Anak Yang Kukasihi

Anak Yang Kukasihi
Obamaputralaris

Sunday, February 17, 2013

“JELAS, DO?”
Oleh : Laris Naibaho

“Kalau tidak ada uang, jangan coba-cobalah mencalonkan diri jadi anggota Legislatif di Pemilu 2014 ini. Karena, setiap orang yang akan saya hubungi agar memilihmu, pasti akan bertanya, ‘jelas, do?’ Soalnya pada Pemilu yang lalu, peran uang di sini sangat dominan, dan menentukan!”  tandasnya dengan ekspresi serius.

“Apakah semangat dan keinginan luhur yang saya bawa dari rantau untuk membangun daerah ini tidak cukup? Saya tahu, saya tidak memiliki cukup uang yang bisa saya ‘pertaruhkan’ di sini, tapi memiliki krediblitas serta akses yang lumayan banyak dan besar yang bisa saya ajak menanamkan modalnya di sini untuk mempercapat  geliat ekonomi dengan mempercepat daerah ini sebagai Daerah Tujuan Wisata (DTW) mengikuti Bali yang sudah lebih dulu maju. Itulah modal saya.”
“Mungkin saja itu betul. Percepatan daerah ini menjadi DTW, tentu akan meningkatkan penghasilan warganya kelak. Saya tahu, kemenangan jangka panjang itu perlu. Tapi kebutuhan jangka pendek, sangat menentukan. Artinya, anda tahulah, dan mungkin sudah pernah merasakan, betapa merananya menahan perut yang keroncongan. Uang seratus-duaratus ribu di sini, masih sangat tinggi. Jumlah itu, bisa jadi untuk kebutuhan beras seminggu, yang di tempat lain, jangan-jangan hanya  menyangkut  sekali makan siang,” papar kawan ini tegas, tanpa merasa kikuk atau malu dengan apa yang disampaikannya. “Ini realita,Bung!” Tambahnya.

“Apakah dengan demikian, saya harus mengurungkan niat untuk maju menjadi calon legislatif, karena kecil kemungkinan mendapat dukungan apabila tidak bisa menyediakan uang seratus-duaratus ribu per  orang atau per pemilih?”

“Saya tidak menyatakan itu secara saklak. Tapi, orang bijak mengatakan,  ‘marbisuk songon ulok, marroha songon darapati’ Kalau memang ingin memperbaiki daerah ini, tentu saja harus menjadi anggota dewan, sehingga bisa terus menerus mengawal eksekutif dalam menjalankan pembangunan. Kalau anda hanya berdiri di luar, pasti tidak memiliki otoritas. Artinya sehebat apa pun pendapat dan setinggi apa intelektualmu, itu akan menguap dan tidak terpakai!”

“Coba perjelas. Sepertinya ada yang tersembunyi dibalik uangkapan mu itu…,”

Ah, Jelas, do! Nahurang simak do ho—Jelas, nya! Tapi  engkau tidak menyimaknya. Intinya, segala sesuatunya tidak ada yang gratis di zaman ini. Ada biaya politik. Nah, saya kira, pandai-pandailah mencari biaya itu. Mungkin saja ada seseorang yang bersedia membandari  eX rupiah, sampai anda  duduk jadi anggota Dewan.”

“Setelah  duduk jadi anggota Dewan, terus uang yang dikeluarkan oleh Bandar itu, apakah harus saya kembalikan? Kalau iya, Bagaimana membayarnya, hah? Sangat tidak mungkin bagi  saya mengembalikannya dengan mengandalkan  gaji yang saya terima sebagai anggota Dewan selama 5 tahun. Mustahil! ”
“Bah, otomaho—Bodok kali, kau! Mau jadi anggota  Dewan kok tolol, sih? Saya sudah bilang tadi,  di zaman ini tidak ada yang gratis. Hanya kentut yang gratis. Itupun harus siap-siap dimaki atau ditampar orang, jika kentut sembarang tempat.”
“Jadi, bagaimana maksudmu yang sebenarnya? Yang jelas saja!”
E,tahe, oto ni bayon. Dirimpu on do horoha sukkup holan modal jujur dohot parbinotoan di zaman on.—Hm. Kalau kau jadi anggota Dewan, tinggal kerjasama dengan Bupati, untuk memberikan beberapa proyek ke dia, selesai urusan. Dan itu tidak akan terdeteksi oleh KPK, asalkan si Bandar itu memenuhi semua kriteria sebagai pemborong, dan tidak menggelembungkan nilai proyek.”
 "Sesederhana itu?"
 "Amangoi amang, sian sameter dope timbo ni si Jambur, nunga hepeng namangatur Negara on!"
***

