A m o n g,
Malam tidak membuat pikiranmu
memicingkan mata, sebelum telingamu menangkap suara klakson dan bunyi pagar
terbuka...
Juga, belum akan kau kenakan
selimutmu, sebelum derit ban mobil berhenti dan bunyi sepatu berdetak ada di
dekat kamarmu...
Kau terbaring lemah, karena
tungkai kakimu tidak lagi kuat menopang tubuhmu, bahkan hanya sekedar ke toilet yang hanya beberapa langkah di
samping tempat tidurmu...
Tubuhmu teramat lemah, kendati
sinar pikiranmu jernih,
lebih jernih dari semua
putra-putri titipan Sang Khalik pada-mu…
Yang andalkan rasio, dan tak
peduli tentang pikiran dan hatimu yang senantiasa merindukan mereka di usiamu
yang tidak lagi bumi inginkan...
Among,
Dari detik ke menit ke jam, engkau memendam kebosanan dan hanya mampu menatap langit-langit dan dingding kamarmu. Pikiranmu berkelana ke sana ke mari, membayangkan setiap wajah yang kau rindukan, tetapi tidak sebaliknya...
Ada yang lupa karena sibuk.
Ada berpura-pura melupakanmu
Tetapi yang pasti ada yang
melupakanmu
Bahkan ada yang mengharapmu
segera saja menghadap-Nya...
Ah,
Engkau pun sebenarnya sudah lelah meminta dan berdoa kepada Ompu Mulajadi Nabolon, agar segera menjemput dan menjadikan engkau pelayan-Nya di Sorga, agar juga bisa bersama-sama dan bersendagurau dengan Henneria, kekasihmu yang 5 tahun lalu telah mendahului mu menjadi pelayan-Nya...
Engkau pun sebenarnya sudah lelah meminta dan berdoa kepada Ompu Mulajadi Nabolon, agar segera menjemput dan menjadikan engkau pelayan-Nya di Sorga, agar juga bisa bersama-sama dan bersendagurau dengan Henneria, kekasihmu yang 5 tahun lalu telah mendahului mu menjadi pelayan-Nya...
Tetapi...,
seperti katamu, engkau masih
diperintah di sini, di bumi yang penuh derita ini, untuk menuntun putra-putrimu
menuju dermaga keberhasilan, walau tak juga semua menyadari…,
karena engkau sudah dianggab
beban, bahkan menjadi bahan tertawaan,
dan apalagi, ah, terlalu sulit
untuk berucap, atau inikah hasil dari doa-doamu?
Among,
Kurasakan,
Hari demi hari,
Among,
Kurasakan,
Hari demi hari,
Betapa sarat pikiranmu, dan
betapa beban itu menempel di semua pundakmu, tanpa kuasa untuk melakukan
sesuatu, karena bahkan untuk duduk pun,
engkau harus merintih,
mengaduh
dan,
engkau kadang menangis
sesenggukan, dan selalu bertanya kepada Tuhan,
“Apa dosaku, mengapa kau tak jemput aku Tuhan?”
Among,
Tidak ada salahmu.
Tidak ada salahmu.
Engkau adalah ayah sejati, yang
selalu tekun berdoa, yang doamu didengar
dan dikabulkan oleh Tuhan.
Dan karena itu Among,
Kendati pikiranku ingin membawa
tubuhku untuk menikmati indahnya Pangururan, Parapat, Puncak, Bali, dan bahkan kendati
ada yang membayariku untuk anjangsana atau bepergian ke Papua, Borneo, Batam,
Singapura, Thailand atau benua Amerika sekalipun…
atau menyaksikan si Ronaldo,
Jisun Park di Word Cup, Afrika sana, aku tetap setia, dan tidak sejengkal pun akan meninggalkan, sampai...
Karena aku sangat mengisihimu,
Karena mencintaimu dengan sepenuh
hatiku...
Karena siapa lagi yang akan
mendengar dering bel dari kamarmu...?
Siapa lagi yang akan memerhatikan
minum dan makananmu?
Siapa lagi yang memerhatikan
pampresmu?
Karena itu...
jangan sedih lagi Among?
jangan risau tentang apa dan
siapa...:
jangan ragu
jangan pernah takut, akan segala
kebutuhanmu akan berkurang atau tiada, sampai satu saat Henneria mengundangmu ke
Sorga dan Tuhan mengutus malaikat untuk menjemputmu...
Karena...
Karena...
(segala kesibukan yang sebenarnya bisa melambungkan namaku—sudah kutinggalkan)
Karena...
(segala kesibukan yang sebenarnya bisa melambungkan namaku—sudah kutinggalkan)
Karena untuk apa Among...
Untuk apa namaku terkenal dan
mendapat pujian dari sana-sini,
jika… :
jika dirimu menjadi kesepian,
jika dirimu menjadi teraniaya dan
terhina oleh kemelekatan ego anak manusia yang mengandalkan rasio dan apalagi
materi...
Among,
aku, kendati ini juga adalah ego yang mendalam,
aku, kendati ini juga adalah ego yang mendalam,
karena kutidak selaraskan rasioku
dengan hatiku,
karena bahkan,
Tapi Among,
inilah kebahagiaanku...
inilah persembahan demi
kebahagiaanku.
dan...
aku tidak akan pernah surut untuk merawatmu,
sampai seluruh tubuhku tidak
mampu melakukannya...Sampai Tuhan menyatakan :
“Sudah waktunya!”
***
(tulisan ini dibuat beberapa minggu sebelum ayah menghadap
Penciptanya, September 2009—Laris Naibaho)
No comments:
Post a Comment