Demokrasi, Demokrasi Bohong
Oleh Laris Naibaho
Oleh Laris Naibaho
PARTO, bergegas menemui Pak Sukri, kakeknya. Tanpa basabasi lagi, langsung mengoceh tentang pengalamannya
selama sehari penuh mengitari Jakarta. Pertama, ia bercerita tentang dua pemuda yang duduk berdampingan di metromini yang hampir adu pisik, hanya karena asap rokok. Pemuda yang satu menegur, agar toleransi kepadanya yang tidak merokok. Sementara si perokok dengan enteng meminta, penegur bisa bertolerensi kepadanya yang sedang menikmati rokoknya.
BEBERAPA ratus meter dari pintu tol, metromini terpaksa berhenti. Tak bisa lewat, karena ribuan orang sedang berunjuk rasa ke salah satu departemen produk Orde Reformasi. Suara-suara lantang, memekikkan agar pemerintah memperhatikan nasib para karyawan yang berkaitan dengan tugas pelayanan masyarakat.
Salah seorang penumpang yang sangat khawatir akan telat di kampus dan tidak bisa mengikuti ujian, turun dan berteriak. "Kalian bo!eh-boleh saja unjuk rasa. Tetapi, tertib dong! Jangan semau gue dan menghambat aktivitas orang lain yang tidak ikut berunjuk rasa".
Salah seorang pengunjuk rasa, menyambut, "Jalan tol ini adalah milik negara. Berarti milik rakyat. Kami adalah rakyat. Berarti kami adalah pemiliknya. Karena pemilik, maka kami bebas menggunakannya. Hidup rakyat..., hidup rakyat," teriaknya sambil mengepalkan tangan yang diikuti para pengunjuk rasa yang lain.
TIBA di depan salah satu mal dekat stasiun, di sana petugas bentrok dengan pedagang kaki lima yang berbaur dengan para supir bajaj. Petugas menjalankan perintah, dan semua itu mereka lakukan agar semua tertib dan berjalan lancar. Tetapi para pedagang tetap ngotot bahwa mereka berhak mencari nafkah di atas trotoar, untuk mengasapi dapur, dan menyekolahkan anak. Toh, menurut mereka, trotoar tersebut adalah warisan nenek moyang mereka. Dan, yaitu, mereka bersikeras, agar mereka tetap bisa berjalan.
"SUDAH, sudah. Ndak usah diterusin," potong Pak Sukri, melihat bibir Parto yang masih ingin nyerocos, menambah laporan perjalanannya.
Lalu pikiran Pak Sukri menerawang. Dia bayangan dirinya berada pada tiga kejadian yang disampaikan Parto. Tanpa sadar bibirnya melontarkan kata, "Inikah yang dimaksud dengan euforia demokrasi ?" tanya Pak Sukri kepada dirinya sendiri.
Parto mengira, pertanyaan itu ditujukan padanya. "Euforia demokrasi, apa artinya itu, Kek?"
Pak Sukri gelagapan. Karena memang tak menyadarinya. Ya, tidak siap menjawab. Tetapi, agar tetap tampak berwibawa di mata Parto, ia menjawab juga. "Euforia itu adalah suasana pikiran manusia yang mabuk kepayang karena senang. Jadi eforia demokrasi, yah, suasana yang mabuk kepayang menggunakan demokrasi. Sampai demokrasi itu bisa bergeser dari pengertian dan tujuannya".
"Maksud, Kakek?"
"Ya, semua orang berhak dan bebas menyampaikan pendapatnya. Itulah demokrasi. Tetapi, jika dengan dalih demokrasi semua orang menjadi bebas sebebas-bebasnya, maka akan terjadi anarkhi".
"Jadi harusnya, bagaimana?"