Friday, February 08, 2013

KUBASUH TUBUHMU DENGAN AIR CINTAKU


ada cahaya membalut jiwaku
memberi gairah jiwa t'rus menggema
ketika wajahmu muncul dalam bayangan
juga senyum manismu menghias di pelupuk
ingin kukepak sayap dan mengangkasa

'tuk hadirkan raga ini...
utk menyatu dengan tubuhmu

kekasihku,
adakah butir-butir air mata ini bisa meluluhkan hatimu
adakah engkau bisa menerima kembali cintaku yang sempat terbang bersama angin lalu
adakah gelora cinta yang bersemi kembali bisa kutunaikan?

Oh angin malam
sampaikan nyanyian rindu ini
nyanyian seorang pria perindu
kepada pujaan hatinya
seorang wanita, yg tetap setia menunggu...

oh, tuhan
kalau lakuku tak lazim waktu lalu
khan kubasuh seluruh tubuhnya dengan segranap air cintaku
sebagai penawar hatinya
'khan kukumandangkan kepada dunia,
dia adalah cintaku, dan khan kubawa ke mana pun aku mengangkasa.
***
Barkah 49,08022013
Dimanakah engkau kekasih?

rembulan, mengapa juga engkau diam
adakah nyanyian sunyi di hatiku tak mampu mengetuk hatimu
haruskah aku berteriak memanggil bintang
'tuk suarakan hati yang merindu
ah



bukankah dulu engkau selalu bersandar di dadaku
dan berseru-seru membentangkan suka-citamu dan cintamu?
Kini,
di saat langit jakarta gelap kelam
aku ingat ketika kita merapat kasih
satukan suara hati
'tuk jalani hidup sepanjang nafas
kenyataannya, aku di sini sendirian
meratap duka, pilu dan sesakkan dada
di mana dirimu, oh kekasih jiwaku
tak mampu diri ini berjalan tanpamu
air mata ini memeteraikan kesunyian hati
yg masih terus menunggumu dan mengucapkan sekali lagi seperti dulu :
"Dik, tanpamu hidup ini kering...
Dik, hanya denganmu hidup ini bersahaja"

Ah, di manakah dirimu kini berada?
***
(Barkah, 60213)Wakakak.

