Anak Yang Kukasihi

Anak Yang Kukasihi
Obamaputralaris

Saturday, January 19, 2013


Buah Jatuh Tak Jauh Dari Pohonnya


J
amordong tertawa ngakak menyaksikan kepala Negara bermain air  di jalan raya dekat Istana melalui saluran tv kesayangannya. Hujan yang tak reda selama tigahari berturu-turut membuat Jakarta menjadi waduk terbesar di dunia saat ini.
Saluran tv yang satu ini memang paling getol menyiarkan apa pun, apabila suatu peristiwa bisa menyudutkan kepala Negara danmengambil  “keuntungan” dari kejadian itu. Maklum, pemiliknya, yang kendati pilpres masih jauh, sudah mengumandangkan, dirinya siap bertarung dan yakin akan menang.
Tawa Jamordong mengusik lamunan isterinyasi Sorta. Asal tahu  saja, kemanapun Jamordong pergi, ia tidak mau tahu, atau tidak terlalu peduli gerak-gerik atau tata laku Jamordong. Baginya, dia cukuplahmenjadiseorangIsteri yang bertugas memenuhi kebutuhan Jamordong sehari-hari. Menyajikan kopi utamanya.
Heh,OmpungniMangasi—(begitu  dia memanggil Jamordong),kok agak lain tertawamu pagi ini, sampai ngakak-ngakak begitu, dapat loterekah?”
Taklah.Bagaimana dapat lotere masang saja tidak pernah. Lagi pula, bukan tabiatku main lotere-loterean.Itu haram dalam agama. Makanya, aku tidak pernah main atau memasangnya,” ujarJamordong menjawab.
“Kalaubegitu, apa yang membuatmu tertawa begitu rupa hingga  mengusik lamunanku yang indah. Tadi, pas engkau tertawa, aku lagi melamun, kita sedang pesiar mengelilingi  Pulau Samosir dengan kapal mirip Awani Dream yang bobotnya  lebih kecil yang bisa melewati terusan Tano Ponggol, seminggu sebelum FESTIFAL TANO PONGGOL berlangsung,” kata Sorta dengan eksperesi penuh kesungguhan.
Huahaha. Benarlah kata pepatah, Sorta. ‘Begitukelapanya, begitu minyaknya. Begitu bapaknya, begitu pulalah anaknya.Wakakak!”
Heh, aku   tidak mengertimaksudmu Ompungni Mangasi. Yang jelas dong kalau menerangkan sesuatu. Tidakperlulah menggunakan segala pepatah, hanya untuk menjelaskan tawamu yang tidak biasa itu...”
“Itulah Sorta. Saya tertawa memang. Tapi bathinku menangis. Sesenggukan di dalam. Kautahu, Jakarta itu jendelanya Indonesia ke seluruh dunia. Jakarta mewakili sosok seluruh negeri. Masyarakat dunia akan menyimpulkan, beginilah Indonesia secara keseluruhan hanya dengan melihat Jakarta. Jadi tidak perlu lagi ke Aceh, ke Papua, apalagi ke Samosir,” urai Jamordong
“Saya kurang paham maksudmu!”
“Memang kamu selalu telat mikir.Tapi lebih baik begitu daripada soktahu. Karena banyak orang, sudah jelek, bodoh, miskin, sombong lagi. Kau masih lain. Masih mau bertanya, kalau tidak tahu. Cantik dan jujur pula. Makanya aku tetap saying padamu, meski pipimu sudah mengeriput.”
“Takusah melantur sana-sini, teruskan dulu penjelasanmu.”
“Begini. Jauh sebelum Presiden sekarang berkuasa, diatoh sudah tinggal di Jakarta ini. Dan sudah dilaluinya kejadian-kejadian apa pun di Jakarta ini. Hujan yang mengakibatkan banjir, bukanlah yang pertama ini. Hampir setiap tahun.Tap lihatlah tingkahnya. Seperti orang dungu, yang berteleponria member instruksi ni-itu, seakan-akan peristiwa banjir seperti ini baru pertama kali terjadi. Nah, selama ini dia mengerjakan apa? Haruskah diamenyalakan Gubernur. Lebih berkuasa mana, Presiden atau Gubernur?”
“Maksudmu?”
“Sebagai Presiden dan Istananya ada di Jakarta, tidak seharusnya Jakarta ini mengalami banjir. Setiap hari diabisa ‘memerintahkan’ ini itu. Karena  ada di depan matanya. Apadia tidak malu banjir menyentuh istananya? Pun selain dia dan anggota kabinetnya, mayoritas kaum intelektual negeri ini ada di Jakarta, tapi hanya untuk membua tselokan, atau gorong-gorong dan memecahkan masalah sampah saja tidak mampu. Manusia massammanalah dia itu?”
“Terus apa kaitannya dengan peribahasa yang kausebutkan tadi?”
“Selaraslah dengan apa yang kita lihat di Samosir. Lihatlah Ibukotanya. Masalah gorong-gorong belum terpecahkan sejak Kabupaten ini berdiri. Terusan Tano Ponggol yang di zaman Belanda bersih dan indah serta bisa dilalui kapal kecil, kini seperti itulah. Yaitu tadi, ‘air jatuh dari dataran tinggi kedataran rendah’ maka kalau  Presidennya begitu, tak jauh-jauhlah denganwatak Bupatinya. Hehe he, jadi bagaimana mungkin daerah ini menjadi tujuan wisata, kalau ibukotanya pun dikelilingi oleh kubangan lumpur.”
***
(LarisNaibaho—Ketua Umum Yayasan Loper Indonesia—Tingggal di Jakarta)