"Ya, demokrasi tanpa hukum, sama saja bohong," ujar Pak Sukri, sambil ngeloyor, tanpa menghiraukan lagi cucunya, yang seakan masih ingin tahu lebih banyak tentang demokrasi.
selama sehari penuh mengitari Jakarta. Pertama, ia bercerita tentang dua pemuda yang duduk berdampingan di metromini yang hampir adu pisik, hanya karena asap rokok. Pemuda yang satu menegur, agar toleransi kepadanya yang tidak merokok. Sementara si perokok dengan enteng meminta, penegur bisa bertolerensi kepadanya yang sedang menikmati rokoknya.
BEBERAPA ratus meter dari pintu tol, metromini terpaksa berhenti. Tak bisa lewat, karena ribuan orang sedang berunjuk rasa ke salah satu departemen produk Orde Reformasi. Suara-suara lantang, memekikkan agar pemerintah memperhatikan nasib para karyawan yang berkaitan dengan tugas pelayanan masyarakat.
Salah seorang penumpang yang sangat khawatir akan telat di kampus dan tidak bisa mengikuti ujian, turun dan berteriak. "Kalian bo!eh-boleh saja unjuk rasa. Tetapi, tertib dong! Jangan semau gue dan menghambat aktivitas orang lain yang tidak ikut berunjuk rasa".
Salah seorang pengunjuk rasa, menyambut, "Jalan tol ini adalah milik negara. Berarti milik rakyat. Kami adalah rakyat. Berarti kami adalah pemiliknya. Karena pemilik, maka kami bebas menggunakannya. Hidup rakyat..., hidup rakyat," teriaknya sambil mengepalkan tangan yang diikuti para pengunjuk rasa yang lain.
TIBA di depan salah satu mal dekat stasiun, di sana petugas bentrok dengan pedagang kaki lima yang berbaur dengan para supir bajaj. Petugas menjalankan perintah, dan semua itu mereka lakukan agar semua tertib dan berjalan lancar. Tetapi para pedagang tetap ngotot bahwa mereka berhak mencari nafkah di atas trotoar, untuk mengasapi dapur, dan menyekolahkan anak. Toh, menurut mereka, trotoar tersebut adalah warisan nenek moyang mereka. Dan, yaitu, mereka bersikeras, agar mereka tetap bisa berjalan.
"SUDAH, sudah. Ndak usah diterusin," potong Pak Sukri, melihat bibir Parto yang masih ingin nyerocos, menambah laporan perjalanannya.
Lalu pikiran Pak Sukri menerawang. Dia bayangan dirinya berada pada tiga kejadian yang disampaikan Parto. Tanpa sadar bibirnya melontarkan kata, "Inikah yang dimaksud dengan euforia demokrasi ?" tanya Pak Sukri kepada dirinya sendiri.
Parto mengira, pertanyaan itu ditujukan padanya. "Euforia demokrasi, apa artinya itu, Kek?"
Pak Sukri gelagapan. Karena memang tak menyadarinya. Ya, tidak siap menjawab. Tetapi, agar tetap tampak berwibawa di mata Parto, ia menjawab juga. "Euforia itu adalah suasana pikiran manusia yang mabuk kepayang karena senang. Jadi eforia demokrasi, yah, suasana yang mabuk kepayang menggunakan demokrasi. Sampai demokrasi itu bisa bergeser dari pengertian dan tujuannya".
"Maksud, Kakek?"
"Ya, semua orang berhak dan bebas menyampaikan pendapatnya. Itulah demokrasi. Tetapi, jika dengan dalih demokrasi semua orang menjadi bebas sebebas-bebasnya, maka akan terjadi anarkhi".
"Jadi harusnya, bagaimana?"
"Ya, demokrasi tanpa hukum, sama saja bohong," ujar Pak Sukri, sambil ngeloyor, tanpa menghiraukan lagi cucunya, yang seakan masih ingin tahu lebih banyak tentang demokrasi.
***
(dimuat di HU SANG SAKA, SABTU 15 APRIL 2000.)
No comments:
Post a Comment