Wednesday, February 06, 2013


Bila Perlu, Benggali Jadi Bupati

Sore ini Jamordong menjadi nara sumber utama di seminar yang diadakan oleh salah satu LSM yang bertajuk  “Mencari Pemimpin Yang Amanah”.
Seminar yang dihadiri oleh tokoh-tokoh masyarakat dari utusan marga-marga, Pers, juga para kandidat yang akan bertarung memperebutkan kursi nomor  1 di Kabupaten, sedikit agak tegang.  Situasi memanas manakala Jamordong mulai mengaitkan kepemimpinan dengan marga yang sangat dominan pada masa yang lampau, tetapi secara faktual tidak mampu memimpin dan melaksanakan apa yang dilontarkan pada saat kampanye.
“Bukan marga yang tidak kompeten. Anda keliru, Jamordong! Jangan marga kami yang disalahkan, tapi oknumnyalah yang tidak becus. Anda tahu, kami pun sangat kecewa dengan kinerjanya.  Tarik ucapan Anda, atau anda kami laporkan ke Polisi sebagai telah ‘melakukan perbuatan tidak menyenangkan’  Lontaran anda sangat jelas telah menghina marga,” ujar Jahormat, yang menjadi juru bicara sebuah marga yang ikut dalam seminar itu.
He, ini Seminar Lae. Bukan Lapo tuak .Saya sedang menjelaskan, bahwa pada waktu yang lalu, saya memilih Bupati yang sekarang menjabat, ini bukan berdasarkan ratio. Saya tahu kapasitas  dan juga track recordnya sebelumnya, minus. Tapi karena pardijabu ( isteriku) semarga dengan dia, pun  marga mereka merupakan Bonaniari  marga kami, yang tentu  secara adat kami harus patuh, maka saya dan seluruh keluarga besar kami, memilih dia waktu itu. Begitu faktanya,” sambut Jamordong berapi –api.
“Kalau begitu, apa solusinya?” kejar Jahormat. “Anda jangan hanya melontarkan sesuatu, tanpa bisa memberi jalan ke luar, agar kelak kita bisa mendapat pemimpin yang  amanah. Artinya apa yang ke luar dari bibirnya begitu juga di hatinya, dan dilaksanakan sepenuhnya.  Tidak seperti sekarang ini, Pembangunan terlantar, bahkan sayup-sayup saya dengar,  penebangan hutan bukan malah stop, tapi makin menggila, belum lagi pencemaran danau yang katanya akibat adanya perusahaan perikanan asing yang lahannya ada di danau yang kita cintai ini,”tambah Jahormat dengan suara lantang. Tak kalah lantang dari Jamordong.
Mauliate, Lae. Berarti sebenarnya kita memiliki keprihatinan yang sama dan sebangun. Di usia kita yang mulai senja, seharusnya kita merapatkan barisan, agar kita berpikir dan bertindak hal yang sama, sehingga kita bisa memilih pemimpin yang benar. Yang Amanah. Yang kelak bisa membawa daerah kita ini  maju, lestari hutannya, lestari tanahnya, lestari danaunya, dan sejahtera rakyatnya. Maka dari sekarang sudah kita buatkan kriteria yang diharuskan dimiliki oleh calon pemimpin sebelum bertarung di Pemilihan.”
“Tolong perjelas maksudnya. Jangan ngambang. Saya belum melihat inti dari yang barusan anda sebutkan,” kejar Jahormat.
“Makanya Lae, kalau diskusi,  selain mendengar, perhatikan juga apa yang tersirat apa yang disampaikan oleh dari lawan bicara. Seminar  yang hanya beberapa jam ini, tidak cukup waktu untuk menjelaskan semuanya.”
“Okelah. Teruskan!”
“Jadi, seperti yang saya uraikan sejak awal, ke depan, kita tidak lagi harus persoalkan marga apa yang harus memimpin daerah ini. Sekali lagi, bukan soal marga. Ini harus kita sampaikan kepada seluruh masyarakat, agar mulailah menggunakan rasio—akal pikiran yang sehat  dalam memilih pemimpinnya.  Nadae do dohonon, bila perlu Bunggali i ma binaen gabe Bupati, asalma tingkos jala jujur mangulahon. Unang be nian dohot mangarampok hutaon—Cuma sungkan untuk mengatakan, bila perlu, Benggali itu kita pilih jadi pemimpin, asalkan benar dan jujur melakukan tugasnya, serta tidak pula merampok daerah ini untuk kepentingan diri sendiri.
“Artinya, kita harus mengajak rakyat memilih bukan berdasarkan marga, kerabat atau karena hubungan-hubungan kekerabatan lainnya? Tapi yang sungguh-sungguh mengabdikan dirinya membangun daerah ini tanpa pamrih?” Lanjut Jahormat.
“Mula-hulak pertanyaanmu. Na-kopi-on do ho manang naung male?—Bolak-balik pertanyaanmu. Jangan-jangan kau kebanyakan minum kopi atau karena sudah lapar?”
***
(Laris Naibaho—CEO KEDAI KOPI KAMU)





Tuesday, February 05, 2013

rancangan surga

menjelang sore waktu itu,
tak sengaja kau sunggingkan senyum,
kepda pria di sebelahku...

aku pikir itu untukku,
kubalas...

selanjut, ntah siapa 
kau atau aku yang memulai
hari-hari, kita rajut dengan senyum
sampai engkau bisikkan ke telingaku,
"bang, kutinggalkan tunanganku,
untuk mengikuti langkahmu
ke mana pun engkau..."

gombal, kataku ketika itu,
tapi...itulah takdir!
lalu kita "menikah"
kendati pendeta tak mempertemukan kita di altar
sampai sekarang kita diikat pernikahan abadi
meski tak juga tanah pertiwi menyatukan tubuh kita.
***
(Engkau di sana, 
aku masih tetap setia di sini,
dalam lamunan yang tidak berkesudahan).Muahh.

