“JELAS, DO?”
Oleh : Laris Naibaho
“Kalau tidak ada uang, jangan
coba-cobalah mencalonkan diri jadi anggota Legislatif di Pemilu 2014 ini.
Karena, setiap orang yang akan saya hubungi agar memilihmu, pasti akan
bertanya, ‘jelas, do?’ Soalnya pada Pemilu yang lalu, peran uang di sini sangat
dominan, dan menentukan!” tandasnya
dengan ekspresi serius.
“Apakah semangat dan keinginan luhur yang saya bawa dari rantau untuk membangun daerah ini tidak cukup? Saya tahu, saya tidak memiliki cukup uang yang bisa saya ‘pertaruhkan’ di sini, tapi memiliki krediblitas serta akses yang lumayan banyak dan besar yang bisa saya ajak menanamkan modalnya di sini untuk mempercapat geliat ekonomi dengan mempercepat daerah ini sebagai Daerah Tujuan Wisata (DTW) mengikuti Bali yang sudah lebih dulu maju. Itulah modal saya.”
“Apakah semangat dan keinginan luhur yang saya bawa dari rantau untuk membangun daerah ini tidak cukup? Saya tahu, saya tidak memiliki cukup uang yang bisa saya ‘pertaruhkan’ di sini, tapi memiliki krediblitas serta akses yang lumayan banyak dan besar yang bisa saya ajak menanamkan modalnya di sini untuk mempercapat geliat ekonomi dengan mempercepat daerah ini sebagai Daerah Tujuan Wisata (DTW) mengikuti Bali yang sudah lebih dulu maju. Itulah modal saya.”
“Mungkin saja itu betul.
Percepatan daerah ini menjadi DTW, tentu akan meningkatkan penghasilan warganya
kelak. Saya tahu, kemenangan jangka panjang itu perlu. Tapi kebutuhan jangka
pendek, sangat menentukan. Artinya, anda tahulah, dan mungkin sudah pernah
merasakan, betapa merananya menahan perut yang keroncongan. Uang
seratus-duaratus ribu di sini, masih sangat tinggi. Jumlah itu, bisa jadi untuk
kebutuhan beras seminggu, yang di tempat lain, jangan-jangan hanya menyangkut
sekali makan siang,” papar kawan ini tegas, tanpa merasa kikuk atau malu
dengan apa yang disampaikannya. “Ini realita,Bung!” Tambahnya.
“Apakah dengan demikian, saya
harus mengurungkan niat untuk maju menjadi calon legislatif, karena kecil
kemungkinan mendapat dukungan apabila tidak bisa menyediakan uang
seratus-duaratus ribu per orang atau per
pemilih?”
“Saya tidak menyatakan itu secara
saklak. Tapi, orang bijak mengatakan,
‘marbisuk
songon ulok, marroha songon darapati’ Kalau memang ingin memperbaiki daerah
ini, tentu saja harus menjadi anggota dewan, sehingga bisa terus menerus
mengawal eksekutif dalam menjalankan pembangunan. Kalau anda hanya berdiri di
luar, pasti tidak memiliki otoritas. Artinya sehebat apa pun pendapat dan
setinggi apa intelektualmu, itu akan menguap dan tidak terpakai!”
“Coba perjelas. Sepertinya ada
yang tersembunyi dibalik uangkapan mu itu…,”
“Ah, Jelas, do! Nahurang simak do ho—Jelas, nya! Tapi engkau tidak menyimaknya. Intinya, segala
sesuatunya tidak ada yang gratis di zaman ini. Ada biaya politik. Nah, saya kira, pandai-pandailah mencari
biaya itu. Mungkin saja ada seseorang yang bersedia membandari eX rupiah, sampai anda duduk jadi anggota Dewan.”
“Setelah duduk jadi anggota Dewan, terus uang yang dikeluarkan oleh Bandar itu, apakah harus saya kembalikan? Kalau iya, Bagaimana membayarnya, hah? Sangat tidak mungkin bagi saya mengembalikannya dengan mengandalkan gaji yang saya terima sebagai anggota Dewan selama 5 tahun. Mustahil! ”
“Setelah duduk jadi anggota Dewan, terus uang yang dikeluarkan oleh Bandar itu, apakah harus saya kembalikan? Kalau iya, Bagaimana membayarnya, hah? Sangat tidak mungkin bagi saya mengembalikannya dengan mengandalkan gaji yang saya terima sebagai anggota Dewan selama 5 tahun. Mustahil! ”
“Bah, otomaho—Bodok kali, kau! Mau jadi anggota Dewan kok tolol, sih? Saya sudah bilang tadi, di zaman ini tidak ada yang gratis. Hanya
kentut yang gratis. Itupun harus siap-siap dimaki atau ditampar orang, jika
kentut sembarang tempat.”
“Jadi, bagaimana maksudmu yang sebenarnya?
Yang jelas saja!”
“E,tahe, oto ni bayon. Dirimpu on do horoha sukkup holan modal jujur
dohot parbinotoan di zaman on.—Hm. Kalau kau jadi anggota Dewan, tinggal
kerjasama dengan Bupati, untuk memberikan beberapa proyek ke dia, selesai urusan. Dan
itu tidak akan terdeteksi oleh KPK, asalkan si Bandar itu memenuhi semua
kriteria sebagai pemborong, dan tidak menggelembungkan nilai proyek.”
"Sesederhana itu?"
"Amangoi amang, sian sameter dope timbo ni si Jambur, nunga hepeng namangatur Negara on!"
***