Anak Yang Kukasihi

Anak Yang Kukasihi
Obamaputralaris

Thursday, March 11, 2010

SURAT DARI RANTAU


Maaf Inong, Aku Urung Mencalonkan Diri Jadi Bupati

Inong naburju,

Kuruungkan niatku mencalonkan diri sebagai Bupati periode ini. Ini pastilah mengecewakanmu Inong, karena tidak sesuai dengan permintaanmu bahkan mungkin saja Inong akan memarahiku, atau menjadi murka karena menganggabku sebagai anak yang tidak mau dan mampu menaikkan harkat keluarga dan apalagi martabat marga.

Masih jelas di benakku, intonasi suaramu, dan betapa dalam makna yang kau paparkan, agar aku meneguhkan hati dan tanpa ragu-ragu mencalonkan diri jadi Bupati. “Ikhon pajonjongonmu do margattai hasian—harus kau tampilkan marga kita,”ujarmu, sambil menambahkan, bahwa saya pasti bisa memimpin daerah ini dengan kecerdasan, kejujuran dan bakat kepemimpinan yang kumiliki, yang menurutmu, hal itu sudah kubawa sejak lahir, dan tanpa ragu juga engkau menyebutkan, waktu aku kau lahirkan ke dunia, dirimu menerima pesan langsung dari Oppu Mulajadi Na Bolon, bahwa kelak aku akan memimpin daerah di mana aku dilahirkan, dan di tanganku daerah ini akan makmur dan penduduknya akan sejahtera.

Inong, mohon ampun.

Saya tidak bermaksud mengecewakanmu. Pembatalan ini sudah kupikirkan secara matang. Memang, barangkali saja ini apriori, atau terlalu dini menyimpulkan, kalau aku mendaftar dan maju ke pertarungan Juni nanti, aku pasti kalah mutlak. Sangat tidak mungkin saya bisa bersaing dengan calon-calon lain, baik yang incumbent—yang masih sedang menjabat, maupun calon-calon lain yang sudah mempersiapkan diri dengan modal uang yang hitungannya sudah di luar akal sehat dan pasti juga sangat jauh dari kemampuan kita, Inong. Karena kalau dijualpun semua warisan ayah; kerbau, sapi dan tanah yang dipinggir Danau Toba itu, kalah jauh dari jumlah yang sudah dipersiapkan oleh calon-calon lain.

Bayangkan Inong, mungkin ini hanya desas-desus, atau hanya sekedar gertak sambal, supaya semua orang yang berniat mencalonkan diri jadi Bupati, jika tidak memiliki uang milyaran bahkan puluhan milyar, jangan coba-coba masuk arena, atau kalau masuk pun, siap-siap saja mendapat malu atau dipermalukan oleh keadaan.

Inong, saya sangat paham dan mengerti jalan pikiranmu. Ini tentu sesuai dengan usiamu yang menanjak tua, yang barangkali tidak lagi sesuai dengan zaman , di mana segala sesuatunya sudah diukur dan dihitung dengan uang. Uang saat ini sudah menjadi Tuan, Inong. Bukan lagi hamba. Dan uraianmu, kalau aku maju, maka seluruh marga saya, margamu yaitu para tulang otomatis akan memilihku. Menurutmu jika dihitung dan dibandingkan dengan seluruh marga-marga calon Bupati lain yang maju, jumlah marga kita ditambah dengan margamu ditambah seluruh Hula-Hula, termasuk Hula-Hula abang dan adikku, jumlahnya jauh lebih besar, biarpun seluruh calon Bupati yang lain bergabung.

Tapi Inong, ini bukan soal marga. Marga memang penting. Dan terus terang Inong, kalau pun tadinya saya maju tidak akan memolitisasi marga. Saya tidak ingin warga memilih saya hanya karena bermarga sama dengan mereka. Atau karena saya berenya, hula-hulanya, dan atau yang berkaitan dengan hubungan-hubungan kekerabatan lainnya. Saya tadinya,murni ingin bertarung, dengan mengandalkan kecerdasan, kejujuran, serta keinginan luhur untuk membangun daerah ini tanpa syarat, bahkan berencana, jika terpilih jadi Bupati, seluruh gaji saya akan saya sumbangkan untuk membangun Rumah Jompo, agar tidak lagi ada orang-orang tua yang merana, karena tidak dipedulikan oleh anak-anaknya.

Inong, mohon ampunmu,
Saya tidak ingin gegabah mengatakan ini itu, dan apalagi “menghakimi”. Trus terang, bingung juga mendengar, kalau Calon Bupati harus menggelontorkan uang sampai milyaran rupiah. Jumlah yang tidak sedikit dan apabila dihitung dan dibandingkan dengan seksama, dengan gaji seorang Bupati selama 5 tahun, tidak akan kembali, meskipun sudah ditambah insentif ini-itu yang resmi adanya sesuai ketentuan.

Inong,

Dirimu pasti tidak percaya dan barangkali saja akan menuduhku pengecut. “Belum bertarung sudah merasa kalah.” Tapi sesungguhnya, dan ini kudengar langsung dari rekan-rekan di kampung, saat ini, hepeng sungguh-sungguh jadi panglima--Ringgit Sitio Soara menjadi penentu. “Kau bayar berapa suaraku?” Suara seperti inilah yang kini sangat popular. “Ada uang, suaraku untukmu”. Jadi tidak diperlukan lagi calon-calon menjelaskan visi dan misi. Karena rakyat di sana sudah bosan dengan segala bentuk retorika. Mereka butuh yang nyata-nyata. Pengalaman membuktikan, janji ini-itu saat kampanye, lupa pada saat berkuasa. Dan karena itulah, tapi ini pun barangkali, karena itulah rakyat memilih yang cepat, simpel dan bisa segera digunakan untuk membeli, seliter beras plus seekor ayam, kendati hati mereka pada dasarnya ingin memilih yang sungguh-sungguh kredibel menjadi Bupati.


Jadi, Inong, Inongku yang baik.

Tidak usah gusar, dan aku tetaplah anakmu yang dulu, yang akan hadir 5 tahun lagi untuk mencalonkan diri jadi Bupati, di saat semua rakyat meyakini dan membutuhkan pemimpin yang tidak gila kekuasaan, yang benci pada korupsi dan yang meniadakan dirinya secara total untuk mengabdi kepada masyarakat. Dan saat itulah aku akan hadir, dan Inong pun layak tersenyum.
***
Laris Naibaho
Direktur Eksekutif Forum Pemerhati Penerbitan Pers Indonesia (FPPPI)—tinggal di Jakarta.

***
Tulisan ini sudah dimuat di Harian Umum BATAKPOS, Sabtu, 13 Maret 2010)