Menggoreng Burung Terbang di Langit
(Manombur Lali Habang)
Oleh : Laris Naibaho

“Demi harga diri," ujar Sang Isteri.
"Maksudmu?" kejar sang suami.
"Kau harus mencalonkan diri jadi anggota DPR tahun 2014 ini, agar keluarga kita  tidak anggap remeh terhadapmu, dan juga supaya mereka melek, papa itu orang pintar, cerdas,  dan pantas masuk Senayan...," lanjut sang Isteri.
"Ah, kau ini, seperti tidak tahu saja betapa sulitnya hendak  menjadi  calon legislative (Caleg). Kau tahu, hanya untuk  mendapat nomor saja dari partai, harus bayar dulu administrasi  yang jumlahnya, sangat tidak mungkin kita penuhi. Juga, taruhlah lolos dari partai dan menjadi calon, apa kamu tidak sadar, biaya kampanye untuk mendulang suara itu tidaklah kecil? Sangat besar! Sangat besar! Padahal,  makan sehari-hari kita saja  tidak nyaman. Lebih sering  terancam,"jawab sang suami lembut, mencoba memberi pengertian ke isterinya.
"Saya tahu itu. Nanti pergi pun aku ke Eda, Ito, Nantulang, dan teman-temanku serta seluruh keluarga besarku untuk mendapat pinjaman. Nanti kalau papa  sudah di Senayan, pinjaman-pinjaman itu,  khan bisa kita kembalikan!  Malah jumlahnya bisa kita kembalikan lebih besar daripada pinjaman. Hitung-hitung bunga uang mereka di banklah selama kita pakai ," tangkis sang isteri.
"Kalau kalah?"
"Itulah kau. Semangatmu kerdil. Jangan berpikir kalah, dong! Berpikir menanglah. Karena di usiamu yang sudah di atas 50 tahun, satu-satunya cara mengubah kehidupan kita, adalah dengan dirimu menjadi anggota DPR. Karena di sana, selain gaji regular selama 5 tahun ditambah tunjangan ini dan itu, juga banyak hal yang bisa diproyekkan untuk mendapat komisi.  Kehidupan kita akan mentereng. Maka keluarga yang tadinya apatis ke kita akan berubah, dan rumah kita akan ramai dengan orang-orang yang minta sumbangan, pun  kita akan menjadi penentu segala hal di keluarga besar ini”.
"Aku tidak mengerti maksudmu. Sungguh mati, saya  tidak mengerti maksudmu, Mama!"
"Papa teramat cerdas. Tapi kalau saya yang mengajak diskusi, pikiranmu menjadi bias. Tak fokus dan selalu pesimis . Cobalah buka otakmu! Realitanya, dengan keadaan kita sekarang,  rumah  masih ngontrak dan hampir rubuh, mobil tak punya, maka,  hanya dengan menjadi anggota depeer lah papa, semua itu bisa kita miliki .”
"Kalau tidak menang atau tidak dipilih oleh pemilih, dan gagal jadi anggota depeer?" Kejar sang suami.
"Itu mudah. Harga ‘Buygon’ paling juga 200 ribu. Dan itu bisa kita peroleh dengan mengagunkan meja makan kita itu, dan segera menghuni istana kita yang indah di Sandio Hills," kata sang isteri dengan nada datar.
Sang suami diam. Dahinya mengkerut, lalu tertunduk lesu, serta dalam hati berdoa, "Bawalah aku Tuhan sesuai rancangan-Mu, sebelum aku kau kirim ke dunia ini—Boanma  au Tuhan, songon na dirancangmu hian, andorang so ditongos-Ho au tu Portibion."
***