Anak Yang Kukasihi

Anak Yang Kukasihi
Obamaputralaris

Tuesday, July 22, 2008

From Loper's Day with love


Sunday, July 20, 2008

Panitia Loper's Day bersama Jusup Kalla




Panitia Loper's Day 2008 diterima Wakil Presiden

Kamis, 19 Juni 2008 Panitia Loper's Day 2008 pukul 15.00 diterima oleh Wakil Presiden Republik Indonesia Jusup Kalla di Istana Wakil Presiden, Jakarta Pusat.

Saturday, July 12, 2008

Pengabdian Terakhir

“The Last Devotion”

Kuputuskan hari Sabtu besok mau istirahat total, sehari saja. Rencananya, saya mau tidur-tiduran di sebelah isteri tercinta sambil mendengar musik dan lagu-lagu kesayangan yang nyaris terlupakan selama empat tahun ini. Selain itu, kalau masih ada waktu yang tersisa, terpikir juga untuk menonton film India.

Musik tradisional Batak, dangdut, dan pop 80-an, masih mendominasi seleraku. Warna musik sekarang tak begitu kena ke seleraku. Seperti apa pun kupaksa diriku agar bisa menerima, tetap saja tak bisa. Kalau pun ada satu dua lagu yang nyantel, paling-paling hanya pada refreinnya, seperti:

Tuhan, kirimkanlah aku
Kekasih yang baik hati,
Yang mencintai aku,
Apa adanya…

Terus terang saya penggemar berat lagu dan film India. Itu sudah terbentuk jauh sebelum diriku menyeberang ke Pulau Jawa ini. Dulu, antara 1971-1974, setiap kali tiba di Pematang Siantar dari Pangururan, Samosir, selalu saya sempatkan menonton film India. Itu sebabnya mengapa sampai sekarang masih bisa kubayangkan wajah Hema Malini, Amita Bachan, Rishy Kapoor, Azhari dan yang lainnya.

Saya tidak tahu persis apakah karena terlalu sering nonton film India sehingga hati ini agak sentimental dan memiliki perasaan yang sedikit halus. Entahlah. Yang pasti, film India saya yakini berperan banyak dalam pembentukan watak saya.

Cobalah tonton film India dan cermati dari awal sampai akhir, ceritanya agak berliku. Tapi sesungguhnya sarat dengan filosofi kehidupan.
***
Benarlah. Sabtu pagi, sehabis melahap empat suratkabar ibukota (Kompas, Warta Kota, Republika, Investor Daily), kakiku melangkah ke meja komputer. Bukan untuk menulis atau mengutak-atik berapa omzet keagenan setelah hampir semua media cetak menaikkan harga langganan. Tidak. Hanya untuk menggolkan hasrat yang sudah kurencanakan sejak kemarin.
Klik. Aku buka media player. Kunyalakan sound system. Volume dan bass-nya saya kencangkan dari biasanya.

Sesaat kemudian musik gondang Batak berdentang.
Dunggdung…dung…dung…dung…dung, tolkultok, tokkultok, tolkultok, toittt…toittet….
Tokkultok, tokkultok…

Saya pun manortor (menari) sendiri. Wowo… Asyik nian. Sesuatu yang hilang selama empat tahun ini karena terlalu sibuk bekerja, seperti kembali ke dalam diriku.
Habis menggelar gondang, saya lanjutkan memutar dangdut.

Tak semua laki-laki bersalah padamu
Contohnya aku, masih mau mencintai mu
Hari ini
Aku berjanji, ijinkanlah aku
Untuk mencintaimu

Suaraku memang fals kalau menyanyi. Tapi saya tidak peduli apakah indah didengar orang lain atau tidak. Lagi pula, saya selalu menyanyi untuk konsumsi diri sendiri. Jadi, menyanyi keras-keras saja saya, apalagi kata dokter, bernyanyi dengan keras-keras bisa dijadikan obat stres.
Tapi…, apakah saya sedang mengalami stres saat ini?

Di tengah keasyikan mendengar dan menyanyi lagu dangdut, saya hampir tidak mendengar suara yang lain. Apalagi karena hari Sabtu, pikirku, tidak akan ada yang mengganggu dan kuganggu. Hampir semua rekan bisnisku libur. Tak tahunya, sudah berkali-kali pintu ruanganku diketok OB dan seorang tamu. Saya baru dengar ketokan pintu bersamaan dengan berhentinya dentuman musik.
***
“Lho, ada di sini?” sambutku pada pria yang sehari-hari berstatus bosku itu, karena ia salah seorang petinggi di sebuah penerbitan media cetak .

