dekat stasiun, di sana petugas bentrok dengan pedagang kaki lima yang berbaur dengan para supir bajaj. Petugas menjalan­kan perintah, dan semua itu mereka lakukan agar semua tertib dan berjalan lancar. Te­tapi para pedagang tetap ngotot bahwa mereka berhak mencari nafkah di atas trotoar, untuk mengasapi dapur, dan menye­kolahkan anak. Toh, menurut mereka, trotoar tersebut ada­lah warisan nenek moyang me­reka. Dan, yaitu, mereka bersi­keras, agar mereka tetap bisa berjalan.
"SUDAH, sudah. Ndak usah diterusin," potong Pak Sukri, melihat bibir Parto yang masih ingin nyerocos, menambah laporan perjalanannya.
Lalu pikiran Pak Sukri me­nerawang. Dia bayangan diri­nya berada pada tiga kejadian yang disampaikan Parto. Tanpa sadar bibirnya melontarkan kata, "Inikah yang dimaksud dengan euforia demokrasi ?" tanya Pak Sukri kepada dirinya sendiri.
Parto mengira, pertanyaan itu ditujukan padanya. "Eufo­ria demokrasi, apa artinya itu, Kek?"
Pak Sukri gelagapan. Karena memang tak menyadarinya. Ya, tidak siap menjawab. Tetapi, agar tetap tampak berwibawa di mata Parto, ia menjawab juga. "Euforia itu adalah suasa­na pikiran manusia yang ma­buk kepayang karena senang. Jadi eforia demokrasi, yah, suasana yang mabuk kepayang menggunakan demokrasi. Sam­pai demokrasi itu bisa bergeser dari pengertian dan tujuan­nya".
"Maksud, Kakek?"
"Ya, semua orang berhak dan bebas menyampaikan penda­patnya. Itulah demokrasi. Teta­pi, jika dengan dalih demokrasi semua orang menjadi bebas se­bebas-bebasnya, maka akan terjadi anarkhi".
"Jadi harusnya, bagaima­na?"
"Ya, demokrasi tanpa hu­kum, sama saja bohong," ujar Pak Sukri, sambil ngeloyor, tan­pa menghiraukan lagi cucunya, yang seakan masih ingin tahu lebih banyak tentang demok­rasi.
***
(dimuat di HU SANG SAKA, SABTU 15 APRIL 2000.)

No comments: