Buah Jatuh Tak Jauh Dari Pohonnya
J
|
amordong
tertawa ngakak menyaksikan kepala Negara bermain air di jalan raya dekat Istana
melalui saluran tv kesayangannya. Hujan yang
tak reda selama tigahari berturu-turut membuat Jakarta menjadi waduk terbesar di dunia saat ini.
Saluran tv yang
satu ini memang paling getol menyiarkan apa pun, apabila suatu peristiwa bisa menyudutkan
kepala Negara danmengambil “keuntungan”
dari kejadian itu. Maklum, pemiliknya, yang kendati pilpres masih jauh, sudah mengumandangkan, dirinya siap bertarung dan yakin akan menang.
Tawa Jamordong mengusik
lamunan isterinyasi Sorta. Asal tahu saja, kemanapun Jamordong pergi, ia tidak mau
tahu, atau tidak terlalu peduli gerak-gerik atau tata laku Jamordong. Baginya,
dia cukuplahmenjadiseorangIsteri yang bertugas memenuhi kebutuhan Jamordong sehari-hari.
Menyajikan kopi utamanya.
“Heh,OmpungniMangasi—(begitu dia memanggil Jamordong),kok agak lain
tertawamu pagi ini, sampai ngakak-ngakak begitu, dapat loterekah?”
“Taklah.Bagaimana dapat lotere masang saja tidak
pernah. Lagi pula, bukan tabiatku main lotere-loterean.Itu haram dalam
agama. Makanya, aku tidak pernah main atau memasangnya,” ujarJamordong menjawab.
“Kalaubegitu, apa
yang membuatmu tertawa begitu rupa hingga
mengusik lamunanku yang indah. Tadi, pas
engkau tertawa, aku lagi melamun, kita sedang pesiar mengelilingi Pulau Samosir dengan kapal mirip Awani Dream yang bobotnya lebih kecil yang bisa melewati terusan Tano Ponggol,
seminggu sebelum FESTIFAL TANO PONGGOL berlangsung,” kata Sorta dengan eksperesi
penuh kesungguhan.
“Huahaha. Benarlah kata pepatah, Sorta. ‘Begitukelapanya,
begitu minyaknya. Begitu bapaknya, begitu pulalah anaknya.Wakakak!”
“Heh, aku tidak mengertimaksudmu Ompungni Mangasi.
Yang jelas dong kalau menerangkan sesuatu.
Tidakperlulah menggunakan segala pepatah, hanya untuk menjelaskan tawamu yang
tidak biasa itu...”
“Itulah Sorta. Saya
tertawa memang. Tapi bathinku menangis. Sesenggukan di dalam. Kautahu, Jakarta
itu jendelanya Indonesia ke seluruh dunia. Jakarta mewakili sosok seluruh negeri.
Masyarakat dunia akan menyimpulkan, beginilah Indonesia secara keseluruhan hanya
dengan melihat Jakarta. Jadi tidak perlu lagi ke Aceh, ke Papua, apalagi ke Samosir,”
urai Jamordong
“Saya kurang paham
maksudmu!”
“Memang kamu selalu
telat mikir.Tapi lebih baik begitu daripada soktahu. Karena banyak orang, sudah
jelek, bodoh, miskin, sombong lagi. Kau masih lain. Masih mau bertanya, kalau tidak
tahu. Cantik dan jujur pula. Makanya aku tetap saying padamu, meski pipimu sudah
mengeriput.”
“Takusah melantur
sana-sini, teruskan dulu penjelasanmu.”
“Begini. Jauh sebelum
Presiden sekarang berkuasa, diatoh sudah
tinggal di Jakarta ini. Dan sudah dilaluinya kejadian-kejadian apa pun di Jakarta
ini. Hujan yang mengakibatkan banjir, bukanlah yang pertama ini. Hampir setiap tahun.Tap
lihatlah tingkahnya. Seperti orang dungu, yang berteleponria member instruksi ni-itu,
seakan-akan peristiwa banjir seperti ini baru pertama kali terjadi. Nah, selama ini dia mengerjakan apa?
Haruskah diamenyalakan Gubernur. Lebih berkuasa mana, Presiden atau Gubernur?”
“Maksudmu?”
“Sebagai Presiden
dan Istananya ada di Jakarta, tidak seharusnya Jakarta ini mengalami banjir. Setiap
hari diabisa ‘memerintahkan’ ini itu. Karena
ada di depan matanya. Apadia tidak malu banjir menyentuh istananya? Pun
selain dia dan anggota kabinetnya, mayoritas kaum intelektual negeri ini ada di
Jakarta, tapi hanya untuk membua tselokan, atau gorong-gorong dan memecahkan masalah
sampah saja tidak mampu. Manusia massammanalah
dia itu?”
“Terus apa kaitannya
dengan peribahasa yang kausebutkan tadi?”
“Selaraslah dengan
apa yang kita lihat di Samosir. Lihatlah Ibukotanya. Masalah gorong-gorong belum
terpecahkan sejak Kabupaten ini berdiri. Terusan Tano Ponggol yang di zaman Belanda
bersih dan indah serta bisa dilalui kapal kecil, kini seperti itulah. Yaitu tadi,
‘air jatuh dari dataran tinggi kedataran rendah’ maka kalau Presidennya begitu, tak jauh-jauhlah denganwatak Bupatinya. Hehe he, jadi bagaimana mungkin daerah ini
menjadi tujuan wisata, kalau ibukotanya pun dikelilingi oleh
kubangan lumpur.”
***
(LarisNaibaho—Ketua Umum Yayasan Loper
Indonesia—Tingggal di Jakarta)
No comments:
Post a Comment