“Iya, Bang. Sudah saya rencanakan sejak Senin kemarin. Sayangnya setiap kali mau ke sini selalu saja ada halangan. Wehh…, capek juga. Seperti biasa, Sabtu begini saya selalu pulang ke Bandung untuk menjenguk isteri, sekalian kangen-kangenan. Tapi kupikir nanti sore saja.”

“Kenapa?”

“Bertemu dengan Abang bagi saya sangat penting.”

“Hehehe…, kayak orang penting saja saya ini. Jangan gitu dong ah, saya jadi kikuk nih…,” jawabku dengan senyum.

“Betul, Bang. Saya ke sini bukan untuk berbasa-basi, namun dari lubuk hati yang paling dalam. Kalau boleh berterusterang, saya mau menyampaikan uneg-uneg dan rasa penyesalan kepada abang.”

Matanya agak sayu kulihat.
“Ah, kamu ada-ada saja,” kataku dengan perasaan heran dan mulai bingung. “Hubungan kita kan baik-baik saja selama ini. Saya masih tetap agenmu dan kamu bosku. Kita tidak pernah berantem, kok.”

“Betul Bang, tapi…”

“Setahu saya, keagenan saya masih berjalan baik dan juga berusaha melakukan kewajiban dengan baik,” kataku tetap masih bingung karena menurutku tidak ada yang salah dalam hubungan kami.

“Ini tidak ada hubungan dengan keagenan Friendship Services, Bang. Tidak ada. Kehadiran saya semata-mata urusan pribadi dan tolong dengar keluh-kesah saya, Bang…”

Saya terdiam sejenak. Pikiranku berlabuh ke kantornya. Dalam hati bertanya, ada apa gerangan dengan dirinya.

“Oke, saya mau dengar keluh-kesahmu. Tapi kamu baik-baik saja, kan?” tanyaku untuk meyakinkannya, sebab ragu jangan-jangan kawan yang satu ini sedang stres juga. Saya bisa berpikir begitu karena di tengah situasi seperti sekarang, banyak juga awak penerbitan pers yang stres, terutama setelah harga kertas koran naik sampai 51 persen.

“Jadi begini, Bang,” ujarnya kemudian,”Email-email Abang itu selalu saya baca. Saya senang sekali karena YLI akan mengadakan pesta loper lagi. Menurut saya, ini spektakuler. Loper’s Day 2008 ini akan mengundang 50.000 loper. Suata hajatan yang sangat besar. Karena itulah saya datang ke sini, Bang. Apa yang bisa saya lakukan, Bang?”

“Lho, ini bukan hanya hajatan YLI, tapi seluruh penerbit media cetak di Indonesia.”
“Taruhlah begitu. Formalnya kan hajatannya YLI, Bang.”

“Oke, itu tidak terlalu penting untuk diperdebatkan. Kita sepakati saja bahwa ini hajatan bersama.”

“Abang jawablah pertanyaanku,” ujarnya denga nada meminta.
“Pertanyaan yang mana?”

“Itu tadi, Bang. Mmm…, apa yang harus saya kerjakan dalam rangka Loper’s Day 2008 ini?”

“Bah…! Masa aku yang menugaskan bosku? Hehehe…. Bagaimana kau ini?”

“Saya serius. Abang serius sedikitlah,” pintanya lagi.

“Saya juga serius. Kalau begitu, apa yang bisa kau kerjakan?” tanyaku balik.

“Saya siap untuk apa pun yang abang tugaskan di Loper’s Day 2008 ini,” ujarnya dengan mimik serius.

“Ah, yang benar… ?! Saya jadi gede rasa, nih.”

“Apa pun, Bang. Soalnya…,” ia terdiam sejenak dan kelihatan matanya berkaca-kaca.

Saya tak mau mengganggunya. Bagi saya, situasi seperti ini harus dibiarkan. Jangan diganggu, karena ia sedang “menikmati” alunan perasaannya.

Beberapa saat kemudian ia lanjutkan, “Selama ini saya sudah berpikir salah. Salah besar. Terlalu mengabdi kepada perusahaan sampai lupa agen dan loper.”

“Lho, kok bisa berpikir seperti itu?”