Sunday, January 06, 2013


A m o n g,

Malam tidak membuat pikiranmu memicingkan mata, sebelum telingamu menangkap suara klakson dan bunyi pagar terbuka...
Juga, belum akan kau kenakan selimutmu, sebelum derit ban mobil berhenti dan bunyi sepatu berdetak ada di dekat kamarmu...

Kau terbaring lemah, karena tungkai kakimu tidak lagi kuat menopang tubuhmu, bahkan hanya sekedar ke toilet yang hanya beberapa langkah di samping tempat tidurmu...

Tubuhmu teramat lemah, kendati sinar pikiranmu jernih,
lebih jernih dari semua putra-putri titipan Sang Khalik pada-mu…

Yang andalkan rasio, dan tak peduli tentang pikiran dan hatimu yang senantiasa merindukan mereka di usiamu yang tidak lagi bumi inginkan...

Among,

Dari detik ke menit ke jam, engkau memendam kebosanan dan hanya mampu menatap langit-langit dan dingding kamarmu. Pikiranmu berkelana ke sana ke mari, membayangkan setiap wajah yang kau rindukan, tetapi tidak sebaliknya...

Ada yang lupa karena sibuk.
Ada berpura-pura melupakanmu
Tetapi yang pasti ada yang melupakanmu
Bahkan ada yang mengharapmu segera saja menghadap-Nya...

Ah,
Engkau pun sebenarnya sudah lelah meminta dan berdoa kepada Ompu Mulajadi Nabolon, agar segera menjemput dan menjadikan engkau pelayan-Nya di Sorga, agar juga bisa bersama-sama dan bersendagurau dengan Henneria, kekasihmu yang 5 tahun  lalu telah mendahului mu menjadi pelayan-Nya...

Tetapi...,
seperti katamu, engkau masih diperintah di sini, di bumi yang penuh derita ini, untuk menuntun putra-putrimu menuju dermaga keberhasilan, walau tak juga semua menyadari…,
karena engkau sudah dianggab beban, bahkan menjadi bahan tertawaan,
dan apalagi, ah, terlalu sulit untuk berucap, atau inikah hasil dari doa-doamu?

Among,

Kurasakan,
Hari demi hari,
Betapa sarat pikiranmu, dan betapa beban itu menempel di semua pundakmu, tanpa kuasa untuk melakukan sesuatu, karena bahkan untuk duduk pun,
engkau  harus merintih,
mengaduh
dan,
engkau kadang menangis sesenggukan, dan selalu bertanya kepada Tuhan,
“Apa dosaku,  mengapa kau tak jemput aku Tuhan?”

Among,

Tidak ada salahmu.
Engkau adalah ayah sejati, yang selalu tekun berdoa, yang  doamu didengar dan dikabulkan oleh Tuhan.

Dan karena itu Among,

Kendati pikiranku ingin membawa tubuhku untuk menikmati indahnya Pangururan, Parapat, Puncak, Bali, dan bahkan kendati ada yang membayariku untuk anjangsana atau bepergian ke Papua, Borneo, Batam, Singapura, Thailand atau benua Amerika sekalipun…

atau menyaksikan si Ronaldo, Jisun Park di Word Cup, Afrika sana, aku tetap setia, dan tidak  sejengkal pun akan meninggalkan,  sampai...

Karena aku sangat mengisihimu,
Karena mencintaimu dengan sepenuh hatiku...
Karena siapa lagi yang akan mendengar dering bel dari kamarmu...?
Siapa lagi yang akan memerhatikan minum dan makananmu?
Siapa lagi yang memerhatikan pampresmu?