“Ya…, sekarangbaru saya sadari.”

“Kok?”

“Dalam RUPS minggu lalu diputuskan para bos untuk melakukan diversifikasi usaha dan akan membeli sebagian saham sebuah tv swasta. Menurut mereka, prospek media cetak ke depan kurang cerah, Bang, sehingga untuk mengamamankan modal, perlu menginvestasikannya ke bidang usaha lain, terutama media elektronik, tv.”

“Bagus dong. Berarti para komisaris dan direksimu orang-orang yang brilian cara berpikirnya,” tanggapku sekenanya.

“Betul. Tapi dari situlah masalahnya bagi saya. Dulu saya selalu dengan gagah-berani menolak setiap usulan yang berkaitan dengan agen dan loper. Saya pikir, keuangan penerbit harus kokoh dulu. Menurutku, tidak mungkin seseorang bisa menolong orang lain kalau dirinya sendiri lemah.”

“Begitu, ya. Tapi tidak salah sebetulnya pikiranmu itu.”

“Benar Bang, tetapi selama bertahun-tahun bekerja, saya terus melakukan pengawasan ketat agar profit perusahaan terus meningkat. Saya tidak memiikirkan agen dan loper. Nanti sajalah, pikirku. Bukankah kami harus kuat dulu? Jadi, selama saya ikut memimpin perusahan, kendati tetap berpangkat deputi, pertemuan-pertemuan dengan agen, loper, atau apapun pengeluaran yang berkaitan dengan agen dan loper, selalu saya pending. Hasilnya memang luar biasa.”

“Terus…? Apa yang menjadi masalahmu?”

Ia mendenguskan napasnya. Dalam. “Hasil RUPS itu, Bang,” ucapnya kemudian dengan nada lesu. “Seluruh profit, setelah dividen dibagikan kepada pemegang saham, akan digunakan untuk membeli saham perusahaan tv itu…”

“Salahnya di mana?”

“Salahnya iya tidak ada, sih, Bang. Salahnya memang ada pada diri saya. Saya salah besar dengan keputusan selama ini karena tidak ada lagi yang bisa dibagikan kepada agen dan loper. Sepeda, tas, santunan-santunan lain yang tadinya saya pikir akan dibagi tahun itu lenyap sudah. Bahkan ketika hal tersebut saya protes ke direksi, malah saya diminta pendi.”

“Pendi? Apaan tuh?”

“Maksudnya, pensiun dini, Bang.”

“Masak?”

Ia mengangguk dengan wajah lesu, “Karena itulah maka saya datang ke sini, Bang. Mungkin saya akan ambil pendi itu setelah tahu berapa jumlah yang ditawarkan. Tapi kayaknya berapa pun jumlahnya, saya pilih pendi sajalah, Bang.”

“Kenapa? Kan enak kerja di perusahaan besar?”

“Benar.., tapi menurut saya tak guna lagi terus bertahan di kantor sekarang. Perasaanku sudah tidak sreg lagi. Dan ini adalah kesempatanku untuk berbakti kepada loper. Mumpung masih pekerja di perusahaan pers .”

“Sudah kau pikirkan matang-matang?”

Ia mengangguk, “Saya sadar selama ini belum pernah mengabdi kepada agen dan loper. Kupikir, inilah pengabdian pertamaku dan sekalikus yang terakhir untuk para loper tercinta di LOPER’S DAY 2008 ini.”

“Hah?!”

“Hmmm…begini, Bang. Kalau pun saya tidak bisa memperjuangkan ke perusahaan supaya mendapat materi, sebagai kurir atau membagi makanan atau jadi tukang pijit Abang pun saya siap. Supaya keletihan yang mendera abang selama mengurus Loper’s Day 2008 ini bisa terpulihkan sedikit."

“Hah?!”

“Kutahu yang kumau, Bang..., ” ucapnya dengan senyum.

“Ojo ngono tho.”

“Saya serius, Bang!”

***
Kusambut tangan yang disodorkannya. Kutatap matanya. Kuterawang mata hatinya yang memancarkan ketulusan dan kejujuran. Saya tidak bisa lagi berkata-kata. Seketika seperti kudengar nyanyian nyaring didendangkan suara hatinya yang paling dalam…

Hanya iniTtuhan, persembahanku
terimalah Tuhan jiwa dan ragaku,
tiada kumiliki harta kekayaan…
***