Karena itu...
jangan sedih lagi Among?
jangan risau tentang apa dan siapa...:

jangan ragu
jangan pernah takut, akan segala kebutuhanmu akan berkurang atau tiada, sampai satu saat Henneria mengundangmu ke Sorga dan Tuhan mengutus malaikat untuk menjemputmu...

Karena...
Karena...

(segala kesibukan yang sebenarnya bisa melambungkan namaku—sudah kutinggalkan)

Karena untuk apa Among...
Untuk apa namaku terkenal dan mendapat pujian dari sana-sini,

jika… :

jika dirimu menjadi kesepian,
jika dirimu menjadi teraniaya dan terhina oleh kemelekatan ego anak manusia yang mengandalkan rasio dan apalagi materi...

Among,

aku, kendati ini juga adalah ego yang mendalam,
karena kutidak selaraskan rasioku dengan hatiku,
karena bahkan,

Tapi Among,

inilah kebahagiaanku...
inilah persembahan demi kebahagiaanku.

dan...

aku tidak akan pernah surut untuk merawatmu,
sampai seluruh tubuhku tidak mampu melakukannya...Sampai Tuhan menyatakan :

“Sudah waktunya!”
***
(tulisan ini dibuat beberapa minggu sebelum ayah menghadap Penciptanya, September 2009—Laris Naibaho)

Surat dari Bang Thoyib

Isteriku, apa kabarmu ?

Sehatkah semua anak-anak hasil dari cinta kasih kita? Aku yakin, kalian pasti sehat-sehat, karena saya tahu persis, engkau adalah seorang wanita dan seorang ibu yang tabah dan penuh kasih sayang dalam merawat buah hati kita.

Isteriku aku sangat merindukanmu.

Tak bisa kugambarkan seperti apa kerinduan ini. Andaikan aku punya sayap, maulah aku terbang malam ini, lalu mendarat atau hinggap di atap rumah kita, dan dengan pelan-pelan turun melalui jendela untuk segera mengecup pipimu, mendekap tubuhmu, lalu  merajut erat sesuatu yang sudah tiga lebaran kita tidak lakukan.

Banyak yang bertanya padaku, mengapa sudah tiga lebaran tak pulang-pulang; apakah tidak mencintai lagi dirimu dan mengasihi anak-anak? Pertanyaan yang menusuk jantung dan menyayat hati. Tapi selalu kujawab dengan tegas dan penuh senyum, “ Demi kau dan sibuah hati, aku terpaksa begini…”

Yah. Aku terpaksa tidak pulang-pulang, karena pekerjaan di sini, membutuhkan tenaga dan pikiranku, pun dengan harapan, begitu aku pulang ke pangkuanmu, aku tidak lagi merantau, karena kuyakin, uang yang kukumpulkan telah lebih daripada cukup, untuk modal kita marrengge-rengge, sambil membesarkan kedua anak kita. Jadi, kalau mereka kemarin bertanya-tanya, mengapa aku tidak pulang-pulang, tentu sudah bisa kau jawab, karena sedang mencari uang untuk modal.

Isteriku, hasianku na lagu.

Lebaran tinggal beberapa hari lagi. Dengan kecepatan 3 sampai 4 kali sebelumnya aku mengerjakan tugas-tugas di sini. Dengan harapan,  sepeninggalku nanti, perusahaan ini akan tetap berjalan dengan baik.

Aku tidak merasa lelah mengerjakannya, bahkan, setiap kali membayangkan akan bertemu denganmu dan anak-anak kita , kekuatanku berlipat-lipat. Padahal sama sekali aku tidak minum jamu penguat atau minuman setara dengan krating daebg atau sejenis.  Ntah dari mana datangnya tenaga itu. Aku rasa, atau sebulahlah yakin, itu pastilah energi gabungan dari kalian; engkau dan anak-anak kita,  karena aku yakin, kalian juga sangat merindukanku.

Hasianku,

4 hari sebelum hari H, aku sudah akan sampai di dermaga dengan kapal Kambuna. Aku berharap, kau dan anak-anak akan menjemputku dengan penuh senyum. Sekedar engkau tahu, 2 hari yang lalu sudah kubelikan segala sesuatu keperluan Lebaran, tak ketinggalan jengkol , tauco dan ikan teri Medan menjadi bagian yang akan kupersembahkan padamu, sehingga pada Lebaran nanti, kita sungguh-sungguh  marayakan Idul Fitri  dengan kegembiraan. Tunggulah aku, jangan lupa paka odorono agar tidak mengganggu kemesraan kita pada saat itu.
*** 
(Dariku : Bang Thoyib)--sumber inspirasi, Obamaputralaris